<Lima>

3.1K 562 7
                                    

"Masih sayang?"

"Menurutmu?" aku balik bertanya.

Dhyra diam, tak seperti biasanya yang mengoceh panjang lebar. Ia lebih memilih fokus pada jalan, tadi, kami sudah diberi instruksi untuk bergerak ke Desa Sukorejo.

Kami ditelan hening, hingga sepuluh menit kemudian tiba di lokasi. Aku diam, tubuhku seakan kaku, tak bisa mengatakan apa-apa melihat kondisi di desa ini. Semua rata dengan tanah. Tim Sar sibuk melakukan evakuasi, alat-alat berat diterjunkan di sana. Menurut informasi, masih ada sepuluh korban yang belum ditemukan. Membuat hatiku mencelus, Tuhan dan segala kekuasaannya adalah sesuatu yang terkadang tidak bisa dinalar oleh manusia. Tuhan selalu punya cara dan rencana tersendiri untuk menunjukkan kuasanya pada manusia.

Bencana ini mungkin suatu peringatan kepada manusia, bahwa hanya Tuhanlah yang mampu membuat manusia binasa dalam sekali waktu. Denyut jantungku terasa berhenti berdetak manakala mengingat, tangis ketakutan orang-orang yang terkubur hidup-hidup di dalam tanah, kepanikan mereka, kepasrahan menanti ajal, dan beribu harapan yang turut terkubur bersama harta benda di bawah sana.

"Oke, kita akan dipandu Pak Suto, beliau salah satu Tim Sar. Bisa mulai kerja sekarang, ya! Sukses!"

Acil yang menjadi ketua kelompok Desa Sukorejo memberikan perintah. Kami semua mengangguk, dan mulai terjun ke lapangan. Tidak banyak yang kami lakukan, kami tidak diperkenankan untuk ke tengah, hanya membantu membersihkan puing dan sampah di pinggiran yang lumayan jauh dari tebing. Takut, kalau-kalau terjadi longsor susulan, sebab semalam turun hujan dan kondisi tanah masih sangat rawan.

"Aku ke sana, ya, Ris."

Dhyra menunjuk, tempat yang sedikit jauh, kulihat ada Dewangga di sana. Meski aku sedikit tidak rela, pada akhirnya aku mengangguk. Kembali sibuk dengan kantung plastik besar dan tangan telanjangku memunguti puing yang tampak. Aku tidak mungkin melarangnya. Dhyra bukan siapa-siapaku bukan?

"Mas, cangkul," tawar seorang pria setengah baya, berkulit sawo matang, saat melihatku tidak membawa cangkul ataupun alat lainnya kecuali sebuah kresek hitam besar.

"Terima kasih, Pak."

"Saya Radi."

Pria itu mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangan Pak Radi. Wajah pria itu tampak suram, gurat kesedihan tergambar jelas di sana. Kulit sawo matangnya terpenuhi peluh yang terus turun, sesekali pria itu akan menyekanya dengan kaus lusuh yang ia kenakan hari ini.

"Aris, Pak." aku membalas, setelah terdiam beberapa saat, mengamati Pak Radi.

Pak Radi tersenyum.

"Ini hari ketiga anak dan istri saya tertimbun tanah, Mas," ujar Pak Radi.

Aku mungkin sedikit terkejut. Melihat iba ke arah Pak Radi. Tapi, tadi sempat kuperkirakan tentang pria itu yang mungkin saja kehilangan sanak saudaranya.

"Umur memang tidak ada yang tahu kan, Mas? Meski begitu, saya ingin menemukan jasad mereka. Ingin menguburkan mereka dengan layak."

"Saya turut berduka cita, Pak."

Pak Radi tersenyum sedih. Beliau mulai mencangkul tanah lagi, berharap di bawahnya ada jasad anak dan istri. Sejenak, aku mengingat ibu, seperti inilah kira-kira Ayah mengasihi ibu.

"Semua habis Mas. Rumah, kebun, ternak."

Aku mengamati Pak Sardi. Ingatanku tertuju pada Ayah. Bagaimana keadaan Ayahku di sana? Ucapan Lies tadi mengingatkanku pada Ayah. Sewaktu kehilangan ibu, ayah memang tidak sehancur Pak Radi. Setidaknya Ayah masih memilikiku dan adik perempuanku di rumah. Tapi, rasa kehilangan Ayah mungkin juga terasa sama besarnya dengan Pak Sardi.

"Tuhan akan menggantinya, Pak. Bapak yang sabar."

Aku memberi nasihat, bentuk simpatku pada Pak Radi. Akhir pekan nanti, mungkin aku akan pulang menemui Ayah.

"Ya, saya percaya itu."

Aku mengangguk. Kami mulai bekerja lagi, sebelum suara gemuruh memekakkan telinga, membuat tubuhku kaku sejenak.

"Longsor susulan! Lariiiii...."

Teriak-teriakan itu langsung menggema. Aku panik, segera kuletakkan cangkulku, Pak Sardi juga memintaku untuk segera meninggalkan tempat itu, tapi, mataku sibuk mencari keberadaan Dhyra. Tubuhku berlari begitu menemukan keberadaan Dhyra yang tadi bersama Dewangga. Ia panik di sana, Dewangga entah di mana, padahal tadi ia bersama Dhyra.

"Ayo, lari!" kataku pada Dhyra.

Segera kutarik tangan Dhyra untuk pergi, ia terkejut sehingga hanya diam. Dhyra mengikuti langkahku terseok-seok. Ia menangis, panik.

"Aduhhhh..."

Dhyra jatuh, tanpa pikir panjang, segera kuangkat tubuhnya. Longsor ini tidak bisa diprediksi. Aku menggendong tubuh Dhyra di belakang, berlari menghindari longsor dengan naik ke arah jalan yang lebih tinggi. Dhyra menangis di punggungku. Aku tahu ia takut.

Tbc

Terima kasih yang sudah menyempatkan membaca Aris dan Dhyra! Sebentar lagi kisah mereka akan berakhir. Dan, nantikan series terbaru dari saya dan Andhyrama, coming soon :3.

Jangan lupa baca So I Love Him di lapaknya andhyrama

So I Love HerWhere stories live. Discover now