Empat

121K 15.8K 822
                                    

Pengin bawa lakban hitam kemana-mana
Buat nutup mulut orang yang suka nanya kapan nikah
-Karamina-


Beban psikologis orang yang belum menikah di usia kepala tiga, lebih besar dari orang yang masih berkepala dua. Berbagai macam pertanyaan mulai dari yang halus sampai dengan yang paling nyinyir akan selalu mengikuti. Seolah permasalahan itu menjadi permasalahan bersama, seolah orang yang belum menikah itu seperti virus yang mematikan dan harus segera diobati. Kegencaraan orang-orang di sekitar, ternyata tidak diimbangi dengan pemberian solusi, mereka hanya bisa bertanya dan bertanya hingga membuat orang yang ditanya menjadi emosi dan depresi.

"Kapan nyusul temenmu? Mereka udah nikah semua. Kamu mau nunggu apa lagi?"

"Kapan lagi mau nikah? Keburu kiamat, lho."

"Kasian udah tiga puluh tahun 'itu' nya cuma dipake untuk kencing doang."

Kuping Kara sudah kapalan mendengar pertanyaan semacam itu. Orang-orang kadang dengan tidak tahu dirinya mengeluarkan pertanyaan tanpa penyaringan lebih dulu. Kara bahkan punya cita-cita untuk membuat sebuah filter yang dipasang di mulut orang-orang yang sering mengeluarkan kalimat-kalimat seperti itu.

Kalau sudah membahas tentang pernikahan dengan rekan kerjanya sesama perempuan, pasti mereka selalu berdebat. Mereka ini kumpulan orang-orang yang mengurusi pernikahan orang lain, tetapi punya masalah tersendiri dengan yang namanya pernikahan. Seperti Sirly contohnya, dia belum atau bahkan tidak ada keinginan untuk menikah, bayangkan saja dilamar oleh Reon, seorang pria idaman perempuan bisa ditolaknya begitu saja. Atau Nisa yang terobsesi mendapatkan pasangan saleh yang menjadi imam dunia dan akhiratnya, keinginan yang bagus sekali sebenarnya, namun karena sampai sekarang dia belum bertemu dengan calon imamnya itu, Nisa kadang merasa stres sendiri.

Atau Airin yang suka pria-pria bad boy karena terlalu banyak dicekoki oleh cerita-cerita romansa dari buku-buku yang dibacanya, atau Kara sendiri yang tidak tahu apa yang diinginkannya dari jodohnya, karena sejak rencana pernikahannya dengan Erwin gagal total, Kara sulit untuk memulai hubungan baru.

Kara baru selesai menemani kliennya untuk melihat-lihat gedung pernikahan, harusnya dia langsung kembali ke rumahnya, tapi karena tadi dia meminjam mobil kantor, dia harus kembali lagi ke sana. Kara menyusuri jalanan Bandung yang lumayan padat sore ini, mendengarkan musik dari stereo mobil yang disambungkannya dari ponsel. Seperti biasa playlist-nya di dominasi oleh suara Donnie Sibarani. Dia memang sangat menyukai Ada Band dan band-band lawas lainnya. Menurut Kara liriknya dalam dan merasuk ke hati.

Haruskah kumati karenamu
Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu
Haruskah kurelakan hidupku
Hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku

Kara ikut bernyanyi, entah itu bisa disebut bernyanyi atau berteriak-teriak, tidak lupa dengan gesture tubuhnya yang dibuat seolah penuh penghayatan. Dia terdiam saat mendengar suara klakson dari mobil di sebelahnya.

"Ih, itu Om-Om ngapain senyam-senyum!" omelnya saat menoleh dan melihat seorang bapak-bapak berkacamata hitam tersenyum padanya sambil menirukan cara Kara bernyanyi. "Ini kaca mobil terang banget, sih!"

Kara menjalankan mobil mengindari bapak-bapak itu. "Ya ampun, itu Om-Om binal banget, deh. Coba yang disebelah aku cowok ganteng," rutuknya.

Setengah jam kemudian, Kara tiba di depan kantor Viola Wedding Planner, dia keluar dari mobil lalu duduk di ruang tamu kantornya. Ada Sirly dan Nisa yang juga duduk di sana. "Belum pulang?" tanya Kara.

"Teh Viola lagi pesen batagor, nanti abis makan baru pulang," jawab Nisa.

"Oh." Kara mendudukan tubuhnya di sofa bersama kedua temannya itu. "Aku suntuk di rumah, nongkrong di mana gitu, yuk," katanya pada Sirly dan Nisa.

Di Penghujung 31 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang