Chapter 1 - GAME'S IS NOT CRIME

30 1 0
                                    

Minggu pagi ini langit sangat cerah. Lensa mata pun di penuhi dengan pantulan sinar matahari yang benderang bersama cahaya keemasannya. Indahnya kicauan burung-burung pun sangat jelas terdengar melengkapi pesona pengawal hari ini. Namun tidak begitu lengkap rasanya jika mouse komputer kesayanganku tidak ikut bergerak.
Kulirik jam digital di kamarku. Ternyata masih pukul 09.00 WIB. Sepertinya masih cukup tepat waktunya untuk melemaskan jari-jari dengan suguhan permainan-permainan di komputer kesayanganku yang entah telah berapa lama bersamaku. Perlahan mulai ku hidupkan komputer ini. Tetapi belum sampai 5 menit aku membuka komputer kesayanganku ini, terdengar suara teriakan ibu dari dapur. Aku segera berlari ke dapur dengan perasaan panik karena takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Ada apa bu?” tanyaku panik.
“Itu Dio, ada tikus besar yang barusan saja melintas di atas meja makan.” jawab ibu ketakutan.
“Mana bu?” kujawab cepat sembari tanganku mengambil sapu dan mataku segera melirik ke meja makan. Namun kulihat tidak apa-apa di atasnya. Kufikir mungkin tikus itu lari karena takut mendengar teriakan ibu tadi. Namun aku terus mencarinya hingga kutemukan dia ada di sudut meja kecil di dapur.
“Nah lu ketemu kan. Mau kemana hayo! Sini... sini...” kataku seraya menatap mata tikus hitam yang lumayan besar ini. Sepertinya dia tidak takut saat melihatku.
“Dio apa yang kamu tunggu. Segera bunuh dia. Nanti dia lari lagi.” teriak ibu pelan sembari menarik baju ku.
“Iya bu sabar.”
Plakkk..... Plakkk..... Plakkk..... dengan bermodalkan tongkat sapu panjang aku mulai memburu tikus itu seperti seorang pembasmi tikus profesional. Tetapi sepertinya tikus ini telah sangat ahli dalam melarikan diri. Ia terus lari kesana-kemari untuk menghindari jurus-jurus jitu pembasmi tikusku. Namun tidak lama akhirnya dia tersudut di dinding dapur. Ini kesempatan yang baik untukku. Satu pukulan keras dariku Plakkk..... telah meruntuhkan gigihnya perjuangan tikus itu untuk bertahan hidup pagi ini. Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi mau bagaimana lagi. Jika hal ini tidak kulakukan, ia akan terus mengganggu ibuku pagi ini hingga pagi-pagi berikutnya.
“Alhamdulillah. Akhirnya mati juga kan kamu. Makanya jangan macam-macam padaku.” kata ibu dengan kedua tangannya berada di pinggang yang seolah-olah dia baru saja telah melakukan pekerjaan besar sebagai pembasmi tikus hitam raksasa penghuni rumah.
Aku hanya dapat tersenyum melihat tingkah ibuku sembari meletakkan tongkat sapu ini pada tempatnya. Ibu dengan cepat mengambil bangkai tikus itu dengan kantong kresek berwarna hitam. Kemudian dia langsung berlari membuangnya ke depan rumah. Tetapi sepertinya di samping kanan rumah ada bibiku yang sedang menyapu. Karena aku mendengar teriakan suaranya yang khas bertanya pada ibuku tentang apa yang di buangnya dalam tong sampah pagi ini. Dengan bangga Ibu menjawab pertanyaan bibiku dari depan pagar. Aku hanya dapat tertawa geli mendengar bagaimana ibu bercerita tentang pengalamannya bertemu tikus hitam besar pagi ini.
Sepertinya keadaan telah cukup aman. Aku kembali berlari ke dalam kamar untuk melanjutkan permainan di dalam komputerku yang entah telah berapa lama tertunda untuk suatu pekerjaan sebagai pemburu tikus dadakan pagi ini.

