6th Crying: The Last for The Past.

503 30 5
                                    

Hingga    suatu hari, aku benar-benar cemas karena tidak dapat tidur   selama 4    hari berturut-turut lamanya. Insomnia akut. Aku mendatangi   apotik  lalu   tanpa sengaja melihatmu sedang makan dengan kekasihmu di   rumah  makan   samping apotik. Kau melihatku lalu dengan cepat kau    menghampiriku dan   berdiri cukup lama di sampingku. Aku tidak mampu    melihatmu. Aku hanya   melihat tanganmu terulur hendak berjabatan.

***

Aku memberanikan diri melihatmu.

Aku cukup malu karena aku sangat berantakan sementara kau tampil sangat rapi.

''Kau kenapa? Aku ada salah? Bilang saja. Kau sakit? Kau tinggal dimana sekarang?'' Kau bertanya sambil menatap wajahku sangat dalam.

''Sibuk,'' jawabku singkat, sambil mencoba memaksakan senyum setulus mungkin.

''Sekarang tidak kan? Kau sudah makan? Ayo cerita. Aku ke tempatmu. Aku antar dulu Lora. Kau ikut. Aku mau banyak dengar kabarmu. Ada juga yang mau aku ceritakan.'' Kau berbicara sedikit memaksa, wajahmu terlihat tidak tenang. Namun ada sedikit senyum disana.

Aku mengangguk pelan. ''Makan saja dulu, habis beli obat aku langsung menyusul ke dalam.''

''Benar ya?!''     ucapmu sambil memegang bahuku yang segera aku  tepis pelan sambil     mengangguk. Kau masih diam di tempat. Aku mengangguk  pelan,  meyakinkan. Kau lalu berjalan pelan sambil tetap menoleh ke  arahku  sebelum masuk    menyusul kekasihnya.

Nafasku sesak lalu aku mulai  memesan obat    sembarangan dalam jumlah  cukup banyak dan pergi pulang  dengan    menggunakan motor.

Perasaan  bersalah itu kembali muncul.  Tiba-tiba aku    menangis. Tanpa pikir panjang  malam itu aku meminum  semua obat yang   aku  beli. 9 strip kemasan dengan  jenis obat berbeda.  Termasuk semua   obat  sirup dan obat-obatan kadaluarsa  yang ada dalam  kotak persediaan    obatku. Total 4 botol banyaknya.

Aku hanya  berpikir ingin  lenyap   saat itu. Semua gelap. Tanpa  kusadari,  keesokan harinya aku  sudah   berada di rumah sakit. Ibuku datang  di  sore hari. Lusa aku  dibawa   pulang ke Bali oleh Ayah setelah disiksa   secara fisik  seharian.

Pertemuan   malam itu adalah pertemuan  terakhirku  denganmu. Kau belum  sempat   mendengar ceritaku dan aku  belum sempat  mendengar ceritamu. Aku  tidak   menepati janji.

**

Pesawat   sudah tiba di Bandara Kuala Namu.

Ibuku akan menikah lagi  besok,  maka  dari itu aku datang   mengunjunginya. Ini akan jadi hari   bahagianya  setelah mengambil   keputusan untuk meninggalkan ayah.

Aku   pernah  berjanji tidak akan   pernah menginjakkan kaki ke kota ini lagi.   Aku  takut semua kegelapan   itu kembali. Namun, demi Ibu aku berani  untuk   mencoba kuat.

Sekali   lagi aku mencoba menatap wajahmu  berharap  ini kali terakhir  walaupun   aku harus menahan sesak dan rasa  sakit di  dada yang sulit aku  jelaskan   dan sudah aku tahan cukup  lama semenjak  melihatmu lagi.

Mata  kita   sempat beradu dan sempat  membuat keringatku  kembali keluar.

Tanganku   sempat bergetar menahan  cemas.

Kau sempat  memperhatikanku cukup  lama.   Aku langsung  mengalihkan pandangan,  melepas sabuk pengaman lalu    beranjak dari  bangku mengambil ransel di  bagasi kabin. Aku berharap kau    tidak  menyadariku dan berharap masker  ini cukup mampu menutupi wajahku     agar tidak dikenali.

**

Sudah 7  tahun, wajahku juga berubah.    Tetapi, perasaanku ternyata  tidak. Aku  tersiksa dalam rasa bahagia.  Kau   hanya bisa merasakannya saat  menjadi  aku.

Aku sudah keluar  dari   pesawat dan berada di dalam bandara  menuju  pintu keluar  setelah   mengambil bagasi. Naluriku masih  terhipnotis  mencarimu.  Namun, aku   tidak melihatmu lagi. Ya, memang  aku sangat ingin   menghindarimu namun   hati dan pikiranku memiliki  banyak suara saat  ini.

Di tengah   keresahanku, tiba-tiba kau  sudah berada di  sampingku  setelah berjalan   cepat, menyentuh pundakku, menyuruhku berhenti  dan memberikan  buku milikku  yang tertinggal   di kursi dan... tiket  pesawat.

Tertulis namaku sangat jelas di tiket itu.

Mr. HUGO, IGNASIUS.

Aku cemas namun berpura-pura tenang. Mengucapkan terima kasih lalu pergi seakan tidak ada sesuatu yang aneh sedang terjadi saat itu. Namun nafasku kembali sesak. Aku mencoba bertahan agar tidak terjatuh.

''Apa kabar?'' aku sempat hendak menghentikan langkah berat gemetarku saat kau mengatakan pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan padamu sejak awal melihatmu.

Tanganku ikut bergetar. Aku mengepalkan tangan mencoba untuk bertahan dan kuat. Aku memilih tidak peduli dan pergi pura-pura tidak mendengar. Kau bertanya lagi cukup keras, ''Apa kabar, Hugo?"

Aku tetap diam.

Kau tetap berdiri melihatku menjauh.

Maaf, tapi aku tetap mau hidup.

***

Ibu     dan calon ayah tiriku menjemputku di bandara. Mereka terlihat    bahagia   melihatku dan menanyakan banyak hal. Namun di tengah riuh percakapan mereka, aku masih terdiam      mengingatmu. Aku menemukan selembar kertas terselip di buku yang      diberikanmu tadi. Tulisanmu tidak berubah dan kali ini kau membuatku      benar-benar menangis.

**

Sudah 7 tahun.

Kehilangan sahabat seperti kehilangan semangat hidup.

Padahal aku akan selalu ada disana untuk mendengar.

Aku mencari namun aku kehilangan.

Kau     tahu betapa sakitnya bertemu orang yang kau doakan setiap  waktu   namun   tiba-tiba tanpa kamu sadari dia ada di sampingmu dan hanya    memilih   diam?

7 tahun aku menunggu hanya untuk menanyakan kabar dan mendengar ceritamu.

Terima kasih untuk 4 jam duduk tepat di sampingku.

Tapi seharusnya kau tahu juga apa mimpiku saat aku tidur.

Dalam mimpiku aku menangis. Dan aku sudah bermimpi selama 7 tahun lamanya.

***

[NEXT: The Answer]

7 Years Crying [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang