I. Prolog ( Tokio's Feeling)

66 5 5
                                        

Aku tidak akan melupakan wajah itu, wajah perempuan yang kini berdiri di depanku. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Pandanganku tetap tertuju kaku menatapnya. Tuhan, musibah apalagi ini, kenapa anak itu kembali lagi, kenapa ia berdiri dengan polosnya di hadapanku. Aku tetap mematung, walau aku sadar, gadis itu pasti terheran-heran melihat sikapku. Ah, ini membuat kepalaku pusing, aku bahkan tak bisa berpikir jernih, bahkan air mataku yang sejak semenit lalu masih mengalir deras, kini kering begitu saja. Seperti tidak ada yang terjadi selama seminggu ini, seperti saat ibu mengenalkanku pada gadis ini untuk kedua kalinya.

"Tokio, dia Sakura, bukankah dia gadis yang manis?"

Ucapan ibu saat itu berputar-putar di kepalaku, tapi aku tetap berdiri mematung. Kepalaku tetap kosong. Aku terkejut, dan aku benci ini, aku benci gadis ini menampakkan diri di hadapanku, aku benar-benar benci ini.

"Kakak,"

Ah, menyebalkan sekali. Apa yang harus kulakukan? Kenapa ia datang ke tempatku? Kenapa ia ada di Tokyo dan bukan di Kyoto?

"Kakak,"

Ini hari yang menyebalkan bagiku. Aku tak mau ia disini. Aku benci jika ia melihatku, aku benci ia tersenyum padaku. Sekarang, kenapa ia disini?

"Kakak, kakak, kakaaakk,"

Apa? Siapa yang memanggilku kakak? Ah.ya, anak ini. Dia memanggilku apa tadi? Kakak?

"Kakak, apa kakak mendengarku?"

Benar, dialah yang memanggilku kakak, saking terkejutnya, aku bahkan tak mendengar ia memangilku. Aku segera tersadar.

"Ah,ya, maaf kau...,"

"Sakura, aku Hana Sakura, kakak ingat?"

"Ah,iya, aku ingat, kau... kenapa ada di Tokyo?"

"Itu... aku benar-benar minta maaf, aku berniat untuk bertemu bibi, aku benar-benar tidak tahu bibi sudah...,"

Ucapannya terhenti, matanya yang bulat mengalihkan pandangannya ke sebuah makam tak jauh dari tempatku berdiri. Makam bertuliskan nama ibuku.

"Ah, itu salahku, aku tidak memberi tahumu lebih awal, jika kau tahu ibu sudah tiada, kau tidak perlu jauh-jauh..., "

"Apa maksud kakak? Seharusnya tanpa kakak beri tahu pun, aku tetap mencari kabar kalian, tapi aku sama sekali tidak mengetahui apa pun"

Suaranya mulai terdengar sendu. Ia berjalan pelan menuju makam ibu. Aku melihat bulir-bulir air memenuhi kelopak matanya. Ia mulai terisak. Aku benar-benar membencinya, kenapa ia harus menangis? Kenapa ia harus sedih dengan kematian ibuku? Itu ibuku, yang pergi itu ibuku, bukan ibunya? Kenapa ia sesedih itu?

"Bibi, maafkan aku...,"

Ia mulai menangis terisak-isak. Hey! Kenapa kau menangis? Itu ibuku, sudah kukatakan itu ibuku. Hatiku benar-benar membenci ini, tapi aku tetap tak melakukan apapun, hanya mematung di tempatku. Anak itu mengusap nisan di makam ibu. Ah, Apa yang ia lakukan?

"Bibi, aku benar-benar minta maaf, padahal bibi sudah melakukan semuanya untukku, padahal bibi sudah melindungi diriku, padahal selama ini bibi yang selalu terseyum kepadaku, tapi aku sama sekali tak melakukan apapun, bahkan aku tak bisa menbantu bibi pada saat bibi membutuhkanku, aku benar-benar minta maaf, bi, aku...,"

Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku benar-banar heran, apa yang sebenarnya ia pikirkan, kenapa ia benar-benar mempedulikan ibuku, kenapa ia mengatakan hal itu. Ah, aku benar-benar kesal tapi aku juga sangat tersentuh mendengar ucapannya. Kenapa ia harus kembali kesini, kenapa ia kembali ke kehidupanku.

"Aku benar-benar ingin bertemu bibi, aku merindukan bibi dan kakak, maafkan aku, bi.."

Apa yang ia katakan? Kenapa ia merindukanku? Dan ibu? Lelucon apa ini? Ah, ini membuatku kesal. Gadis ini benar-benar tak mengerti mengapa aku tak mau melihatnya. Menyebalkan. Sekarang, ia malah tersenyum padaku.

Sakura, The Love Without NameWhere stories live. Discover now