Chapter VIII : Clairvoyance

3.4K 592 90
                                    

Haechan berusaha menepati janjinya. Hidup dengan bahagia dan menjalani hari-harinya seperti yang sudah-sudah. Nyatanya tidak semudah itu untuk melakukannya. Berlaku seolah kejadian yang menabrak laju pendulumnya yang tenang tidak pernah terjadi. Seolah godam raksasa dirantai di kaki, tiap langkah yang diambilnya terasa berat. Senyumnya kaku. Matanya tidak menampakkan binar khasnya.

Bukan berarti dia tidak berusaha. Berminggu-minggu ia berusaha mengikhlaskan kepergian ibunya. Namun memori itu bagai mimpi buruk yang terukir permanen di benaknya. Dia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang tubuh ibunya yang berlumur darah ketika ia melihat setiap inchi sudut rumahnya. Dapur seolah menjadi tempat terlarang untuk dilewatinya. Jangankan makan, untuk menenggak segelas air pun ia tak sanggup. Ia selalu membawa makanannya ke kamar. Mengharuskan Taeyong sarapan dan makan malam sendirian di dapur yang kesunyiannya memekakan telinga.

Taeyong mengerti dan mencoba memahami perubahan perangai Haechan. Yang hari demi hari makin dingin dan tak tersentuh. Taeyong bukannya tidak sadar kalau Haechan berusaha menghindari rumah--dan dirinya. Ia membiarkannya, memberi Haechan ruang untuk menata pikiran dan jiwanya. Lambat laun Taeyong jengah juga ketika Haechan tidak repot-repot menutupi usahanya. Ia bersikap seolah Taeyong adalah orang asing. Tak jarang Taeyong merasa seperti makhluk gaib saat Haechan melenggang melaluinya tanpa mengatakan apa-apa.

Jauh di lubuk hatinya, ia tahu kenapa Haechan bersikap seperti itu. Dan Taeyong tahu ia tidak bisa menyalahkan Haechan sepenuhnya. Tapi diperlakukan bagai angin lalu seperti itu membuatnya mendesah frustasi juga. Rasanya ia ingin menyeret Haechan duduk manis di hadapannya, lalu mengkonfrontasinya. Bukan pilihan yang tepat. Taeyong tahu benar itu tidak ada gunanya.

"Memangnya seberapa penting pekerjaan itu sampai-sampai tidak datang ke pemakaman ibu?"

"Jangan berbicara seperti itu," Taeyong menghardik pelan.

"Lalu aku harus berbicara apa lagi!? Demi tuhan ini tentang ibu!" Haechan berdiri tiba-tiba. Membuat kursi yang didudukinya hampir terjungkal.

"Kau tidak mengerti. Pekerjaan itu tidak sesederhana yang kau kira."

"Bagaimana aku bisa mengerti!? Ayah pindah begitu saja tanpa mengatakan apapun dan tidak tercium jejaknya sejak saat itu! Bahkan seminggu setelah pemakaman ibu!?" Haechan berseru nyaring.

"Ada urusan mendadak yang tidak diduga Haechan. Kalau bisa memilih ayah pasti sudah datang--"

"--berhenti mengulang hal yang sama! Kenapa aku harus peduli!? Ayah saja tidak peduli!! Aku sudah tidak peduli lagi. Dia bisa menghilang sesuka hati dan aku tidak akan peduli!!"

Pipi Haechan memerah. Rasa panas  menjalari wajah kirinya. Ia tercenung selepas menerima ayunan tangan Taeyong yang lumayan keras. Tulang pipinya perih, namun entah kenapa hatinya lebih terasa perih.

"Lee Haechan! Jaga ucapanmu!" Taeyong membentak Haechan tajam. Suaranya menggelegar di penjuru ruang. Di dapur. Tempat yang paling dibencinya.

Tanpa mengucap sepatah katapun dia beranjak dari dapur. Taeyong mencekal sikunya, menahannya yang hendak berlari menaiki tangga. Haechan menatap Taeyong sengit. Matanya memicing.

"Kita belum selesai berbicara."

Haechan menepis tangan Taeyong kasar. "Aku membencimu."

Taeyong memijit pelipisnya pelan mengingat percakapannya dengan Haechan seminggu sebelumnya.

Aku membencimu.

Kalimat itu sukses menarik sebuah erangan frustasi dari bibir Taeyong. Terngiang-ngiang di telinga. Sampai saat ini ia mengumpati dirinya yang kala itu tidak bisa mengontrol emosinya. Sejak saat itu hubungannya dengan Haechan benar-benar memburuk. Ia kini hanya bisa bergantung pada Renjun atau Jaemin untuk mengabarinya mengenai keadaan Haechan.

CLAIRVOYANCE [COMP.]Where stories live. Discover now