3

42.4K 1.7K 8
                                    


Suasana private room yang kami booking direstoran mewah ini begitu hening, tak ada yang berniat membuka pembicaraan. Aku, papa, mama dan kak Tania lebih memilih terlarut dalam pikiran masing-masing. Wajah papa berbinar-binar dengan sorot mata bahagia, aku tahu papa sangat bersemangat dalam pertemuan ini, dari tadi senyum kecil tak henti-henti tersungging dibibirnya seolah ia yang akan bertemu dengan calon istrinya.

"Maaf kami terlambat," sebuah suara memecah keheningan, kami serempak menoleh dan tampaklah kehadiran sepasang suami istri sebaya orang tuaku. Lalu mana calon istriku?

"Nggak apa-apa Dan, kami juga baru sampai," papa berdiri menyambut sahabatnya dan bersalaman, tak lupa mama dan Kak Tania cipika cipiki dengan istri Danu.

"Kau pasti Aras kan? Putra kesayangannya Ganda?" Aku tersenyum dan menjabat tangan Danu erat, papa pasti sering membanggakanku pada sahabatnya ini.

"Iya om, saya Aras."aku mengangguk kearah Ranti istri Danu dan dibalas wanita itu dengan senyum lebarnya.

Kami sudah menempati kursi masing-masing, papa bersebelahan dengan mama dan aku, Danu diseberangnya disamping istrinya sedangkan kak Tania terpisah sendiri diujung meja.

"Mana anakmu Dan?" tanya papa sambil celingukan, mencari keberadaan anak perempuan sahabatnya yang akan dijodohkan denganku. Aku yang sebenarnya kurang antusias dalam pertemuan ini ikut penasaran ingin melihat seperti apa rupa wanita itu. Jangan-jangan mukanya jelek, kulitnya hitam, giginya tonggos dan hidungnya pesek. Hiiii!! Aku bergidig membayangkan rupa wanita imajinasiku. Jika bentuknya seperti itu aku bersumpah lebih baik aku melajang seumur hidup.

"Oh, ia balik lagi ke mobil mengambil ponselnya yang ketinggalan," jelas Danu yang diangguki papa.

Dua orang pelayan masuk mendorong meja antar yang berisi makanan pesanan kami dan menatanya diatas meja. Papa tadi berinisiatif memesan makanan sebelum Danu dan keluarganya datang.

"Selamat menikmati," kedua pelayan itu membungkuk dan undur diri bersamaan dengan masuknya seorang wanita muda.

"Selamat malam semua."

Kami menoleh kearah asal suara dan aku tertegun, seorang wanita cantik berkulit putih dengan dress biru laut selutut lengan tiga perempat memaku pandanganku. Rambutnya digelung keatas dan beberapa anak rambutnya dibiarkan menjuntai menambah kecantikannya. Wajahnya hanya dipoles makeup sederhana namun tampak elegan, jauh berbeda dengan wanita bayanganku tadi.

"Sini sayang, ini anak kami Alana," Ranti memperkenalkan anak gadisnya, wanita itu melangkah lembut dan menyalami Papa dan Mamaku, tangannya terasa halus dan pas digenggamanku. Tanpa sadar jemarinya kugenggam erat sambil menatap manik coklat gelapnya. Deheman para tetua menyadarkanku dan melepas jemarinya dengan raut malu, apalagi kedua pasangan itu menatapku dengan senyum simpul.

Gadis itu beralih mengulurkan tangannya kearah Kak Tania sambil tersenyum lembut. Tapi yang kulihat tubuh kak Tania menegang dan matanya menyorotkan kebencian, tak lama ia menyambut uluran tangan Alana dengan wajah datar tanpa ekspresi. Keningku bertaut, ada apa dengan kak Tania? Sepertinya ia punya masalah dengan Alana, apa diantara mereka pernah ada sesuatu yang terjadi?

"Anakmu yang satu lagi mana Dan, kau bilang anak gadismu ada dua kan?" tanya papa sambil menatap sahabatnya.

"Ia lagi diluar negeri, anak itu suka sekali berpetualang entah apa yang dicarinya, sifatnya bertolak belakang dengan Alana meski mereka saudara kandung." Papaku terkekeh mendengar penjelasan Danu, aku jadi penasaran jika Alana saja secantik ini apa saudaranya juga?

Makan malam berlanjut penuh canda tawa, pembicaraan lebih didominasi kedua orang tua kami. Aku dan Alana hanya sesekali menyumbang suara dan lebih menikmati makan malam yang tersaji didepan kami. Sesekali aku melirik wajah cantik yang duduk persis dihadapanku dan tanpa sengaja ekor mataku menangkap kebencian mendalam kak Tania menatap gadis itu.

Selesai makan malam kami beranjak kemobil masing-masing, hasil dari pembicaraan tadi menyerahkan pada aku dan Alana sepenuhnya tentang perjodohan ini dengan catatan Papaku dan Papa Alana sangat berharap kami tak menolaknya terutama aku. Kedua lelaki paruh baya itu memberiku waktu seminggu untuk berpikir, jika aku setuju maka pernikahan akan segera dilaksanakan.

Dalam perjalanan pulang kami kembali dilanda kebisuan, terutama Kak Tania yang tak mengeluarkan sepatah katapun semenjak kedatangan keluarga Alana. Papa tak menyadarinya namun aku dan mama mengetahuinya dan tak berniat menanyakannya. Mungkin nanti sampai dirumah aku dan mama kan menginterograsi Tania.

***

Forgive me alanaWhere stories live. Discover now