Chapter 01 - PROLOG

2.1K 207 11
                                    

Laki-laki muda itu berjalan di antara aspal lembab dan rintik yang tak kunjung berhenti. Di sekitarnya, lampu-lampu rumah sudah mulai dimatikan, menyisakan remang-remang teras yang menandakan bahwa penghuninya sudah siap menuju la la land masing-masing.

Di kesunyian lingkungan tersebut, ada satu titik dimana terang tetap menyala meskipun tengah malam semakin mencekam.

Laki-laki itu melambai pada seseorang yang sedang mengisi bahan bakar, kemudian berlalu masuk ke dalam bangunan untuk bertemu rekan kerjanya dan melakukan serah terima.

"Aku heran kenapa pemilik tempat ini ngotot buka 24 jam padahal pembelinya hampir tidak ada" celetuk rekan kerjanya sebelum akhirnya keluar dari meja kasir dengan wajah lelah.

Tidak ada tanggapan, lawan shift nya lebih memilih sibuk mempersiapkan uang kembalian dan mereset data komputer untuk digunakan sepanjang malam ini. Hanya butuh 10 menit untuk menyelesaikan semuanya, ia lantas keluar dari sana untuk mencari udara segar.

Benar kata temannya, lingkungan ini tidak cukup ramai di malam hari hingga butuh sebuah minimarket. Namun untuk alasan yang hanya beberapa orang yang tahu, pemilik dengan baik hati menerima satu karyawan lagi untuk bekerja sepanjang malam.

Laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya, namun saat hendak menghirupnya, tangannya terhenti, pikirannya lagi-lagi bergulat, hingga akhirnya dia mendesah menyerah, lalu menginjak-injak gumpalan nikotin yang tidak jadi dsesapnya itu. Sebagai gantinya, sebuah lolipop keluar dari sakunya yang lain,

"Gara-gara si brengsek itu, aku jadi tidak bisa menikmati kematian" Umpatnya.

***

12 tahun sebelumnya, di tempat yang berbeda

Sepasang bocah laki-laki mengendap-endap keluar dari pintu samping rumah. Sang kakak dengan hati-hati mengawasi sekitar dan memimpin jalan, sedangkan adiknya di belakang, memegang erat ujung baju saudaranya seakan tidak ingin terlepas, matanya memerah, namun dia sudah berjanji untuk tidak bersuara dan sedang berusaha menepatinya.

"Aman, aman. Ayo!" Pengawas cilik akhirnya memberi aba-aba.

Mereka lantas berlari ke halaman dan mengambil sepeda masing-masing yak tergeletak di samping ayunan. Seperti pencuri yang baru saja beroperasi, keduanya mengayuh benda itu secepat yang mereka bisa, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti. Mereka kompak menuju ke bangunan sekolah yang tidak jauh dari sana.

"Nah, disini... lihat, pohon ini besar dan kuat, pasti bisa bertahan sampai 100 tahun" Sang kakak berceletuk begitu sampai di bawah kokohnya pohon ek yang tumbuh di samping bangunan sekolah, pohon rindang yang biasa dipakai murid-murid untuk berteduh atau sekedar panjat-memanjat.

Tidak ada balasan dari sang adik, membuatnya berbalik dan terkejut karena adiknya malah menangis,

"Jungkook, Jungkook, jangan menangis. Kita akan baik-baik saja, aku janji" Ujarnya buru-buru mendekat dan memeluk saudaranya.

"Mereka... mau pisah... mereka... juga mau memisahkan kita..." Bocah di pelukannya semakin histeris, berteriak di sela isakannya.

"Tidak apa-apa, kita akan baik-baik saja, kita akan bertemu lagi, aku pastikan itu"

"Tidak bisakah kita tinggal berdua"

"Tidak bisa... ingat kata bu guru, kita harus mematuhi perintah orang tua"

"Tapi mereka dua-duanya orang tua kita, kenapa harus tinggal berjauhan?"

Sang kakak terdiam, dia sendiri tidak tahu apa alasannya, yang bisa dia lakukan hanya menepuk-nepuk pundak adiknya agar segera tenang.

"Jimin... kenapa kita kesini?" Beberapa menit kemudian sang adik mulai bisa mengatur nafas dan ingat dimana dirinya berada.

"Ayo aku tunjukkan" Jimin menarik tangan Jungkook dan mengajaknya duduk nyaman di bawah pohon, lalu meraih sesuatu dari dalam tas.

"Kau ingat tadi malam aku memintamu menulis surat untukku di masa depan?" Jungkook mengangguk, meskipun sebelumnya tidak yakin apa maksud kakaknya membuat permintaan seperti itu.

"Nah, aku juga membuat surat untukmu"

"Boleh kulihat" Jungkook reflek mengulurkan tangannya untuk meraih kertas yang dipegang sang kakak.

"Tidak" Jawab Jimin tegas, bocah itu lantas mengeluarkan sebuah botol kaca dari dalam tas.

"Itu botol susu yang dicari Ibu 'kan? Kau yang mencurinya ternyata?"

"Ssst..."

"Tapi... Ibu marah karena itu"

"Tidak apa-apa, dia tidak akan tahu"

Jungkook merengut, namun dengan segera melupakan problem kecilnya saat melihat Jimin memasukkan dua surat mereka ke dalam botol.

"Dengarkan aku.. Surat ini, kita akan membukanya sama-sama kalau nanti umur Jungkook sudah 20, oke? Dimanapun kita berada, kita harus kembali ke tempat ini tepat pada hari ulang tahun Jungkook yang ke dua puluh"

"Tapi bagaimana kalau Ibu tidak mengijikan?"

"Ibu tidak akan bisa melarangmu lagi. Saat umur Jungkook 20, Jungkook dapat ktp, Jungkook boleh minum minuman keras, boleh keluar malam, boleh pergi kemanapun yang Jungkook suka"

"Termasuk menemuimu dan ayah?" Tanya Jungkook antusias

Jimin mengangguk, "Dan jika saat itu tiba, aku akan menunggumu disini untuk membuka surat ini sama-sama"

Jungkook mengangguk, "Aku berjanji akan kesini tepat pada hari ulang tahunku, apapun yang terjadi"

"Bagus. Sekarang kita kuburkan botol ini bersama-sama"

Dua bocah itu dengan semangat mengubur janji mereka dibawah pohon ek yang kokoh, berharap masa depan akan datang begitu mereka terbangun esok paginya.

"Dan satu lagi... Ini" Jimin lagi-lagi memberikan kejutan, dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sepasang cincin dari sana.

"Ini milik Ibu dan Ayah. Kita simpan masing-masing satu, ya"

"Kau mencuri lagi? Mereka akan marah kalau tahu"

"Aku tidak mencuri. Mereka sudah membuangnya dan aku memungutnya. Ini sudah jadi barang bekas"

Jungkook akhirnya mengerti, lantas menerima cincin ayahnya dan buru-buru menyimpannya di kantong celana. Meskipun Jimin bilang kalau benda itu sudah dibuang, namun dia tidak akan membiarkan Ibunya melihat. Dia tidak mau satu-satunya benda mengikat antara dirinya dan sang kakak menghilang begitu saja jika ketahuan.

Selamanya, kita saudara

-TBC

Move On (Discontinue) ❌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang