empatbelas

4.1K 565 346
                                    

Anindya

Satu hal yang paling menyebalkan dari manusia adalah ketika mereka bertanya kenapa? seakan-akan suatu kewajiban untuk mereka mengetahui apa alasan atau apa cerita yang terjadi pada si lawan bicaranya. Dan yang sial ketika si lawan harus memutar otak untuk bagaimana caranya kabur dari pertanyaan itu, atau mengalah saja, rela menjelaskan semuanya walaupun terpaksa. Dang, that was too long to explain. Intinya saja deh, I don't like to explain myself to other. Bagaimana pun bentuk pertanyaannya, dan apapun masalahnya. Apalagi di saat seperti ini saat semuanya sedang tercampur aduk.

Kali ini aku sangat berterimakasih karena Danny tidak banyak mengajak bicara. Dia juga tidak banyak bertanya, which I highly appreciate. Karena mungkin kalau dia mulai bersuara, aku akan dengan senang hati meneriaki dia supaya jangan ganggu aku dulu.

Aku masih kaget dan jantungku juga masih berdebar kencang. Belum lagi airmata yang sedari tadi sudah menggelitik, meminta untuk dibebaskan bersamaan dengan semua emosi yang sudah meluap. Kalau di persen kan, mungkin aku ini cuma dua puluh persen, sisanya hilang bertebaran saat aku melihat Arsen tadi, didepan pintu dengan mata yang merah karena menangis dan semua penjelasan dia yang sudah sangat cukup menghancurkan tembok besar yang selama ini aku bangun sendiri.

Kamu nggak salah Arsen. Kali ini aku yang salah, aku masih terlalu bingung untuk memulai darimana padahal kamu sudah ada tepat didepan aku dan bahkan memohon untuk memperbaiki semuanya.

Sudah hampir lima belas menit berlalu dan aku masih belum selesai menyumpahi diriku sendiri. Kenapa bisa berbuat tolol, Anindya? Itu Arsen, yang sudah kamu tunggu-tunggu kedatangannya dari lama, tadi berdiri tepat didepan pintu dan menjelaskan apa yang selama ini kamu perlu dengar; dia menyesal.

Tapi lihat apa yang sekarang kamu lakukan, Nin? Kamu pergi.

"For God's sake, Nin, I regret everything I did to you. Will you give me another chance, Nin? That is the only thing I need right now. I'm sorry, I'm sorry, please say something, or punch me, anything please, Anindya."

Aku sudah hampir menyerah saat itu. Bukan ingin menampar, tapi ingin kembali ke pelukan Arsen yang sangat rapuh. Aku pun juga sama. Kami berdua rapuh. Aku percaya kalau kami bersatu lagi, mungkin kami bisa menyembuhkan luka satu sama lain, kami bisa jadi obat untuk masing-masing yang tidak pernah bisa ditemukan di orang lain.

Dan lagi, Arsen, kali ini kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku yang dengan bodohnya malah memilih untuk pergi, bukannya memberanikan diri seperti apa yang kamu lakukan tadi. Aku tau pasti berat untuk kamu melakukan semua itu, ya? Bagaimana pun kamu itu aku. Kamu juga sama seperti aku yang selalu kalah melawan ego. Tapi hebatnya kamu tadi menang, Arsen.

"I'm sorry, Nin." Aku melirik Danny yang baru bersuara setelah diam selama hampir dua puluh menit lamanya. "I'm sorry." Pandangannya masih lurus kedepan.

Aku mengangguk. Mungkin maksud Danny itu maaf sudah mengajak pergi di saat mood kamu sedang rusak, Anindya.

"I was there the whole time. I was hiding behind the nearest wall. And I know everything I need to know Anindya, about you and Arsen. I know it all. I'm sorry."

Kali ini aku bener-benar menoleh, memasang raut wajah bingung sambil menunggu kelanjutan penjelasan dari Danny. Lalu kenapa Danny melakukan semua itu?

"Why? Why you did that?"

"Sekali lagi maaf, Nin. Yang kepikiran sama aku itu cuma aku harus bawa kamu pergi dulu. You seemed so nervous, confused and all sama semua pernyataan Arsen, makanya aku pikir lebih baik bawa kamu pergi untuk cari jalan keluarnya lebih tenang lagi. Mungkin dia terlalu bikin kamu kaget. I don't know, I want to help you first. Are you okay now?"

wonderwallWhere stories live. Discover now