BAB 1

3.8K 529 61
                                    

🇩🇪

—Seoul, Korea Selatan, 2018

"Ah, manghaetda! (Sial!)"

Bukan Ong Seongwoo namanya kalau pagi-pagi pergi ke sekolah tanpa menggerutu. Tentu saja ia akan berkata seperti itu sambil menarik kasar tas gendongnya karena ia sadar bahwa ia sudah telat lima belas menit di hari pertama semester baru sekolahnya. Tahun ini ia adalah siswa angkatan akhir di salah satu sekolah menengah atas di Seoul.

Ia berulang kali mengecek jam tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya sambil sesekali mencoba mencuri-curi nafas panjang karena kelelahan berlari untuk mengejar keterlambatan. Karena jarak sekolahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah, akhirnya ia memutuskan untuk berlari setelah sadar bahwa kakak perempuannya telah memakai motor yang biasa Seongwoo pakai ke sekolah.

Seongwoo ingat sekali tadi pagi ketika ia masih mengigau, kakaknya sempat meminta izin untuk meminjam motor Seongwoo dan dengan bodohnya Seongwoo melempar kunci motor tersebut kepada kakaknya sambil mengusirnya dengan teriakan keras. Tentu saja tingkahnya itu langsung dibalas pukulan guling oleh kakaknya yang merasa kesal.

Tapi, sudahlah. Kenapa pula ia harus terus-menerus mengutuk hari ini? Yang bisa ia harapkan dari hari ini adalah: semua guru rapat, dan ia bisa pulang cepat.

Lagi pula ini hari pertama masuk sekolah, tidak perlu langsung mengajar seserius itu lah. Santai saja. Batinnya.

Dan benar saja.

Ia tidak tahu harus seberterimakasih apa kepada Tuhannya setelah melihat pintu gerbang sekolah masih terbuka lebar. Dimata Seongwoo itu bukan gerbang sekolah lagi namanya, tapi gerbang menuju surga!

Ia berjalan santai masuk ke sekolah sambil melihat suasana sekolah yang masih ramai. Banyak siswa-siswa yang berlalu lalang diluar kelas yang menandakan bahwa hari ini mereka belum belajar. Mungkin saja guru-guru masih harus mendiskusikan soal materi yang harus dibawakan sampai setahun kedepan. Pemandangan itu membuat Seongwoo refleks mengepalkan tangannya ke atas sambil berulang kali bersorak, "Yes!" atau "Yuhuu!" dan beberapa kosa kata lainnya yang menandakan bahwa ia benar-benar senang hari ini.

Ia terus berjalan menuju kelasnya. Yang ia rindukan saat masuk sekolah ada dua, yaitu suasana kelas dan kebersamaan bersama teman-teman dekatnya.

Tapi...

Ternyata Tuhan tidak sesayang itu pada Seongwoo. Seongwoo menghela nafas panjang ketika menyadari bahwa pintu kelasnya tertutup rapat.

Dan inilah yang ia sebut pintu neraka.

Ia sedikit mengintip pada jendela besar disampingnya, dan disana semua siswa sudah duduk manis dikursinya sambil memperhatikan guru didepan kelas.

Jaehwan, sahabatnya, tidak sengaja melihat Seongwoo yang sedang mengendap-ngendap sambil mengintip kedalam kelas lewat jendela. Jaehwan langsung saja memberikan isyarat tangan seolah berkata: "Masuk saja. Kau tidak akan kena marah."

Bagaimana Seongwoo bisa setenang itu masuk kelas ketika ia melihat guru killernya sedang berdiri didepan semua siswa yang sedang memperhatikannya. Sebenarnya bukan hanya dia guru killernya, semua guru di sekolah ini dianggap guru killer oleh Seongwoo karena mereka semua selalu memarahi Seongwoo. Ya bagaimana lagi, Seongwoo selalu malas mengerjakan tugas dan ketiduran di kelas karena sering begadang bermain game sehingga ia akan telat masuk kelas pada pagi harinya.

Seongwoo tidak bisa langsung saja masuk kelas. Ia benar-benar memikirkannya matang-matang diluar kelas, tepatnya sambil berjongkok didepan pintu kelas. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah ia harus pulang ke rumah dan ketika Ibu bertanya, ia akan berkata bahwa sekolah diliburkan lagi? Atau ia masuk ke kelas dan akan mendapat sorakan dari teman-temannya sekaligus hukuman dari gurunya? Astaga, tapi jika Seongwoo pulang ke rumah dan ketahuan berbohong, Ibu juga akan menghukumnya!

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang