2. Eksplorasi

41 8 1
                                    


eksplorasi/eks·plo·ra·si/ /éksplorasi/ penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu; penyelidikan; penjajakan.

eksplorasi/eks·plo·ra·si/ /éksplorasi/ penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu; penyelidikan; penjajakan

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.



"Butuh bantuan?"

Hari ini tepat tanggal 20 agustus, dan besok adalah pelaksanaan akad nikah untuk sahabatnya itu. Darmawan dan Debby (cinta pertamanya). Pikirannya kalut sejak sejam yang lalu, selain kepikiran soal pernikahan temannya (karena ia tidak bisa menghandiri), pesawatnya delay dan dia harus ditelantarkan di bandara.

"Makasih, tapi memang tampang saya terlihat butuh bantuan?"

"Kelihatan bimbang? Soalnya dari tadi saya ngelihat kamu kayak gelisah. Pikiranmu gak fokus."

Gilang tersenyum menatap perempuan didepannya ini. Namanya Lalita Sekar Pramudinar, teman satu kantornya, dulu kuliah di Jogja dan asli orang jogja. Dan saat ini mereka sedang perjalanan kerja untuk eksplorasi.

Lalita perempuan yang pintar, karena kepintarannya itu dia sudah bekerja dengan jabatan setara dengan Gilang, padahal umurnya baru dua puluh tiga tahun.

"Boleh saya cerita?"

Lalita tersenyum menatap rekan kerjanya ini. "Silahkan."

"Besok orang yang saya suka menikah, dan dia gak ada ngomong apa-apa sama saya. Nikah gitu aja, ada sih cowoknya yang nelpon saya, ternyata nikah sama temen SMA saya."

"Tragis sih. Tapi mas gak perlu saya hibur kan? Sudah gede mas malu kalau mas minta saya belikan balon."

Gilang memicingkan senyumnya, dia tidah tahu kalau Lalita bisa melucu walaupun tidak membuat moodnya berubah sama sekali.

"Saya nggak minta balon, saya mintanya permen yupi lebih enak dari balon."

Mereka berdua tertawa. Setidaknya perempuan yang ia kenal pintar ini tidak kaku saat diajak bicara santai seperti ini. Dan setidaknya Gilang tau, asumsinya tentang perempuan ini terbantahkan.

Gilang berpikirir, bahwa perempuan ini memiliki sikap yang sombong dan seperti perempuan pada umumnya. Jika di sodori dengan kekayaan langsung mau.

Nyatanya, untuk pergi dengan Lalita tidak seribet saat ia pergi dengan Debby. Hanya satu tas jinjing kecil yang simpel. 

Memang benar kata Arya, Lalita tidak suka ribet.

"Pesawat kita sebentar lagi, Mas. Siap-siap, jangan galau lagi."


[•]


Regan Fahmi P. mengganti subjek menjadi "Kapan Pulang?"

Rolandy Atmaja : Sabar sayang, abang masih cari duit.

Rolandy Atmaja : tiket kanada - indonesia mahal , jadi gue pulang kalau Mamak udah nemu calon istri aja.

Gema H. Wellian : Masih keukeuh aja lo, Lan. Mamak lo yang nyari istri. Ribet bener dah.

Tanubrata Farel : Gak ribet sih sebetulnya. Cuma ya standarnya tinggi untuk perempuan jogja hahaha.

Regan Fahmi P : Si kumis kucing kemana? Debby nikah besok. Dia dateng gak tuh?

Tanubrata Farel : Debby yang itu? Yang Gilang tergila gila ampe mabok? Aje gile Gilang ditinggal nikah.

Rolandy Atmaja : Wajar sih, Debby cantik , mana mau sama Gilang. Ya jelas nyari yang lebih dari Gilang, lagian Gilang jadi cowok gak gercep.

Gilang Argantara : TAEK.

Gilang Argantara : Gue juga gak tau kali kalau Debby mau nikah sama Darmawan.

Gema H. Wellian : Darmawan ? Jangan jangan yang duduk sebangku sama lo pas kelas 12 ye?

Rolandy Atmaja : Hahha najis di tikung temen sebangku

Rolandy Atmaja : Plizzz tapi beneran Darmawan yang itu?

Handika Rezandi : Apasih kok rame sekali. Hapeku geter-geter aja dari tadi. Pahaku jadi goyang goyang.

Gilang tertawa melihat tingkah Handika, laki-laki ini yang paling aneh diantara teman-temannya. Bisa dibilang paling polos tapi bisa memimpin perusahaan sebesar itu. Aneh juga.

Dibilang paling kulot tapi perempuan yang setia sama dia cantik banget, taulah dia bedain perempuan seger sama layu.

"Mas Gilang, sudah makan?"

Gilang melihat Lalita berjalan mendekatinya. "Wah. Menu makanannya kok Indonesia banget gini." Mereka sudah sampai di Singapura pukul 03:18 PM (sekitar jam 12:18 di Indonesia)

"Ini memang sengaja aku nyari di luar hotel tadi, Mas. Lidah saya ga cocok sama makanan China. Jadi saya nyari-nyari aja." Gilang memicingkan matanya, menaikkan sedikit alisnya. "Makanannya China? saya kira Jepang, Lal." 

Lalita menghembuskan napasnya, lalu memasukkan makanannya kemulutnya dengan santai. "Sebenernya nih mas, maaf ya, masakan china sama jepang itu bedanya jauh." 

Oke Skakmat. "Oke saya memang katrok banget. Gak tau begituan. Hehehe."

Selama hidupnya Gilang baru menemui perempuan seperti Lalila, ya sedikit unik untuk perempuan yang berpendidikan tinggi. Biasanya orang yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih memilih apa yang sudah disediakan tanpa mau ribet mencari-cari lagi (namun tidak semua orang begini), lalu dia cantik, perempuan cantik biasanya tidak mau berjalan kaki jauh hanya untuk makanan, yang mungkin bisa menambah lemak. But, Lalita dari pandangan Gilang tidak mengeluhkan hal itu.

"Enak?" Tanya Gilang, "Lumayan untuk lidah saya, tapi enakan masakan balikpapan mas saya serius, tapi ya dari pada saya makan masakan China dibawah terus muntah lebih baik ini aja deh."

"Saya mau juga makan yang kamu beli, anterin saya beli makanan yang sama kayak kamu, boleh?"

"Dengan senang hati." Lalita tersenyum menanggapi ucapan Gilang. Selain di kenal pintar Lalita dikenal dengan sifat ramahnya bahkan untuk tersenyum saja dia sangat gampang.

Boleh tidak Tuhan? saya mau punya istri yang model begini, tapi jangan Lalita deh, terlalu tinggi sepertinya untuk saya . "Bawa jaket, Mas. Dingin soalnya."

Tuhkan. Saya laki-laki normal yang bisa luluh kalau dikasih perhatian kecil begini terus-terusan. "oke. Ini saya sudah bawa jaketnya."

"Uangnya juga ya mas, saya gak bawa duit loh." Lalita tertawa sekilas, melihat wajah kaku Gilang. "Oh yaampun, iya uang, saya hampir lupa."




-TBC.

SegueDonde viven las historias. Descúbrelo ahora