Zen menghela nafas lalu mengangkat dagu Kiezi lalu menciumnya pelan. Setelah puas mencium barulah Zen menarik dan menatap wajah Kiezi yang masih saja datar dan tak peduli. 
                              "Apa kau tak bisa mengubah ekpresimu Ki?" Tanya Zen mengutarakan keinginannya. 
                              "Mau bagaimana lagi? Memang ini kan ekspresiku dari dulu?" Balas Kiezi tak peduli. 
                              Zen menghela nafas pelan, dia mengusap pelan kepala Kiezi lalu mengecup pipi wanita itu. "Ki, aku mencintaimu." 
                              Hening, tidak ada jawaban dari Kiezi, wanita itu hanya diam tak peduli. Zen menghela nafas berat. "Ki, aku bosan dengan sifatmu yang--"
                              "Ya sudah, kalau kau bosan pergi saja berkeliling dunia tidak perlu di sini bukan?" Potong Kiezi yang langsung membuat Zen melongo. 
                              "Ki! Astaga! Apa yang kau pikirkan sih? Lalu kalau aku pergi, siapa yang mengajari dua anak itu? Mereka masih berumur empat tahun Ki!" Teriak Zen frustasi. 
                              Kiezi mendongak dan menatap Zen tajam, "Bukannya kau sendiri bilang bosan? Maka pergilah." 
                              "Astaga Ki! Aku tak mengerti dengan dirimu," gumam Zen, "kau adalah gad, eh... bukan wanita paling aneh sedunia." 
                              "Kenapa kau tidak menggunakan gadis?" Tanya Kiezi datar. 
                              "Ki... kau sudah memiliki anak, kau dan aku yah... su-sudah... kau pasti tahu maksudkulah Ki," jawab Zen dengan muka memerah semerah tomat. 
                              "Oh... apa aku pintar main di ranjang?" 
                              Zen membelalakan matanya terkejut dengan pertanyaan blak-blakan milik Kiezi. "Ki," panggil Zen pelan. 
                              Kiezi menatap Zen datar bahkan tak peduli dengan tatapan Zen yang masih terkejut. "Sepertinya kau sudah gila Ki." 
                              "Aku tak gila," ujar Kiezi pelan, "aku hanya bertanya apa aku hebat di ran--"
                              "Berhenti Ki! Pertanyaanmu terlalu vul--"
                              "Vulgar? Aku bahkan tak membicarakan tentang malam kita saat itu," potong Kiezi tanpa peduli. 
                              Wajah Zen semerah tomat, Zen tak habis pikir dengan Kiezi. Kenapa Kiezi bisa bertanya sekaligus berkata dengan sangat santai tengang malam-malam indah mereka?
                              "Ki," panggil Zen dengan sapaan khasnya itu, "apa kau memang masih waras? Kenapa kau tak berpikir dulu sebelum berkata-kata?" 
                              "Aku sudah berpikir," jawab Kiezi sambil berdiri dan menatap wajah Zen datar. Dia mendorong pelan tubuh Zen menjauh darinya lalu berjalan menuju ke balkon kamarnya. 
                              Wanita berambut hitam gelap itu menghela nafas pelan nan malas. Dia menatap langit-langit malam. 
                              "Kau tahu Zen?" Tanya Kiezi tiba-tiba membuat Zen mengernyit bingung. 
                              "T-tahu apa Ki? Kau bahkan tak--"
                              "Tahu tentang kenapa aku mau bersetubuh denganmu," potong Kiezi cepat dan membuat Zen terdiam. "Tentang kenapa aku mau kau sentuh, tentang kenapa aku selalu menyukaimu, tentang kenapa aku mencintai darahmu, dan tentang kenapa aku tak pernah mau kau mati," lanjutnya dengan suara amat datar. 
                              Zen bungkam tak bicara. "J-jadi selama ini kau mau... semuanya! Se-semua yang kita lewati itu kau tak ikhlas?" 
                              Kiezi mengerutkan keningnya bingung sendiri, dia berbalik dan menatap Zen yang berdiri tak jauh darinya. "Aku tak pernah bilang tentang aku tak ikhlas." 
                              "Lalu? Lalu apa maksudmu dengan alasan-alasan itu?" Tanya Zen pelan dengan tatapan bingung. 
                              Kiezi tersenyum tipis, dia langsung melesat dan mendorong tubuh Zen ke dinding. Tubuh keduanya saling bersentuhan. Zen melotot dengan wajah memerah malu. 
                              "A-anu... Ki, a-ada apa? Ke--"
                              "Aku tak memintamu bicara Zen!" Potong Kiezi kesal sendiri. 
                              Zen langsung bungkan dan menatap Kiezi yang mulai membuka ikatan jubahnya dan melepaskannya secara cepat. 
                              "K-kau--"
                              "Diam!" Tajam Kiezi lalu langsung merobek pakaian Zen bagian leher yang sebelumnya terikat tali jubah hitam milik Zen sendiri. 
                              Kiezi menarik kepala Zen mendekat dan menancapkan taringnya di leher suaminya itu tanpa belas kasihan. 
                              "Ugh... Ki, k-kenapa lagi?" 
                              Kiezi menarik kembali kepalanya lalu menatap tajam ke arah Zen. "Aku tak memintamu berbicara sama sekali!" Kiezi membentak kesal. 
                              "Eh? B-baiklah," gumam Zen pelan. 
                              Kiezi mundur lalu menghela nafas dan menatap Zen. "Aku harus pergi," ujar Kiezi tiba-tiba. 
                              "Apa maksudmu? A-aku tak mengerti, pergi? Pergi ke mana? Kau mau per--"
                              "Ke kastilku yang berada di bagian kota Utara." Kiezi memotong cepat. "Aku--"
                              "Untuk apa?" Tanya Zen cepat menatal Kiezi tajam. "Kenapa kau harus pergi? Siapa yang mengajari Kelldy dan Zavier?"
                              "Kau yang mengurus mereka Zen," ujar Kiezi pelan, "aku ada urusan yang sangat penting da--"
                              "Seberapa pentingnya itu sehingga kau membiarkan Kelldy dan Zavier?" Potong Zen tajam dan marah. Dia menatap istrinya tak suka. 
                              Kiezi menghela nafas pelan, "Untuk berusaha mencari tahu tentang bagaimana mencegah kematianku nantinya," ujar Kiezi pelan. "Aku mau mencari tahu apakah takdir yang dibilang oleh tetua vampir II itu benar atau tidak." 
                              Zen terdiam lalu memandang ke arah lain dengan wajahnya yang murung. Zen lalu melangkah pelan ke arah Kiezi yang sebenarnya sangat dekat dengannya. 
                              "K-kalau begitu hati-hati," gumam Zen pelan, dia mengelus pelan pipi halus Kiezi. "A-aku mencintaimu, jangan pergi." 
                              Kiezi lalu menatap Zen dan menyentuh pelan punggung tangan Zen. "Ya, aku akan baik-baik saja. Tenang saja." 
                              "Sampai kau kembali nanti?" 
                              "Ya Zen." 
                              "Aku akan menunggumu," ujar Zen pelan, "aku akan selalu menunggumu." 
                              Kiezi hanya tersenyum, "Ya sudah... aku mau tidur. Ayo tidur." 
                              "Ya." 
                              ****
                              Sebenarnya saya sudah lama buat ini... mungkin sejak aku buat cerita Prince Vampire 1. Hehehehe... aku update daripada dianggurin. Ini tentang Kiezi-Zen saat Kelldy dan Zavier masih kecil. 
                                      
                                          
                                  
                                              YOU ARE READING
BLOOD ✔
VampireBook #1 BLOOD Series (Completed) [18 +] Aku Kiezi Lucifer, aku adalah seorang vampir yang kejam. Aku mempunyai seorang vamore, dia adalah Zenard Fiolasond. Dia yang bisa membuat aku tersenyum. Umurku sekarang sudah ratusan tahun lebih. Aku adalah v...
