[2013]
"Hahahahahahahhaaha, g-gueee," ejek seorang anak laki-laki berambut mangkuk ketika Dira barusan mencoba melatih aksen ibukotanya bersama Ditya, Mar, dan Nabila.
Dira langsung menundukkan kepalanya begitu mendengar seseorang menertawakan caranya berbicara.
"Udah, nggak apa-apa," kata gadis dengan rambut diikat tinggi yang duduk di hadapan Dira, Mariana. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Dira, lalu melemparkan sorot mata tajam pada anak laki-laki berambut mangkuk yang tertawa tak ada hentinya sejak Dira berhenti berbicara.
"Heh!" Bentak seorang gadis bergigi taring mirip kucing di samping Mariana, Dian Aditya.
Ditya bangkit dari kursinya, menghentakkan kakinya dengan kekuatan penuh, menghampiri anak laki-laki berambut mangkuk tadi. "Diem lo ya!" labraknya penuh emosi di depan wajah anak laki-laki itu. "Kalau lo bikin temen gue nangis, gue bakal ... bakal matahin hidung lo!" ancamnya ragu.
Anak laki-laki berambut mangkuk itu justru tertawa sejadi-jadinya, membuat wajah Ditya semakin merah padam dan ingin segera melayangkan tinjunya ke wajah anak itu. Jika saja Nabila tidak segera berdiri dan memegangi bahu Ditya, mungkin hidung anak laki-laki itu benar-benar sudah patah.
"Udah, Dit," ujar Nabila datar.
Ditya menoleh ke arah Nabila dengan raut wajah kesal. "Ck." Ia berdecak dan kembali ke tempat duduknya, masih dengan dada naik turun penuh emosi.
Nabila memberikan tatapan dingin pada anak laki-laki itu. "Gue harap lo seneng kalo udah ketawa kayak gitu," kata Nabila, hampir berbisik. Tatapan Nabila begitu tajam dan sadis, mengoyak sisa keberanian laki-laki itu untuk tertawa lebih keras. Anak laki-laki berambut mangkuk itu menelan ludah dan berjalan mundur, Nabila tak mau melepaskan sorot mata dinginya pada anak laki-laki itu, memaksanya melangkah mundur lebih jauh lagi. Tubuh laki-laki itu merinding ketakutan, ia terus berjalan mundur sampai akhirnya tersandung kaki meja dan jatuh diikuti ledakan tawa seisi kelas.
Nabila tersenyum geli saat melihat anak berambut mangkuk itu berlari terbirit-birit ke luar kelas. Ia lalu kembali ke tempat duduknya dan berusaha membangun lagi kepercayaan diri Dira seperti kedua temannya yang lain.
"Udah, lo nggak usah sedih, Di, nggak usah didengerin omongan Aditya, nggak apa-apa kok, lagian lo nggak wajib harus kedengeran kayak orang Jakarta, just be yourself, " kata Mariana.
"Lo bisa jadi apapun yang lo mau, Di, dan lo tetep lo. Cuma karena aksen, lo nggak perlu ngerasa inferior," Ditya menambahi.
Dira mengangguk, lalu melirik ke belakang, ke arah anak laki-laki berambut mangkuk yang mengintipnya dari balik kusen pintu kelas.
¤•¤•¤•¤
Dira belum genap 13 tahun saat pindah ke Jakarta karena pekerjaan bapaknya.
Sebelum pindah ke Jakarta, ia termasuk anak yang sangat percaya diri. Saking percaya dirinya, ia sampai berhasil menghadiahkan dua piala lomba pidato Bahasa Jawa—masing-masing Piala Bupati dan Piala Gubernur—ke SD-nya. Sayang, kepercayaan diri itu harus patah begitu ia pindah ke Jakarta. Sesederhana karena ia berbicara sedikit berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Aksen jawa-timurannya yang cukup kental ketika pertama kali masuk sekolah tidak hanya menjadi objek ejekan anak-anak di kelasnya, namun juga sumber masalah baginya. Teman-teman sekelasnya jadi sering salah paham dengan maksud Dira lantaran cara berbicaranya yang cepat dan terdengar seperti orang marah. Salah satu korban salah paham itu adalah Dian Aditya Paramita.
ESTÁS LEYENDO
[✔] Boi || jhj, hhj
FanficAdira (Jeon Heejin) has a blog, a secret admirer, a guy she's in love with, and a lingering prick who makes everything ten times more complicated. -------------------- "Dit, kalau gue ditolak terus gue jatuh, lo bakal nangkep gue kan?" "Gue nggak ak...