Sepuluh

6K 658 40
                                    


10 : Camalia's Dad?

Mereka terdiam dimeja yang sama, saling menatap dengan tidak yakin. Pada akhirnya mereka sadar, satu-satunya orang luar dalam artian tidak memiliki reputasi "buruk" disekolah hanyalah gadis yang duduk disamping Rabel.

Camalia.

Yang mungkin akan segera menyandang reputasi buruk sebagai seseorang yang tidak boleh diganggu, jika tidak ingin berhadapan dengan Rabel.

Sama seperti reputasi Jeremy yang tidak boleh diganggu jika tidak ingin dimakan hidup-hidup oleh Xander.

"Ah, ayolah! Apa kita harus saling berkenalan dulu." Leo menempelkan kepalanya pada meja dengan malas. Bibirnya mengkerut dengan tidak senang.

"Mungkin kita harus saling mengenal terlebih dahulu!" Seru Leo bangkit dari meja dengan senyum lebar. Menyadari apa yang ia ucapkan ada benarnya juga.

"Bagaimana?" pria itu tersenyum meyakinkan menaik turunkan alisnya dengan semangat.

"Tidak buruk untuk dicoba sebenarnya." sahut Jeremy, mengingat dia adalah satu-satunya yang normal diantara semua yang duduk dimeja itu, ya selain gadis disebelah Rabel.

"Aku Jeremy, pria dengan kejeniusan nomor satu disekolah kita." Jeremy tersenyum bangga menaikan bahunya dengan santai.

"Semua orang tahu itu." sahut Alden memutar bola matanya, menatap malas kearah Jeremy.

"Aku Xander, suami dari Jeremy."

PLAKK

"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak." Jeremy memukul kepala Xander dengan sadis. Menatap pria itu dengan kesal.

"Dia Xander, ah kita semua sudah berkenalan tadi ini konyol. Dia adalah petarung nomor satu disekolah kita. Aku bukan istrinya. Aku ini pria!" Jeremy berujar dengan kesal.

"Semua istri durhaka mengatakan hal yang sama," ujar Xander hampir seperti gumanan, yang dapat didengar oleh semua orang.

"Aku Leo, aku adalah pria paling manis disekolah." Leo berujar mengedipkan matanya dengan imut dan percaya diri.

"Dia juga yang paling kaya," sahut Jeremy tersenyum manis.

"Aku benci ketika orang-orang membahas hal itu." Leo memutar bola matanya kesal.

"Sebaiknya kita hentikan ini, kita sama-sama tahu reputasi kita masing-masing. Tidak ada yang dapat dibanggakan." ujar Alden dengan tidak senang. Apa? Jika mengatakan reputasi maka dialah yang paling buruk. Mengatakan kalau dia orang gila disekolah? Alden bangga sebenarnya, tapi didepan Rabel? Entah mengapa Alden tidak mau.

"Ya mungkin karena kau yang terburuk." Xander menunjuk Alden dengan senyum miring.

"Bagaimana dengan mu?" Rafael menunjuk Camalia. Gadis yang semula diam karena tidak mau ikut campur itu terkejut.

"T-tidak ada yang perlu diketahui dariku." Camalia tersenyum canggung. Dia takut, berurusan dengan Angelica the gank saja dia sudah sangat kesulitan. Dan kini yang berada di satu meja dengannya adalah para murid dengan kuasa tertinggi di sekolahnya.

Sungguh nasib yang buruk.

"Katakan saja, lagi pula kita belum berkenalan." Rafael tersenyum kecil dan ramah.

"Camalia Ararinda. Aku dibully disekolah." Camalia membuang mukanya kesamping ketika mengatakan ia adalah korban bully. Mengatakan hal itu kepada para tukang bully di sekolahnya. Oh Camalia, kau benar-benar berani.

"Kita berada dalam posisi yang sama Cam, aku juga dibully!" seruan mendadak Alden membuat yang lain memutar bola matanya. Dan pria itu mengucapkan hal itu seolah itu adalah hal yang bisa di banggakan.

"Aku tetap tidak memiliki ide tentang apa yang harus kita lakukan." Jeremy membanting pelan kepalanya pada meja.

Dan begitu sadar wajah yang lainpun ikut kesal.

"Aku selalu benci guru seni." Leo menyahut mengerukutkan bibirnya.

"Apa aku harus membuatnya keluar dari sekolah ya?" pikiran itu melintasi kepala Leo dengan mudah. Seolah itu adalah hal biasa.

Rabel menatap pria itu tidak percaya dengan mata sedikit membelalak. Ya, Rabel ingat Leo adalah yang terkaya. Lebih berkuasa karena kekayaannya. Yang Rabel tidak percaya adalah ia mengucapkan hal itu dengan santai.

Seolah mencari pekerjaan itu adalah hal yang mudah.

"Kau tampak terkejut," ujar Alden dengan senyum lebar.

"Bu-bukan begitu, hanya Leo mengatakan hal itu dengan begitu mudah." Rabel menggaruk belakang rambutnya dengan salah tingkah.

"Itu hal biasa, percayalah." Xander menyahut dengan malas. Kapan gadis itu akan terbiasa. Xander malas harus melihat ekspresi bingung itu terus. Andai saja ia tidak ingat kalau gadis itu cukup hebat saat berkelahi mungkin ia akan membullynya.

"Tidak sebaiknya kita pulang dulu? Aku akan terlambat makan malam?" Leo melirik jam tangannya menatap dengan sedikit cemas.

"Makan malam?" Camalia berujar kecil, cukup pelan tapi masih bisa terdengar.

"Akhirnya kau mau membuka suara sebelum ditanyai. Ya, Ibuku selalu menyuruhku makan malam dirumah. Setidaknya pulang makan dulu sebelum pergi lagi." Leo menjawab panjang lebar. Tersenyum kepada Camalia. Camalia bukan tipe target bullynya.

Leo menyukai orang-orang  kaya sebagai  targetnya. Ia tidak suka dengan orang yang berlagak kaya didepannya. Padahal kekayaan mereka saja tidak bisa menyaingi Leo.

"Baiklah, kita akan memikirkan hal ini lagi besok. Di sekolah. Dan pikirkan ini dirumah kalian. Aku tidak mau karena hal ini nilai sempurnaku tergores." ujar Jeremy dengan muka memerintah.

"Baiklah aku tidak akan memikirkannya." sahut Alden dengan wajah seolah dia mengerti. Menganggukan kepalanya dengan dahi mengerut seolah sedang berpikir.

"Aku akan membunuhmu." ancam Jeremy dengan muka bengis. Menatap Alden seolah ia akan berlari menerjang pria itu.

Mereka keluar dengan santai, bergerobol seolah mereka adalah teman baik.

"Ngomong-ngomong Camalia bajumu hari ini keren." ujar Leo memperhatikan gambar dibaju Camalia. Membuat yang lain memperhatikan baju yang Camalia pakai.

Tidak sebegitu spesial sebenarnya. Itu hanya kaus polos dengan foto seorang atlet atau orang bertubuh kekar yang sedang memamerkan ototnya yang terbentuk dengan sangar.

Wajahnya menatap kedepan dengan bengis. Dan tertulis dengan menatang 'He is my DAD'.

"Ya, itu bagus untuk menggertak agar tidak me ganggumu." ujar Rafael dengan lirikan kecil.

"Itu bukan gertakan sebenarnya." Camalia menyahut menatap Rafael dengan lirikan kecil.

"Camalia!" mereka semua serentak menoleh menatap seseorang yang memanggil Camalia.

Mereka menahan nafas, melotot dengan tidak percaya. "Kau sudah pulang?"

"Sudah Ayah." Camalia menyahut dengan lembut, tersenyum kearah pria paruh baya dengan baju kaos fitnes. Memamerkan otot yang terbentuk keras.

"Baju itu benar-benar bukan hanya sebuah gertakan," ujar Alden dengan polos. Membuat Ayah dari Camalia tersenyum membaca apa yang mereka sadari.

Pria paruh baya itu tersenyum dengan senyum seram menatap pria-pria yang bersama dengan putrinya.

Pakaian yang Camalia pakai sengaja dipesan oleh sang ayah dengan memasang fotonya. Mengertak penganggu saat ia tidak bisa menjaga sang putri secara langsung.

"Iya Ayah." Camalia tersenyum canggung. Ayahnya adalah satu-satunya orang tua yang Camalia miliki sejak ia kecil. Ayahnya begitu overprotective kepada Camalia, siapapun yang mendekati Camalia, mereka benar-benar harus melawan seorang banteng berotot baru dapat bersama dengan gadis itu.

"Hm, bagus Kalau begitu. Mau makan malam bersama?" senyum seram diwajah pria paruh baya itu benar-benar menyeramkan.

Dengan melihat saja seluruh pria yang tengah berhadapan dengan pria itu sontak langsung menelan ludah.

Believeحيث تعيش القصص. اكتشف الآن