Bab 3

539 70 6
                                    

Dia berbahaya.

Lelaki itu memiliki kekuatan sihir yang mampu membuat seseorang terus memikirkannya. Bayangkan, bukankah ini mirip seperti mantra yang dirapal, kemudian ditiupkan?

Hinata menggeleng cepat. Bingung melanda lantaran tak dapat mengendalikan degup jantungnya sendiri.

Dirinya separuh hari ini bahkan banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Ia enggan keluar demi menghindari risiko bertemu pemuda itu. Efek kejadian tadi siang saja masih belum sempurna hilang. Di benaknya, terbayang jelas bagaimana awal hingga akhir kejadian tersebut. Rona merah memekat pada wajah tak mampu Hinata elak. Terlebih ketika mengingat betapa hangat tubuh Sunshine saat memeluknya, pun aromanya yang begitu khas serupa wangi cemara.

Seharusnya Hinata tidak begitu terkejut mengingat semua yang terjadi persis adegan dalam novelnya. Gadis itu tengah dilanda kebingungan. Jujur, ia tidak pernah mengalami yang seperti ini. Bersosialisasi saja bisa dikatakan jarang, apalagi berhubungan dengan laki-laki.

"Apa yang terjadi padaku?"


Ia berbisik pada diri sendiri. Wajahnya terasa hangat, tapi tak ia acuhkan. Ia berguling-guling gelisah di atas ranjang. Sesekali menggelengkan kepala kuat-kuat, hendak mengenyahkan pikiran yang berkelana entah ke mana.

"Tenang ... tenang ... ayo tenang, Hinata."

Kata-kata itu bagaikan pelias yang tidak henti keluar dari sela bibirnya. Gadis itu mengintip pintu kamarnya yang tertutup. Ia merasa khawatir jika tiba-tiba Sunshine telah berada di hadapannya. Entah keberuntungan atau karena hal lain, Sunshine yang biasa selalu mengganggu, sore ini menghilang bak ditelan bumi. Sedikit membuat Hinata merasa lega.

"Sepertinya aku banyak membuang waktu, lebih baik aku melanjutkan pekerjaanku saja."

Hinata turun dari ranjang dan mulai menyalakan komputer. Berisik suara kipas dari kotak PC terdengar mengganggu telinganya, membuat ia menghela napas dalam. Kemudian, gadis itu mondar mandir di depan ranjang kasur. Sesekali melirik komputer usang yang masih membutuhkan waktu unggah guna menyala. Ia mendengus sebal. Sudah seharusnya komputer itu dibuang mengingat usianya yang tak lagi muda. Tapi, uangnya masih belum cukup. Baginya urusan perut lebih membutuhkan perhatian. Ia selalu menekankan pada diri sendiri untuk berpuas dengan apa yang ia miliki saat ini. Setidaknya, sampai tabungannya cukup untuk membeli komputer baru.

Tiba-tiba saja mata Hinata membelalak. Ia menoleh ke arah layar komputer yang ternyata telah sepenuhnya gelap. Komputer itu mati.

Buru-buru Hinata mendekati komputer tuanya dan mulai memencet-mencet tombol pada papan kunci. Padahal ia tidak tahu apa yang ia lakukan, hanya berharap penuh pada keajaiban bahwa salah satu tombol yang ia tekan akan membuat komputernya menyala.

Tentu saja tindakan yang sia-sia.

Dengan panik gadis itu terus memencet, lalu beralih pada bagian belakang komputer tepat pada sambungan kabel yang menghubungkan layar monitor dengan PC. Ia memilah kabel itu dan menggerakkannya dengan acak. Kadang mendorong ke dalam, ia pikir bisa mengencangkan sambungan tersebut. Namun kembali, itu tindakan yang sia-sia karena sebenarnya kabel sambungan tidak memiliki masalah.

Hinata hampir menangis saking paniknya. Ia baru ingat jika harus mengirim naskah novelnya ke penerbit malam ini juga. Salah satu penerbit yang memberinya satu kali kesempatan untuk memperbaiki tulisannya, dan Hinata tidak ingin menyia-nyiakan itu.

Marry SunshineWhere stories live. Discover now