“Rusdi... Rusdi....” panggil seseorang dari depan pagar.
“Dio... Sepertinya ada temanmu itu di depan pagar. Coba lihatlah dulu.” teriak ibu dari dapur.
“Iya bu...” sahutku dari dalam kamar. Ada-ada saja yang dapat menghentikanku untuk bermain game hari ini. Padahal aku hanya ingin bermain game dengan tenang sampai minggu malam weekend kali ini. Aku segera berlari ke luar rumah untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu Aldi, sahabat kecilku. Aku biasa memanggilnya Al.
Aldi merupakan salah satu teman bermainku saat kecil. Dulu hampir setiap hari kami bermain bersama karena saat itu rumahnya berada tepat di samping kiri rumahku. Namun dua tahun belakangan kami mulai jarang bertemu, baik di sekolah maupun di rumah karena orang tua Aldi memutuskan untuk pindah rumah ke daerah pasar sekip yang jaraknya cukup jauh dari tempatku tinggal, kurang lebih 4 km. Tetapi karena rumah nenek dari ibunya aldi masih berada satu komplek denganku tepatnya di daerah komplek perumahan patal, Aldi masih sering berkunjung kesini. Setiap kali dia weekend ke rumah neneknya, dia pasti juga main kerumahku.
“Rus lama sekali kamu keluar. Suaraku hampir habis karena memanggilmu.” katanya semangat seraya mengurut-urut leher. Aku sudah sangat paham gelagat sahabat kecilku ini.
“Iya maaf Al. Seperti biasa aku tadi sedang bermain game di dalam kamar. Aku sama sekali tak mendengar suaramu yang merdu itu.” jawabku santai.
“Suara merdu seperti ini saja tidak kamu dengarkan, apalagi suara sumbang nenek-nenek yang ada di samping rumahku itu Rus.”
“Hush. Kok kamu jadi bahas nenek itu sih. Nanti dia dengar loh. Kamu mau jadi sasaran empuknya lagi.”
“Hahaha... Tidak Rus. Aku hanya bercanda. Cukup sekali saja aku di kejar oleh nenek peot itu. Aku tidak mau lagi di kejar-kejarnya. Nanti asmaku kambuh.” dengan nada riang seraya mengurut-urut dada dia berkata seperti itu.
Padahal kejadian ini telah lama terjadi, tetapi hingga sekarang dia tidak dapat melupakannya. Kurang lebih kejadiannya sekitar setahun yang lalu. Sahabat kecilku ini memang pernah dikejar oleh nenek-nenek berusia 80 tahun yang berada di samping rumah neneknya.
Sore itu sama seperti kali ini, dia bermain ke rumahku. Dengan berdiri di depan pagar rumah dia bercerita tentang bagaimana suara nenek itu saat bernyanyi. Tanpa sadar aku pun ikut larut dalam ceritanya. Namun ternyata sejak awal nenek itu telah mendengar cerita Aldi. Sepertinya dia tidak sengaja lewat depan rumahku untuk berhenti sejenak mengistirahatkan kaki-kaki rentanya sembari memegang kantong belanjaan berwarna hitam. Parasnya waktu itu juga seperti orang yang sangat kelelahan. Tetapi dengan cepat nenek itu langsung saja menarik kuat telinga Aldi sampai memerah. Aldi yang bingung langsung berlari ketakutan sambil meringis kesakitan.
“Kenapa juga waktu itu kamu tidak ngasih tahu aku kalau nenek peot sudah dari awal mendengar ceritaku. Terus bukannya nolongin aku dari kejaran nenek peot itu, kamu malah ketawa.” lanjutnya murung.
“Gimana aku mau ngasih tau kamu Al, aku juga sangat larut dalam ceritamu. Terus kamunya juga sudah lari jauh seperti orang yang di kejar anjing gila. Ya aku gak bisa apa-apa lagi selain tertawa melihat telingamu yang memerah.” jawabku santai.
“Kamu jahat Rus.”
“Sudah-sudah. Kejadiannya kan juga udah lama. Gak usah di inget-inget lagi lah Al. Anggep aja itu sebagai pembelajaran buat kamu biar gak ngatain nenek-nenek lagi.”
“Kamu tu ya Rus paling bisa tau gak buat aku diem dan gak bahas masalah itu lagi.”
“Iya dong Al. Siapa dulu sahabatmu, Rusdi. Hahaha...”
“Rus... Rus...”
“Terus kamu mau sampe kapan berdiri di sini? Gak mau masuk apa?” tanyaku penasaran.
“Oh iya Rus aku sampe lupa tujuanku kesini. Aku mau ngajak kamu ke warnet sebenarnya. Kita main Point Blank lagi yuk. Aku udah lama banget gak main itu Rus.”
“Hmm... gimana ya Al. Aku lagi mau nyelesain misi dulu di game.....” belum selesai aku bicara Aldi langsung memotong.
“Udahlah game yang itu kan bisa nanti-nanti. Kamu sendirian juga kelar. Kalau sama aku kan gak bisa nanti-nanti Rus. Kamu kan tau sendiri kalau aku cuma pas weekend aja main kesini.” jawabnya dengan wajah khas yang membuatku tak bisa menolak permintaannya.
“Iya deh. Aku gak pernah bisa nolak kalau udah lihat wajah melas dan perkataanmu itu.”
“Ya udah buruan Rus minta izin sama ibu mu.”
“Iya-iya. Sebentar.”
Aku segera masuk kembali ke dalam rumah dan berlari ke dapur menghampiri ibu yang sedang memasak makan malam untuk minta izin pergi ke warnet. Ibu mengizinkanku pergi bermain. Namun aku harus pulang sebelum jam makan malam katanya. Tanpa buang-buang waktu lagi aku dan Aldi segera beranjak pergi dengan berjalan kaki ke warnet biasa tempat kami bermain.

STRIVE FOR ME,LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang