THE UNTOUCHED DEVIL PART 8

2.6K 243 51
                                    

Annabelle merogoh tas untuk mencari tissue. Ia membiarkan wajahnya berpaling sehingga Aaron tidak dapat melihat bahwa pertahanan dirinya hampir saja hancur. Ia tidak boleh menangis di depan Aaron lagi.
“Jangan,” ucap Aaron seraya menangkap tangan Annabelle. Ia menjauhkan tangan itu dari wajah Annabelle. Mobil berhenti karena lampu lalu lintas berubah meras. Aaron pun menatap Annabelle. Ia membiarkan ibu jarinya menyusuri tepian bibir bawah Annabelle. Matanya mengikuti gerakan tangannya.
Annabelle tercekat. Ia bahkan tidak berani bernapas karena takut moment itu rusak. Jantungnya berdegup dengan kencang.
“Aku menyukai warna ini. Membuatku ingin mencicipinya,” gumam Aaron. Ia menelusuri wajah Annabelle dengan perlahan sebelum berhenti di bibirnya.
Annabelle merasakan gelenyar aneh menjalari tulang punggungnya dan bibirnya terasa kering. Ia menjilat bibirnya tanpa sadar sehingga menarik perhatian Aaron. Wajah Annabelle semakin merah padam ketika menyadari Aaron menatapnya dengan begitu intens. Annabelle akhirnya mengalihkan pandangannya karena malu.
“Se-sebaiknya kau fokus saja menyetirnya,” kata Annabelle.
Aaron tidak terlalu mengindahkan ucapan Annabelle karena ia bisa mengemudi bahkan jika matanya ditutup sekalipun. Tetapi ia tetap mengalihkan tatapannya ke depan karena manusia pada umumnya harus memperhatikan ke mana ia berkendara.
Annabelle menyentuh bibirnya yang tadi disentuh oleh Aaron dan merasakan pipinya kembali bersemu merah muda. Ia buru-buru menurunkan tangannya agar tidak terpergok Aaron. Ya Tuhan, jantungnya berdebar begitu kerasnya mengingat rasa sentuhan Aaron di bibirnya. Padahal Aaron hanya menyentuhnya sepintas saja tapi jantungnya sudah berdebar tidak keruan. Bagaimana ia akan menatap Aaron apabila belum apa-apa dirinya sudah tersipu?
Tak berapa lama mereka sampai di sebuah restoran bertingkat dua yang tampak mewah dengan nuansa klasik. Segala kegugupan yang tadi sempat ia rasakan langsung lenyap tak berbekas. Lampu berbentuk lentera yang tertempel di dinding menimbulkan suasana temaram yang terkesan intim. Dari dinding kaca besar yang mendominasi bagian depan restoran tersebut, Annabelle dapat melihat banyak pasangan yang menikmati makan malam bersama. Semuanya tampak mengenaikan pakaian-pakaian yang indah dan menawan.
Diam-diam dalam hati Annabelle bersyukur atas paksaan Sherry yang menyuruhnya mengenakan salah satu pakaian barunyadan juga mendandaninya. Sekarang ia bisa lega karena dirinya tidak akan mempermalukan Aaron di hadapan orang banyak. Meskipun etiket makannya tidak dapat dikatakan sempurna, namun ia sudah menguasai etiket dasar sehingga ia takkan salah membedakan mana garpu salad dan mana garpu untuk makan.
Annabelle tidak menyadari Aaron yang sudah membukakan pintu untuknya. Buru-buru ia menerima tangan Aaron yang terulur padanya dan turun dari mobil. Ia merapikan roknya dengan tangannya yang bebas dan sudah pasti akan menarik tangannya dari pegangan tangan Aaron. Namun, betapa terkejutnya ia karena bukannya melepaskan tangannya, Aaron malah meletakkan tangannya di sikunya dan menggandeng tangannya.
Annabelle terkejut dan mendongak. Ia menatap Aaron dengan bertanya-tanya. Akan tetapi Aaron mengabaikannya.
Mereka berjalan menuju restoran dengan tangan Annabelle melingkari lengan kokoh Aaron. Memang sedikit memalukan bagi Annabelle karena setiap mata wanita yang ada di dalam restoran menjadi terpusat pada mereka. Atau lebih tepatnya pada Aaron yang berjalan di sebelah Annabelle seolah-olah ia adalah pemilik tempat itu. Memang Aaron tampak sangat mengintimidasi dan sangat tampan. Tidak heran apabila ia menarik perhatian lawan jenisnya.
Mereka disambut seorang pelayan dan diantarkan menuju meja yang Aaron pesan. Pelayan itu membawa mereka naik ke lantai atas sesuai permintaan Aaron. Mereka dibawa ke teras dengan pemandangan lampu-lampu kota yang gemerlap. Kaca besar dan transparan sama seperti di lantai bawah melingkupi sekeliling teras itu sehingga udara malam yang dingin tidak dapat masuk. Tanaman merambat menghiasi bagian atas dan sekitar teras itu, dipadu dengan lampu-lampu kecil sehingga Annabelle merasa mereka bagaikan berada di dunia dongeng.
Setelah mereka duduk, pelayan menyodorkan menu kepada Annabelle dan Aaron.
“Pesan makanan apapun yang kau sukai,” kata Aaron.
“Uhmm…” gumam Annabelle. Ia menunduk dan menatap menu di tangannya dengan bingung. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tertulis di dalam daftar menu tersebut. Hal itu membuat Annabelle merasa rendah diri. Bagaimana pun, belum pernah ia mengenyam pendidikan selayaknya gadis seumurannya sehingga kemampuan membaca dan menulisnya tidak bisa dibanggakan sama sekali. Annabelle tidak berani menatap Aaron karena tidak ingin Aaron menganggapnya bodoh. Mungkin ia bisa memesan makanan dari gambar yang menyertai menu tersebut.
“Ada apa?” tanya Aaron. Ia mengawasi Annabelle yang sejak tadi diam membisu sambil menatapi menu di tangannya.
Annabelle mendongak kaget, pipinya kembali bersemu merah. “Ah… aku… uhm…” Annabelle tergeragap. Pipinya terasa terbakar akibat rasa malu. Ia menunduk dan berbisik. “A-aku tidak tau apa yang tertulis di dalam menu ini…” ujarnya lirih.
Ah. Rupanya hal itu yang membuat wanita itu termenung sejak tadi. Aaron ingat Annabelle pernah bercerita kalau dirinya tidak terlalu bisa membaca. Aaron meraih menu di tangan Annabelle dan meletakkannya.
“Ada makanan yang membuatmu alergi?” tanyanya.
Annabelle menggeleng.
“Kalau begitu biar aku yang memesankanmu makanan,” kata Aaron. Ia kemudian menyebutkan serangkaian menu yang dicatat oleh pelayan dengan segera. Setelah pelayan tersebut meninggalkan mereka, tatapan Aaron kembali terarah kepada Annabelle yang masih menunduk malu.
“Maaf…” bisik Annabelle.
“Kenapa kau meminta maaf?” tanya Aaron.
“Karena kekuranganku,” sahut Annabelle.
“Aku yang mengajakmu ke sini tanpa memikirkan kemampuanmu,” kata Aaron tenang.
“Tapi tetap saja…”
“Berhneti memikirkan hal yang tidak perlu dan nikmati saja makanannya,” kata Aaron memotong permintaan maaf Annabelle.
Annabelle menutup mulutnya karena tidak ingin membuat Aaron marah. Ia menyesap wine  yang diletakkan oleh pelayan dengan pelan agar tidak perlu berdiam diri seperti orang bodoh. Rasannya manis dan sedikit pahit, namun ia menyukainya sehingga ia pun menyesap lagi.
Aaron mengamati Annabelle dari pinggiran gelasnya. Tidak satupun reaksi Annabelle yang luput dari perhatiannya sehingga ia tau kalau ini adalah pertama kalinya Annabelle menyicipi wine. Mata Aaron terpaku pada mulut Annabelle yang mengilap oleh wine. Lidah mungilnya tampak sekilas ketika ia mengecap sisa wine di bibirnya, serta matanya yang mengintip malu ke arahnya.
Terpikir oleh Aaron apabila wanita lain yang melakukan hal tersebut, ia hanya akan menganggapnya sebagai undangan yang dilancarkan secara terencana. Namun, Annabelle adalah wanita yang polos dan naïf sehingga mustahil wanita itu akan menyadari efek tindakan polosnya itu. Meskipun telah didandani sedemikian rupa, Annabelle tetaplah Annabelle, tidak ada sedikit pun sifat penggoda dalam segala tindakannya. Hanya saja, entah bagaimana ia merasa tidak terlalu suka dengan perhatian yang didapatkan oleh wanita itu.
“Jangan minum lebih dari yang sanggup kau tanggung,” saran Aaron. “Aku tidak akan mengurusi wanita mabuk,” lanjutnya.
Annabelle meletakkan gelasnya dengan hati-hati. “Maaf,” gumamnya.”Aku hanya sedikit penasaran,” lanjutnya. Biasanya ia hanya minum teh atau kopi, apalagi ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk merasakan minuman-minuman berkelas seperti ini.
Akhirnya setelah menunggu beberapa lama, makanan pesanan mereka pun datang. Annabelle membelalak melihat banyaknya makanan yang diantarakan ke meja mereka. Ditambah lagi, dari penampilannya, makanan-makanan itu terlihat sangat mewah dan mahal. Melihat makanan tersebut membuat Annabelle menyadari betapa lapar dirinya. Memang ia sudah makan siang di rumah Sherry, akan tetapi itu sudah lama sekali berlalu. Setelahnya ia hanya minum teh dan makan kue dan sekarang ia takut perutnya yang kelaparan akan berbunyi nyaring.
Annabelle mencuri pandang ke arah Aaron. Pria itu tidak berkata apa-apa dan mulai menyantap makanannya. Annabelle melakukan hal yang sama. Setelah suapan yang pertama, Annabelle harus menahan diri agar tidak langsung melahap habis makanan di piringnya. Ia menikmati setiap gigit makanannya hingga akhirnya tak ada yang tersisa.
Makanan yang berikutnya disajikan. Annabelle tidak tau nama makanan itu, namun sepertinya itu sejenis steak yang dilumuri dengan bumbu rempah. Ia memotong sedikit steak yang tersaji di piringnya dan seketika saja ia memejamkan matanya karena rasanya enak sekali. Annabelle melirik Aaron dan mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Aaron. Dia menatap Aaron dengan sedikit malu-malu.
“Makanannya enak sekali,” kata Annabelle dan mendongak.  Ia menahan napasnya ketika menyadari kalau Aaron sedang mengamatinya.
“Sudah pasti kokinya mengerahkan seluruh kemampuannya,” kata Aaron tanpa mengalihkan tatapanya dari Annabelle.
“Be-benar sekali,” sahut Annabelle. “Uhm… kenapa kau makan sedikit sekali?” tanya Annabelle.
“Aku sedang tidak nafsu makan,” sahut Aaron.
Aaron melihat Alis Annabelle sedikit berkerut mendengar jawabannya. Kemudian wanita itu menatapnya dengan ragu. Apapun yang wanita itu pikirkan, semuanya terlihat di wajahnya sehingga Aaron tau apa yang sedang merisaukan pikiran Annabelle. Ia diam dan menunggu apakah Annabelle akan menyampaikan pendapatnya ataukah tidak. Ketika Annabelle tetap diam, Aaron memutuskan bahwa wanita itu lebih memilih menyimpan isi pikirannya dibandingkan mengungkapkannya secara gamblang.
Entah ia harus merasa terganggu atau tidak tentang hal tersebut karena biasanya wanita itu selalu mengatakan apa yang ia pikirkan secara terus terang. Memang lebih baik wanita itu belajar untuk diam.
“Tapi kau hampir tidak menyentuh semua makananmu,” kata Annabelle sesaat kemudian. “Jika kau tidak makan, maka kau akan jatuh sakit,” lanjutnya.
Rupanya harapan Aaron tidak terwujud. Aaron mendengus. “Aku akan baik-baik saja,” sahut Aaron. “Lebih baik kau lakukan saja saran itu pada dirimu sendiri. Kau masih perlu menaikkan berat badanmu,” tambahnya.
“Akan kulakukan. Tapi kau juga harus makan, Aaron,” kata Annabelle.
“Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan,” tegas Aaron.
“Tapi…”
“Tidak,” tegas Aaron.
“Tapi Aaron…”
Aaron tau diskusi ini tidak akan berjalan ke mana-mana jika ia terus membalas ucapan Annabelle dengan apa yang ada dipikirannya. Wanita itu keras kepala seperti batu dan jika sudah kukuh terhadap keputusannya, wanita itu akan melupakan segala rasa gugup dan malunya saat itu juga. Jadi, untuk menghemat waktunya, Aaron meraih garpunya dan menusuk steak yang sudah dipotongnya tadi. Namun bukannya memakannya sendiri, Aaron malah menyodorkan potongan daging itu pada Annabelle.
“Buka mulutmu,” perintah Aaron.
“A-apa yang kau lakukan?” gagap Annabelle. Ia melirik ke sekitarnya untuk memastikan apakah ada yang memperhatikan mereka atau tidak. “Kaulah yang harus makan,” kata Annabelle.
“Dan aku menyuruhmu melakukan saranmu sendiri,” kata Aaron. “Ayo, buka mulutmu sebelum kau menarik perhatian orang lain,” lanjutnya.
“A-aku bisa makan sendiri,” kata Annabelle. Ia menggeleng panik.
Aaron mengangkat sebelah alisnya dan menggerakkan garpunya sebagai isyarat kalau ia tidak akan menurunkannya sebelum Annabelle memakannya. Aaron mengawasi berbagai ekspresi pertentangan di wajah Annabelle dengan wajah datar. Ia tau cepat atau lambat Annabelle akan mengalah juga. Akhirnya Annabelle mencondongkan tubuhnya agak ke depan dan memakan potongan daging yang disodorkan Aaron. Wanita itu memejamkan matanya dan wajahnya memerah karena malu.
Setelah itu Annabelle kembali duduk dengan tegak di kursinya. Ia menelan makanannya bahkan tanpa merasakan rasanya sama sekali. “Sudah. Sekarang kau yang harus makan,” kata Annabelle.
“Tidak,” kata Aaron. Ia mengambil sesuap lagi dan kembali menyodorkannya pada Annabelle.
Annabelle menatap Aaron dengan tatapan memelas. “Ini memalukan sekali,” bisiknya. “Kita akan menjadi pusat perhatian,” tambahnya.
“Aku tidak pernah memedulikan pendapat orang lain,” balas Aaron.
“Tapi aku peduli!” balas Annabelle. “Aku bahkan tidak dapat merasakan rasa makanan yang masuk ke mulutku saking gugupnya aku! Ini pertama kalinya aku makan di tempat seperti ini dan aku merasa gugup setengah mati. Aku takut aku akan melakukan kesalahan dan mempermalukan diriku sendiri! Dan sikapmu saat ini sama sekali tidak membantu!” kata Annabelle.
Aaron menatap Annabelle. Hanya menatap wanita gugup di hadapannya yang kini sedang meracau karena gugup. Ini bukan pertama kalinya Annabelle menyalahkannya padahal ia tidak melakukan kesalahan. Bahkan sepanjang ingatannya, belum pernah ada wanita yang berani menyalahkannya mengenai hal apapun. Mereka selalu menerima apapun keputusannya tanpa banyak bertanya. Akan tetapi, wanita di hadapannya ini sudah melakukannya lebih dari sekali.
Sesuatu menggelitik jiwanya dan tanpa sempat ia cegah, ia terbahak. Tawa sungguhan yang berasal dari kedalaman jiwanya yang kelam. Tawanya yang pertama entah sejak berapa ratus tahun lamanya. Aaron menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan tertawa lepas. Sungguh, wanita di hadapannya memang bukan wanita biasa. Jika Lexi atau Ash melihatnya, mereka mungkin akan menyebutnya gila.
Di lain pihak, tertawa membuat perasaannya membaik. Ia tidak tau bahwa belakangan ini ia merasa stress yang berlebihan.
Annabelle tertegun di tempat duduknya. Ia menatap Aaron seolah-olah baru pertama kali melihatnya. Apakah suara tawa yang didengarnya memang berasal dari Aaron? Ataukah ia hanya bermimpi dan sebentar lagi akan bangun? Annabelle mencubit pipinya. Sakit. Berarti ia tidak sedang bermimpi.
Aaron memang benar-benar tertawa! Tawa sungguhan yang mengguncang tubuhnya dan melembutkan raut di wajahnya. Annabelle menatap Aaron dengan terpesona. Sungguh langka bisa melihat Aaron tertawa, meskipun ia tidak tau hal apa yang membuat Aaron sampai tertawa begitu. Annabelle menyadari jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya ketika mengamati perubahan di wajah Aaron.
Annabelle juga menyadari kalau banyak wanita yang mencuri pandang ke meja mereka untuk memperhatikan Aaron. Ya ampun, Annabelle tidak tau harus merasa senang ataukah rendah diri karena duduk semeja dengan Aaron. Hilangnya aura menakutkan yang biasanya melekat pada Aaron membuat pria itu seakan-akan mudah untuk dijangkau. Tawa itu membuat Aaron tampak sama seperti pria pada umumnya. Rasanya bagaikan ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut Annabelle ketika melihat Aaron menatapnya dengan mata kelamnya yang masih menyisakan tawa itu.
“Kau benar-benar wanita yang aneh,” kata Aaron, namun tidak seperti biasanya,tidak ada kesan sinis dalam nada suaranya. “Wanita lain takkan ragu-ragu menguras isi sakuku ketika makan di tempat seperti ini,” lanjutnya.
“Mungkin karena ini adalah kali pertama aku datang ke tempat seperti ini,” sahut Annabelle dengan kesal bercampur malu.
“Setiap wanita pasti punya sifat tamak di dalam dirinya. Aku sudah bertemu banyak wanita dan hampir semuanya memiliki sikap tamak dan ingin mengambil lebih banyak daripada yang mereka dapatkan,” kata Aaron.
“Itu karena kau bertemu dengan wanita yang salah. Aku tidak sama seperti wanita-wanita itu,” sahut Annabelle membela diri.
“Itulah maksudku. Kau terlalu naïf, polos, dan tidak tau apa-apa mengenai dunia luar,” kata Aaron. “Aku yakin, jika tidak ada yang mengawasimu, maka saat ini kau pasti sudah terlibat di dalam masalah,” lanjutnya.
“A-aku tidak seperti itu,” tukas Annabelle. Ia mengambil gelas winenya dan meminumnya hingga tandas. Ia terbatuk, namun tidak berani menurunkan gelasnya karena ia sadar kalau Aaron masih menatapnya dengan lekat. Ia juga takut kalau dirinya akan mengatakan lebih banyak hal bodoh lainnya yang pasti akan ia sesali nantinya.
Ketika akhirnya Annabelle memberanikan dirinya melirik ke arah Aaron, Annabelle tersentak pelan karena tidak siap menghadapi intensitas tatapan Aaron yang seolah melihat hingga ke dasar jiwanya. Wajahnya menjadi semakin merah, bukan karena minuman yang diminumnya semata, melainkan karena sesuatu yang ia lihat di mata Aaron. Annabelle dapat mendengar dentum jantungnya yang bertalu-talu di telinganya. Ia dapat merasakan tangannya mulai gemetaran sehingga ia meletakkan gelasnya di atas meja sebelum tangannya yang gemetaran menjatuhkannya.
Annabelle menghembuskan napas pelan. Kenapa ia menjadi sepanik ini? Ia berusaha mencari topik pembicaraan yang aman namun gagal dengan menyedihkan. Ia bahkan yakin dirinya juga tampak sangat menyedihkan. Sekali lagi Annabelle mendesah lembut. Kegugupan ini sungguh tidak masuk akal. Wajahnya juga terasa panas.
“Masih ada makanan penutup,” kata Aaron.
“Perutku sudah tidak muat lagi,” keluh Annabelle.
Sudut bibir Aaron terangkat sedikit. “Aku yakin kau bisa menyisihkan tempat untuk yang satu ini,” kata Aaron.
Dengan pengaturan waktu yang entah bagaimana bisa tepat, seorang pelayan datang dan membereskan piring-piring kosong mereka. Kemudian pelayan lain datang dengan nampan baru. Sejurus kemudian pelayan itu meletakkan piring berisikan chocolate cake di hadapannya. Annabelle menatap terpukau pada cake di hadapannya. Cake itu begitu penuh dengan lapisan cokelat cair yang menggiurkan, di bagian atasnya berisi buah ceri dan stroberi yang merah dan segar.
Melihat betapa menggiurkannya cake di hadapannya, entah bagaimana Annabelletau dirinya akan sanggup menghabiskan cake itu meskipun perutnya sudah kekenyangan. Kemudian Annabelle melihat ke arah pesanan Aaron, secangkir kopi. Seharusnya ia sudah dapat menduganya. Aaron pasti tidak akan memesan hidangan penutup seperti dirinya. Pria itu memang lebih cocok dengan secangkir kopi ketimbang cake yang manis dan sangat perempuan ini. Meskipun Annabelle belum pernah melihat pria maskulin manapun akan cocok dengan cake cokelat.
Menyerah pada hal yang tidak terelakkan, Annabelle meraih garpu dan menyendok sepotong kecil cakenya. Rasa lembut spons cake dan mewahnya cokelat langsung meleleh di mulutnya. Ia mengambil sesuap lagi dan terus seperti itu hingga tanpa ia sadari ia telah menghabiskan cake di piringnya.
“Aku tidak percaya diriku mampu menghabiskannya,” ucap Annabelle.
“Memang tidak ada yang bisa menolaknya,” kata Aaron.
“Aku pasti tidak akan merasa lapar hingga minggu depan. Malam ini aku makan melebihi porsiku selama ini,” kata Annabelle. Lalu ia menatap Aaron dan mengulas senyum lemah. “Tapi, aku sungguh berterima kasih karena kau telah mengajakku ke tempat ini. Sungguh hari yang menyenangkan!” lanjutnya.
Aaron tidak mengatakan apa-apa, hanya menyesap kopinya. Ia hanya mengamati Annabelle meraih sisa winenya dan meminumnya hingga habis. Wajah wanita itu merona merah dan matanya berbinar-binar. Jelas sekali kalau Annabelle betul-betul menikmati makan malam itu. Justru Aaron lah yang merasa terganggu dengan kenyataan bahwa dirinya pun menikmati makan malam mereka malam itu.
Pelayan mengisi kembali gelas Annabelle yang sudah kosong sementara wanita itu menunggu reaksi Aaron. Sayangnya, seperti yang sudah ia duga, Aaron tidak mengatakan apa-apa. Annabelle juga tidak membahasnya lagi karena ia mulai mengerti kalau Aaron tidak suka dirinya dianggap baik. Entah kenapa pria itu lebih senang dianggap ketus dan dingin dibandingkan baik hati.
Meskipun Aaron menunjukkan sikap yang ketus, Annabelle tau di dalam lubuk hatinya pria itu pastilah memiliki sisi lembut yang tidak ingin diperlihatkannya pada orang lain. Annabelle ragu Aaron menyadari hal itu, tapi bagi Annabelle, malam itu adalah malam terindah di dalam hidupnya. Seumur hidupnya ia akan terus mengenang malam ini sebagai malam yang takkan pernah terlupakan. Bukan karena makanannya yang mewah ataupun tempatnya yang luar biasa, melainkan karena ia bersama Aaron.
Annabelle akan menyimpan kenangan ini di dalam hatinya sebagai pelipur lara di kala ia kesepian. Ini akan menjadi kenangan indahnya bersama Aaron, yang akan ia kenang ketika nanti ia berpisah dengan Aaron.
Bagi Aaron, malam itu pastilah tidak jauh berbeda dengan malam-malam biasanya. Tetapi tidak sama halnya dengan Annabelle. Ia tidak pernah diberi kemewahan untuk merasakan kebahagiaan dalam hidupnya selama ini. Kemurungan dan kecurigaan bibinya telah membuatnya tidak berani berharap lebih pada masa depannya sendiri. Akan tetapi malam ini, dari semua malam di mana ia berharap dirinya berada di tempat ia takkan merasakan kesedihan lagi, ia dapat bersama Aaron, pria yang telah menolong dan memberinya kebebasan. Pria yang tanpa ia sadari telah membuatnya jatuh hati.
Oh Tuhan, bagaimana ia bisa jatuh cinta pada pria luar biasa ini? Annabelle terhenyak. Dunianya dan dunia Aaron sudah pasti sangat berlawanan. Ia sudah berusaha agar jangan sampai hatinya terpaut pada Aaron karena ia tau mereka tidak mungkin memiliki masa depan bersama. Aaron bukanlah tipe pria yang ingin berkomitmen, dan lagi pria itu tidak mungkin menyukainya. Malahan Aaron akan sangat senang menyingkirkannya secepat mungkin.
Pikiran demi pikiran negatif lainnya menerpa Annabelle sementara kepalanya mulai terasa pening. Ia meraih minumannya untuk mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran buruknya tapi sia-sia saja karena ia malah semakin memikirkannya.
Ia jatuh cinta pada Aaron, dan Aaron tidak mungkin membalas cintanya. Air mata panas terasa menyengat sudut-sudut mata Annabelle dan wanita itu berusaha keras menahan dirinya agar tidak menangis. Ia meneguk minumannya kemudian meletakkannya. Ia tidak sadar bahwa Aaron memperhatikan semua gerak-geriknya.
Aaron bertanya-tanya hal apa lagi yang berkecamuk di dalam benak Annabelle. Wanita itu tadinya tampak bahagia, namun sejurus kemudian ia tampak terperangah. Sekarang wanita itu malah seperti ingin menangis. Wajah Annabelle seperti orang yang akan dihadapkan pada tiang gantungan alih-alih wanita yang baru saja menikmati makan malam mewah.
Aaron menghela napas. Mengapa dirinya tidak dapat mengabaikan Annabelel seperti rencana awalnya. Wanita ini seperti kerikil dalam pencariannya, selalu ada untuk memperlambatnya. Ia sendiri masih tidak mengerti mengapa dirinya tertawa lepas seperti tadi. Apabila Ash atau Lexi melihatnya, sudah pasti ia akan menjadi bulan-bulanan mereka. Berapa lama sejak terakhir kali ia tertawa? Mungkin ratusan tahun, sejak sebelum ia disegel.
Sejak terbebas dari segelnya, ia menyibukkan diri untuk mencari cara melenyapkan seluruh kutukan yang ada pada dirinya. Wanita hanyalah selingan pengisi waktu baginya, yang akan ia nikmati dan abaikan setelahnya. Ia tidak pernah berurusan dengan wanita yang masih polos dan murni. Ia justru akan berlari ke arah yang berlawanan jika bertemu wanita seperti itu.
Masalahnya, ia sama sekali tidak dapat menjauh dari Annabelle. Kemurnian dan kepolosan wanita itu bagaikan aprodisiak yang menggodanya untuk mencemari wanita itu. Besarnya keinginan untuk mengotori kemurnian itu membuat Aaron terkejut dan tak habis pikir. Kemurnian. Mengapa kata itu selalu saja muncul setiap kali ia memikirkan wanita ini?
Persetan. Ia tidak ingin terlibat dengan manusia dan itu sudah keputusannya. Sebentar lagi ia akan menyingkirkan wanita ini dan melanjutkan pencariannya. Begitu ia menyingkirkan masalah yang mengikuti Annabelle, ia akan bebas mencari Kunci Kebebasannya. Sekeras apapun Sherry berusaha membuatnya tertarik pada Annabelle, wanita itu takkan berhasil karena Aaron telah memutuskan untuk menikmati apa yang dapat ditawarkan Annabelle, tapi ia tidak akan pernah memberikan lebih dari itu.
Tapi Aaron akui, usaha Sherry untuk mendandani Annabelle tidaklah sia-sia. Wanita itu berubah sangat drastis menjadi sangat mempesona. Rencana wanita itu juga tersusun sangat rapi sehingga tidak menyisakan celah baginya untuk menolak. Bukan berarti ia tidak dapat menolaknya, hanya saja ia tau manusia butuh makan dan Annabelle sudah pasti perlu makan untuk menambah berat badannya. Usaha Sherry untuk mendekatkan Annabelle padanya tidak akan berhasil karena ia tidak punya waktu untuk berhubungan dengan manusia.
Aaron kemudian menyadari kalau gelas Annabelle sudah kosong. Ia menggeleng pada pelayan ketika pelayan akan mengisi kembali gelas wanita itu. Sudah cukup banyak wine yang diminum Annabelle. Tidak heran kalau wanita itu mabuk karena tidak terbiasa minum. Sebelum hal itu terjadi, lebih baik ia membawa Annabelle pulang.
Aaron memanggil pelayan dan membayar semua makanan mereka dengan kartu kreditnya. Setelahnya, ia memandu Annabelle keluar restoran. Seorang petugas menyerahkan mantel mereka di pintu masuk dan Aaron membantu Annabelle mengenakan mantelnya.
Annabelle merapatkan mantelnya ketika angin dingin menerpanya. Langkahnya sedikit tidak stabil ketika ia menuruni tangga, namun ia berhasil berjalan hingga ke tempat mobil mereka diparkir oleh petugas valet. Annabelle merasa kakinya tak lagi menjejak tanah. Perasaan depresinya yang tadi sudah menghilang entah ke mana dan kini ia dipenuhi perasaan bahagia yang aneh. Mungkin ini efek wine yang diminumnya tadi, tapi ia tak peduli selama ia tak perlu memikirkan kemungkinan cintanya tak terbalas pada Aaron.
Annabelle tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjungkal kalau saja Aaron tidak menangkapnya. Annabelle menggumamkan ucapan terima kasih dan masuk ke dalam mobil yang dibukakan Aaron. Ia menyamankan dirinya sementara Aaron memutar dan duduk di balik kemudi.
Aaron melajukan mobilnya meninggalkan restoran. Ia melirik Annabelle yang duduk diam di sebelahnya dan bersyukur atas kesunyian tersebut. Sampai ketika ia mendengar suara gumamam pelan dari sebelahnya. Tidak, bukan gumaman. Lebih seperti senandung lagu. Ia pun menoleh dan menatap Annabelle yang duduk menghadap ke jendela.
Semakin diperhatikan, semakin Aaron menyadari kalau wanita itu tidak tertidur. Annabelle menempelkan dahinya ke jendela sambil bersenandung tanpa nada yang jelas. Dari pantulannya di jendela, Aaron bisa melihat bibir wanita itu tersenyum dan tatapan matanya menerawang jauh.
"Apa kau mabuk?" tanya Aaron curiga.
"Hm~ tidak kok," sahut Annabelle. Kemudian ia terkikik pelan.
Ya. Annabelle jelas-jelas mabuk. Meski sulit dipercaya, tetapi Aaron belum pernah mendengar Annabelle cekikikan di depannya. Wanita itu biasanya terlalu gugup atau terlalu takut untuk bisa cekikikan. Sepertinya Annabelle telah minum terlalu banyak tanpa ia sadari, dan tubuh wanita itu tidak mampu mengolah kadar alkohol yang diminum wanita itu. Apalagi sepanjang makan malam tadi Annabelle terlalu gugup untuk memperhatikan berapa gelas yang telah diminumnya. Aaron sendiri juga tidak menyadari kalau pelayan terus mengisi gelas Annabelle. Ia terlalu sibuk membedah perasaannya sendiri untuk dapat memperhatikan hal lainnya.
"Kita langsung pulang," kata Aaron.
Annabelle berbalik dan menatap Aaron. Kepalanya bersandar di punggung kursi sementara ia duduk sedikit merosot. "Tau tidak, ini adalah hari yang paaaaling menyenangkan untukku," kata Annabelle dengan nada mengantuk. "Aku bersenang-senang bersama Sherry dan Cindy. Kami mengobrol dan juga bercerita banyaaaak hal menarik!"
"Aku yakin pasti begitu," dengus Aaron.
"Dan apa kau tau?" lanjut Annabelle seolah-olah Aaron tidak mengatakan apa-apa. "Mereka juga mau membantuku," kata Annabelle. Nada suaranya berubah menjadi sedikit merenung.
"Membantu untuk apa?" tanya Aaron tak acuh. Ia yakin pasti Sherry sudah menanamkan banyak ide bodoh di benak Annabelle.
"Tentu saja membantuku mencari pekerjaan!" seru Annabelle. Matanya yang nanar menatap Aaron dengan membelalak seolah-olah mengatakan kalau Aaron itu bodoh karena tidak dapat menebaknya. "Mereka berjanji... katanya mereka akan mencarikanku pekerjaan ketika aku pergi meninggalkan rumahmu. Laluuu aku tiidak akan menyusaahkanmu lagiii..." lanjut Annabelle.
Aaron mengerutkan dahinya. Lagi-lagi Annabelle membahas mengenai kapan ia akan keluar dari rumahnya. Aaron merasa kesal setiap kalo mendengar hal tersebut diungkit-ungkit. Rasanya menyebalkan ketika ada wanita yang merasa tidak sabar untuk menjauh darinya. Egonya sebagai seorang pria merasa diremehkan, seolah-olah ia bukan siapa-siapa. Di dunianya, Dunia Iblis, tidak ada satupun wanita yang bisa menolaknya, entah mereka akan langsung melemparkan diri ke kakinya ataukah menggunakan berbagai macam bujuk rayu untuk membawanya ke atas ranjang mereka. Dan Aaron bahkan tidak perlu melakukan apa-apa selain tersenyum.
Sekarang dihadapkan pada kenyataan Annabelle sangat ingin lepas darinya tidak membuat Aaron merasa lebih baik. Ia memang tidak ingin berurusan dengan wanita itu, tetapi di sisi lain ia juga tidak ingin wanita itu lepas dari pandangannya. Khususnya karena wanita itu kemungkinan diincar oleh iblis lain yang memiliki suatu tujuan tersembunyi. Aaron tidak akan memberikan amunisi pada siapapun yang ingin membuat kekacauan di dunianya. Dan jika keberadaan Annabelle dapat memberikan petunjuk mengenai hal apa yang direncanakan oleh pihak musuh, maka ia akan menjaga wanita itu meskipun ia tidak ingin.
Sayang sekali, pikiran dan tubuhnya memiliki ide yang berbeda. Pikirannya mungkin dengan keras menolak keterlibatan dengan Annabelle, akan tetapi tubuhnya jelas memiliki pikirannya sendiri. Reaksinya yang nyaris seketika setiap kali wanita itu berada di dekatnya sudah menbuktikan bahwa ada sesuatu pada diri wanita itu yang membuatnya tak bisa menjauh meskipun ingin. Ia marah, namun tak dapat dipungkiri ia juga merasa peduli pada wanita itu. Aaron mengernyit. Ia tidak suka pada kenyataan dirinya merasa tidak yakin akan sesuatu. Rasanya seperti berjalan di dalam kegelapan tanpa satu pun cahaya petunjuk yang menuntunnya.
"Kau jelas tidak akan ke mana-mana sampai masalahmu selesai," gerutu Aaron seraya melajukan mobilnya melewati gerbang rumahnya yang terbuka secara otomatis setelah ia mengaktifkan kendali jarak jauhnya.
Aaron langsung membawa mobilnya ke parkiran di bawah tanah, tempat semua koleksi mobil mewahnya berada. Ia memarkir mobilnya di salah satu garasi dan mematikan mobil. Ia melepaskan sabuk pengaman dan keluar, memutari bagian depan mobil untuk mencapai sisi penumpang.
Aaron membuka pintu untuk menyuruh Annabelle turun, akan tetapi mata wanita itu terpejam dan kepalanya bersandar lemas pada jok kursi. Aaron mengira akhirnya rasa mabuk membuat wanita itu tidur, akan tetapi sekali lagi ia harus menelan kekecewaan karena wanita itu masih menggumamkan nada tak jelas.
"Bangun, Putri Tidur, kita sudah sampai," kata Aaron.
"Ungh... tidak mau~," sahut Annabelle kesal.
"Bangun atau kau akan kuseret keluar," balas Aaron jengkel. Meskipun ia tau tidak ada gunanya bicara dengan orang mabuk.
Mata Annabelle terbuka. Ia menatap Aaron dengan mengantuk. Lalu sebentuk senyum malas terulas di bibirnya. Annabelle mengulurkan tangannya ke depan.
"Gendong aku," pintanya dengan suara manja.
Alis Aaron terangkat tinggi. Ia menatap Annabelle dengan tidak percaya. "Kau menyuruhku menggendongmu?!"
Annabelle mengangguk dengan semangat sampai-sampai keningnya membentur rangka pintu mobil. Sekejap ia ia terdiam, tapi kemudian terkikik sambil mengelus keningnya.
Aaron menghembuskan napas kesal seraya bertolak pinggang. Ia tak percaya dirinya mengalami kejadian konyol seperti ini. Ia menatap Annabelle yang masih menggerak-gerakkan jemari ke arahnya, menunggu untuk digendong. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan wanita itu. Semakin lama mereka ada di sana, udara hanya akan semakin dingin.
Aaron pun akhirnya menunduk dan meraih Annabelle. Ia meraup Annabelle ke dalam dekapannya kemudian menegakkan tubuhnya kembali. Annabelle langsung melingkarkan tangannya ke leher Aaron dan menempel erat bagaikan lintah. Menekankan tubuhnya sedekat mungkin dengan Aaron dan menyurukkan wajahnya ke leher Aaron, wanita itu mendesah puas.
Aaron mengernyit ketika tubuhnya seketika itu juga bereaksi atas kedekatan Annabelle dengan dirinya. Rasanya seperti disengat listrik berarus pendek. Wanita itu terasa pas berada dalam pelukannya, hangat dan lembut. Aaron mengertakkan giginya dan mulai berjalan menuju lift yang akan membawa mereka naik ke lantai atas.
Annabelle semakin mendekat ke arah Aaron, menggesekkan hidungnya di leher Aaron seperti kucing. "Aromamu enak sekali," gumam Annabelle.
Aaron mengertakkan rahangnya. Sial benar, tubuhnya memilih waktu yang salah untuk bereaksi terhadap Annabelle. Aroma lembut wanita itu menggoda indera penciumannya dan membuat insting pemburunya bangkit.
"Aku suka sekali dengan aromamu... mengingatkanku akan hutan di musim semi dan cahaya matahari," kata Annabelle. Ia bergelung dalam pelukan Aaron dan mendesah. "Rasanya hangat..."
Aaron tidak mengatakan apa-apa dan ketika lift terbuka, ia berjalan keluar dan langsung menuju ke kamar Annabelle. Ia melewati Tehrror yang menyambut kedatangannya di ruang tamu seraya memerintahkan bawahannya itu untuk memeriksa sekeliling rumah.
"Apa kau ingin aku mengurus wanita itu?" tanya Tehrror menawarkan diri saat melihat wajah majikannya yang keras.
"Tidak. Aku akan mengurusnya sendiri," gerutu Aaron.
"Jika kau tidak ingin mengurusnya, aku bisa..."
"Kubilang biar aku yang mengurusnya," geram Aaron.
Tehrror membungkukkan tubuhnya dan menyingkir, sadar kalau majikannya sedang dalam suasana hati yang buruk. Tetapi ia tau lebih baik dari itu, hanya saja ia tidak mengatakan apa-apa kepada Aaron karena apapun yang ia katakan tidak akan berpengaruh pada Aaron.
Sementara itu Aaron membawa Annabelle ke kamarnya. Ia sudah akan menurunkan Annabelle ke atas tempat tidurnya, akan tetapi wanita itu menolak melepaskan pelukannya dari Aaron. Justru sebaliknya, ia malah semakin mempererat pelukannya.
"Kau sudah ada di kamarmu. Lepaskan aku agar kau bisa mengganti pakaianmu," gerutu Aaron.
Annabelle tetap bergayut pada Aaron. "Tidak, jangan tinggalkan aku..." pinta Annabelle. Ia memeluk Aaron dengan putus asa.
"Jika kau tidak melepaskanku kau tidak akan bisa beristirahat," kata Aaron.
Annabelle menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak mau! Tidak mau!" tolak Annabelle.
"Annabelle..."
"Aku tidak mau! Aku ingin bersamamu. Aku tidak mau sendirian!" Annabelle berkeras. Ia terisak.
Aaron menahan kekesalannya. Annabelle mabuk dan apapun yang dilakukan wanita itu saat ini adalah pengaruh alkohol. Tidak seharusnya ia membiarkan wanita itu berbuat seenaknya.
"Kumohon... jangan tinggalkan aku... hiks..."
Akhirnya Aaron menyerah. Ia takkan bisa melepaskan pelukan Annabelle selain dengan kekerasan. Wanita itu hanya sedang mabuk dan sebentar lagi pasti akan tertidur. Ia hanya perlu menahan diri untuk beberapa menit ke depan hingga wanita itu tidur dan ia bisa kembali ke kamarnya.
"Baiklah. Setidaknya lepaskan aku agar aku bisa melepaskan mantel kita," gerutu Aaron.
"Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku sendirian!"
"Aku akan menemanimu," geram Aaron.
Butuh beberapa saat dan beberapa bujukan agar Annabelle mau melepaskannya. Setelah wanita itu mau mengendurkan pelukannya, Aaron pun melepaskan mantel mereka sebelum duduk di tepi tempat tidur. Annabelle masih bergelung di sisinya, menempel bagaikan lem yang sulit dilepaskan. Gaun wanita itu tersingkap hingga menampakkan pahanya yang mulus, akan tetapi wanita itu bahkan tidak sadar karena ia tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya.
Aaron mengerutkan alisnya karena merasa terganggu. Annabelle yang biasanya tidak akan bersikap masa bodoh seperti ini. Wanita itu pasti akan langsung mengusirnya saat itu juga dan menyebutnya mesum. Namun, saat ini wanita itu sama sekali tidak memedulikan hal lainnya selain menempel padanya.
"Tidurlah," perintah Aaron.
Annabelle menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia mencengkeram kemeja Aaron dengan kuat dan menggelengkan kepalanya.
"Kau mabuk dan besok kau akan merasakan sakit kepala yang luar biasa. Sebaiknya kau tidur," kata Aaron.
"Tidak. Aku ingin bersamamu," kata Annabelle. "Kalau kulepaskan, kau pasti akan pergi. Lalu aku akan sendirian lagi," ucapnya lirih.
"Bukankah kau akan senang kalau bisa pergi dari rumah ini?" gerutu Aaron.
"Aku tidak mau pergi, tapi aku harus pergi. Kau tidak menyukai keberadaanku dan aku tidak mau menyusahkanmu lebih banyak lagi. Aku sudah berusaha, sungguh! Tapi tetap saja..." ucapan Annabelle terhenti. Ia mendongak menatap Aaron.
Aaron tidak mengerti apa yang dibicarakan Annabelle, akan tetapi cara wanita itu menatapnya membuat darahnya berdesir. Ia mengerjap ketika tangan Annabelle menangkup pipinya dan wanita itu bergerak mendekatinya.
"Indah... kau tau kan kalau kau memiliki mata kelam yang indah. Rasanya aku akan tenggelam kalau menatap ke dalam matamu," bisik Annabelle.
Aaron tidak berkata apa-apa dan hanya menunggu apa yang akan dilakukan Annabelle selanjutnya. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa darahnya memanas hanya dengan sebuah sentuhan. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia selalu merasa seperti ini setiap kali bersama wanita ini. Belum pernah ada manusia yang sangguh menggugah seluruh inderanya hingga sedemikian rupa dan membuatnya terganggu.
Annabelle membuatnya mendambakan hal yang tidak dimengertinya dan Aaron membenci perasaan ini.
Tangan Annabelle bergerak menelusuri tulang pipi Aaron, turun perlahan hingga ujung jemarinya yang dingin menyentuh bibir Aaron. Tatapan matanya tak lepas dari wajah Aaron sementara ia merasakan tekstur dan ketegasan tulang wajah Aaron di tangannya.
Jauh di dalam benaknya, Annabelle sadar kalau dirinya tidak boleh melanggar batasan yang sudah dibuatnya sendiri. Akan tetapi hatinya tak sanggup memungkiri perasaan yang kini membuncah di dadanya. Ia jatuh cinta pada pria ini. Ia tak ingin meninggalkan pria ini.
Annabelle bergerak mendekati Aaron dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Aaron, ringan, seringan kepakan sayap kupu-kupu. Kemudian dengan lebih berani. Ia menempelkan bibirnya di bibir Aaron. Awalnya hanya menyentuh sekilas di kedua sudut bibir pria itu, kemudian dengan lebih berani ia menelusuri tepian bibir pria itu dengan ujung lidah mungilnya.
Annabelle mencium Aaron dengan kikuk namun mengungkapkan segala perasaannya pada tindakannya itu. Ia ingin menjadi bagian dari diri pria itu. Setelah beberapa lama, Annabelle sedikit menjauh dan membenamkan wajahnya di dada Aaron. Ia mendesah.
"Aaron..."
Semua ini sudah lebih dari yang bisa Aaron tanggung. Ia mengumpat pelan. Kemudian ia menyusupkan tangannya ke rambut Annabelle, mengurai kehalusan selembut sutra itu di tangannya seraya mendongakkan wajah wanita itu.
"Kau bermain dengan api," geramnya.
Bukannya ketakutan, Annabelle malah tersenyum. Jenis senyum lembut yang akan ditunjukkan oleh wanita yang merasa puas sehabis bercinta semalam suntuk.
"Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu," kata Aaron sebelum memagut bibir Annabelle.
Annabelle mengerang dan memeluk Aaron dengan lebih erat. Ia menyambut serangan Aaron dengan tangan terbuka. Ia mengerang setiap kali Aaron mengulum bibir lembutnya dan dengan pasrah membiarkan pria itu menjelajahi mulutnya dengan lidahnya.
Aaron mengangkat tubuh Annabelle hingga wanita itu duduk di atas pangkuannya. Ia mencengkeram pakaian wanita itu sementara menciumnya habis-habisan. Suara erangan lembut yang dikeluarkan Annabelle membuatnya bergairah. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa lagi selain mencium wanita itu dan lebih lagi.
Rengekan Annabelle membuatnya terbakar dan ia mencengkeran leher Annabelle untuk menahan wanita itu. Tangannya yang bebas bergerak di punggung dan pinggung wanita itu, membelai titik-titik sensitif yang akan membangkitkan gairah wanita itu. Kemudian dengan sangat mudah Aaron menarik sutra lembut itu hingga robek.
Tangan Aaron menyentuh kulit dingin Annabelle sementara bibirnya menjarah dan mereguk manisnya bibir Annabelle. Ia tidak berhenti untuk menarik napas, ia terus mencium Annabelle hingga wanita itu mengerang dan bergerak dengan tidak sabar di pangkuannya.
"Aaron..." erang Annabelle. Tangannya mencengkeram erat bahu Aaron sementara dirinya membalas setiap ciuman Aaron. Ia mendongakkan kepalanya ketika Aaron menelusuri lehernya dengan ciuman hingga mencapai pangkal lehernya. Erangannya berpadu dengan suara kecupan Aaron di lehernya. Annabelke membiarkan Aaron membaringkannya di atas tempat tidur.
Dadanya naik dan turun ketika ia berbaring menatap Aaron yang menjulang di atasnya. Ia mengamati dengan terkesima ketika Aaron perlahan-lahan menyingkirkan sisa pakaiannya yang koyak hingga dirinya hanya tinggal berbaring dengan mengenakan pakaian dalam berenda yang dipilihkan Sherry. Kulitnya yang putih tampak berkilau di bawah temaram cahaya rembulan yang menerobos lewat jendela.
Annabelle meraih pipi Aaron dan membelainya. Ia menarik turun wajah pria itu dan memberinya kecupan mesra di bibir pria itu. Bibir yang tegas dan juga lembut di saat yang bersamaan.
"Aaron... aku..."
Aaron menyumpah-nyunpah seraya bangkit. Ia berdiri di samping tempat tidur dengan napas tak teratur dan pakaian yang sama kacaunya seperti Annabelle. Ditatapnya wanita yang berbaring pasrah di hadapannya dengan campuran amarah dan gairah. Berbagai macam sumpah serapah memenuhi kepalanya tatkala ia menyadari apa yang hampir dilakukannnya.
Ia mungkin iblis, tapi ia tidak pernah menyentuh wanita yang memiliki perasaan padanya. Bagi kaumnya, seks hanyalah salah satu cara berbagi keuntungan. Tidak melibatkan emosi kedua belah pihak dan akan sama-sama menguntungkan.
Namun, bersama Annabelle, Aaron tau ada sesuatu yang lebih. Ia tidak tau apa nama emosi yang menguasainya saat ini dan pastinya tidak ingin mencari tau tentangnya. Ia hanya harus menyingkir dari godaan yang datang. Saat ini juga, selagi pikirannya masih waras. Ada banyak masalah yang menyertai wanita ini dan sudah pasti ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Annabelle.
"Tidurlah!" kata Aaron dengan suara kasar.
Annabelle menatap Aaron, memohon agar Aaron kembali padanya. Akan tetapi, rasa pening akibat alkohol mulai membuat matanya terasa berat. Ia menatap Aaron dengan mata sayu dan mengembuskan napas lembut. Nama Aaron terucap lirih dari bibirnya sementara benaknya mulai tenggelam ke dalam kabut ketidaksadaran.
Aaron menyambar selimut dan melemparkannya ke atas tubuh Annabelle, berharao dengan menutupi tubuh wanita itu akan mendinginkan gairahnya. Akan tetapi rasanya percuma saja karena ia masih dapat mengecap rasa wanita itu di bibirnya bahkan ketika akal sehatnya memerintahkannya untuk menyingkir.
"Brengsek!" desis Aaron. Ia menatap Annabelle dengan marah. "Apa sebenarnya yang membuatmu begitu berbeda?"
Aaron berdiri di samping tempat tidur Annabelle, mengawasi wanita itu terbuai ke alam mimpi sementara dirinya masih dilanda gairah yang tak tersalurkan.
***
Annabelle terbangun dengan kepala berdenyut seakan dipukuli palu. Ia mengerang pelan ketika mencoba duduk. Annabelle sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatannya berakhir setelah mereka meninggalkan restoran. Ia tidak ingat kapan ia naik ke tempat tidurnya sama sekali. Menilik dari cahaya yang menerangi kamar itu, pastilah hari sudah cukup siang. Setelah yakin pandangannya tidak lagi berkabut, Annabelle bangkit dari tempat tidur.
Selimut yang tadinya menyelimutinya merosot hingga ke pinggangnya. Pada saat itulah Annabelle tersadar kalau dirinya hanya mengenakan pakaian dalam sutra yang dibelinyakemarin. Wajah Annabelle sontak memerah. Kapan ia melepaskan pakaiannya? Ia pasti akan ingat kalau dirinya melepaskan pakaian, ya kan? Atau mungkinkah… Tidak, tidak mungkin. Annabelle tidak bisa membayangkan kalau Aaron yang melepaskan pakaiannya. Kalau pria itu yang membawanya ke kamar, Annabelle masih percaya. Namun, sampai melepaskan pakaiannya?
Kepala Annabelle kembali berdenyut ketika pikirannya berpacu untuk mengingat apa yang terlewat olehnya. Annabelle mengusap keningnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke kamar mandi, berharap mandi akan menjernihkan pikirannya.
Setelah mandi, Annabelle berpakaian dan turun untuk sarapan yang terlambat. Ia sampai di ruang makan dan disambut oleh Tehrror yang sedang menyiapkan sarapan.
“Selamat pagi,” sapa Annabelle.
“Selamat pagi, Nona, sarapan sudah siap,” kata Tehrror.
“Terima kasih. Maaf karena sudah merepotkanmu,” kata Annabelle seraya duduk di kursi yang sudah ditarikkan oleh Tehrror.
Annabelle ingin sekali bertanya di mana Aaron, tetapi ia terlalu malu. Ia tidak ingin memberikan kesan kalau dirinya tergila-gila pada Aaron. Cukup dirinya saja yang menyadari perasaannya kepada Aaron, ia tidak perlu menunjukkan bagaimana perasaannya yang sesungguhnya kepada Aaron.
“Master akan bergabung dengan Anda sebentar lagi,” kata Tehrror.
“O-oh…” sahut Annabelle tergagap. Ia tidak siap menerima berita itu. Ia pikir Tehrror dapat membaca pikirannya, yang sudah pasti tidak mungkin. “Kukira dia sudah selesai sarapan,” lanjutnya dengan suara pelan.
Tehrror tentu saja mendengar ucapan Annabelle, akan tetapi ia memilih diam karena sepertinya Annabelle berharap dirinya tidak akan mendengarkan gumamannya. Lagipula Aaron sudah memerintahkan dengan tegas kalau ia harus diberitahu apapun hal yang dilakukan oleh Annabelle. Sementara itu ia menyajikan sarapan untuk Annabelle.
Annabelle sedang mengolesi rotinya dengan selai ketika Aaron bergabung dengannya. Annabelle melirik Aaron dari balik tirai bulu matanya. Ia mengawasi ketika pria itu mengambil tempat di ujung meja dan duduk. Entah mengapa ia merasa malu ketika menatap pria itu, terlebih lagi jika ia teringat akan kejadian semalam. Ia belum tau apakah Aaron yang menggantikan pakaiannya atau bukan. Apabila benar pria itu yang membantunya maka…Tidak, Annabelle tidak mau memikirkannya. Ia juga tidak akan menanyakannya, tidak peduli apa yang terjadi. Ia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri dengan menanyakan hal yang memalukan seperti itu.
Mereka makan dalam diam. Annabelle tidak berani mengucapkan apa-apa karena takut salah bicara. Jadi, ia membiarkan saja keheningan itu. Lagipula, keheningan itu tidak seperti biasanya terasa nyaman. Mungkinkah dirinya sudah mulai terbiasa berada di dekat Aaron? Annabelle bertanya-tanya bagaimana waktu begitu cepat berlalu. Seharusnya ia sudah meninggalkan rumah itu sejak kondisinya membaik. Lagipula sejak serangan yang diterimanya terakhir kali itu, belum ada lagi tanda-tanda bahaya apapun. Mungkin saja orang yang menyerangnya sudah menyerah? Annabelle yakin dirinya tidak memiliki apa-apa yang bisa membahayakan orang lain. Bisa dikatakan hidupnya sudah lama terisolasi dari dunia luar.
Tanpa sadar Annabelle menyentuh lehernya. Bekas lukanya bisa dibilang sudah hilang tak berbekas. Meskipun kedengarannya aneh, tetapi tak ada segores pun bekas yang tersisa. Sudah sejak lama ia bertanya-tanya mengapa dirinya berbeda. Kemampuannya menyembuhkan penyakit dan luka serta kemampuan tubuhnya untuk sembuh dengan sempurna sudah jelas bukanlah hal yang wajar. Manusia tidak mungkin memiliki kemampuan seperti itu. Orangtuanya menyebut kemampuan penyembuhnya sebagai berkah, meskipun sebagai gantinya kesehatan Annabelle menjadi menurun. Akan tetapi, Annabelle tetap saja merasa dirinya berbeda.
Annabelle kembali melirik Aaron. Pria itu masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Annabelle ingin meminta maaf soal kejadian semalam, selain karena ia mungkin saja tertidur dalam perjalanan pulang, ia juga tidak mengingat sebagian besar kejadian setelah mereka makan di restoran.
“Uhm...” Annabelle mencoba membuka pembicaraan. Namun tidak satupun hal yang muncul dalam pikirannya. Annabelle membenci dirinya sendiri karena tetap berdiam diri sementara ia sudah cukup lama tinggal di sana. “Hari ini sepertinya akan cerah,” ujar Annabelle.
Aaron meliriknya. Annabelle menjadi sedikit salah tingkah. “Uhm…itu… aku berniat menghabiskan waktu di taman mawar…” lanjutnya.
“Terserah kau saja,” sahut Aaron.
Annabelle terdiam karena tidak menemukan bahan obrolan lain. Setelah itu, ia menghabiskan sarapannya dalam diam. Tak berapa lama,Aaron bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan. Ditinggal sendirian, Annabelle menyelesaikan makannya. Ia meninggalkan ruang makan dan langsung menuju ke taman mawar. Wolfie yang sudah menunggu sejak tadi langsung mengikuti Annabelle. Suasana hati Annabelle menjadi sedikit lebih cerah ketika ia sampai di taman mawar.
Selama beberapa jam berikutnya Annabelle menyibukkan dirinya dengan merawat bunga-bunga tersebut. Ia memotong tangkai-tangkai yang kering dan dedaunan yang layu. Annabelle menghentikan kegiatannya dan mengamati hasil kerjanya. Setelah puas, ia membereskan sampah dedaunannya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik besar.
“Kurasa sudah semuanya,” ujar Annabelle. Ia duduk di salah satu bangku yang ada didekatnya dan menikmati hembusan udara hangat di rumah kaca itu. Rumah Aaron terbilang sangat tenang. Selain karena posisinya yang ada dipinggiran kota, mungkin juga dikarenakan rumah itu dikelilingi oleh hutan dan pegunungan. Kota terlihat amat jauh dari sini. Annabelle sedikit penasaran mengapa Aaron memilih rumah yang jauh dari kota seperti ini.
Annabelle mungkin berasal dari tempat yang jauh dari peradaban, tetapi menurutnya orang seperti Aaron harusnya memilih tempat tinggal yang dekat dengan kota. Bagaimanapun, rasanya lebih cocok seperti itu. Annabelle masih belum mengenal Aaron dengan baik, padahal mereka sudah tinggal di bawah satu atap untuk waktu yang cukup lama. Aaron terlalu misterius untuk dapat ia tebak. Segala hal yangdilakukan pria itu selalu di luar dugaan dan nalar. Dan yang paling penting adalah tidak adanya rasa terkejut ketika menghadapi hal-hal aneh yang terjadi pada mereka selama ini. Seolah-olah Aaron sudah terbiasa menghadapi semua itu.
Tiba-tiba Annabelle teringat dengan pertemuannya dengan Arabella, yang bisa dikatakan mustahil dan tak masuk di akal. Arabella sempat menyebut-nyebut soal iblis. Apa maksud Arabella saat itu? Ada banyak hal yang ingin Annabelle tanyakan pada Arabella, akan tetapi Arabella tidak pernah menghubunginya lagi. Annabelle mengira itu karena Arabella tidak tau di mana harus mencari dirinya. Mungkinkah saat ini Arabella sedang dalam kesulitan tetapi tidak tau cara menghubunginya? Annabelle merasa cemas. Ia memang tidak ingat apa-apa mengenai Arabella yang mengaku-aku sebagai saudarinya, tetapi perasaannya mengatakan bahwa apa yang dikatakan Arabella adalah yang sebenarnya. Ia hanya berharap bisa mengingat apa yang telah ia lupakan.
Annabelle menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak. Ia tidak boleh berpikiran negatif. Seaneh apapun hal-hal yang terjadi, semuanya pasti memiliki penjelasannya masing-masing. Bahkan Aaron yang tertutup pun pasti memiliki alasannya sendiri untuk tinggal di tempat yang terpencil seperti ini.
Seraya membereskan peralatan berkebunnya, Annabelle memanggil Wolfie. Lebih baik ia kembali ke dalam rumah. Annabelle sudah sampai di depan pintu ketika tersadar kalau Wolfie tidak ada bersamanya. Biasanya hewan itu akan langsung berlari ketika ia memanggil namanya, namun sekarang ia bahkan tidak terlihat di mana-mana. Annabelle kembali memanggil-manggil Wolfie, akan tetapi serigala kecil itu tidak juga muncul.
Annabelle meletakkan peralatan berkebunnya dan mulai mencari Wolfie di dalam rumah kaca. Ia pikir mungkin Wolfie tertidur di salah satu sesemakan tumbuhan yang ada di rumah kaca itu. Ketika tidak menemukannyadi dalam ruangan, Annabelle keluar dan mengunci pintu sebelum mengedarkan pandangannya.  Annabelle memutuskan untuk mencari di sekitar pepohonan yang mengarah ke hutan tak jauh dari sana.
“Wolfie! Wolfie!” panggil Annabelle. Ia awalnya agak ragu mencari lebih jauh ke dalam hutan karena Aaron sudah memperingatkannya untuk menjauhi hutan. Namun, rasa cemasnya pada Wolfie mengalahkan peringatan yang diberikan Aaron. Bagaimana kalau seandainya Wolfie terluka dan tidak dapat kembali? Hewan itu masih terlampau kecil untuk dapat membela diri apabila berhadapan dengan predator yang lebih besar daripada dirinya.
Annabelle semakin mempercepat langkahnya ketika pikiran-pikiran buruk satu persatu berseliweran di kepalanya. Ia juga terus memanggil Wolfie, berharap serigala itu akan menyahuti panggilannya. Jika hewan itu terluka, Annabelle dapat menyembuhkannya dengan segera.
“Wolf…” ucapan Annabelle tak terselesaikan ketika sebuah kilatan cahaya mendadak muncul di hadapannya. Annabelle berteriak kaget seraya menutup matanya. Ia terjatuh ke tanah karena kehilangan keseimbangan ketika hembusan angin kencang menerpanya. Tak berapa lama cahaya tersebut meredup hingga akhirnya keremangan hutan kembali melingkupinya.
“Anna, aku butuh bantuanmu,” kata sebuah suara yang tidak asing bagi Annabelle.
***
Arabella menatap pria yang terbaring pucat di hadapannya. Mereka mendarat dengan cukup tidak anggun karena Arabella tidak bisa melakukan teleportasi dengan baik dalam keadaan genting. Arabella juga sudah berusaha dengan sebaik mungkin untuk membersihkan dan mengobati luka di tubuh pria itu. Hanya saja sepertinya usahanya masih kurang baik karena kondisi pria itu tampak semakin memburuk kian waktu yang berlalu. Racun sudah menyebar dari luka pria itu ke sekujur tubuhnya dan memperlambat system regenerasi tubuhnya. Dan luka itu belum juga berhenti mengeluarkan darah.
Arabella berjalan mondar-mandir di samping ranjang. Ia memikirkan kekacauan apa yang telah diciptakannya. Seharusnya ia tidak boleh membawa siapapun ke tempat persembunyiannya. Selama bertahun-tahun ia hidup dengan satu aturan khusus, yaitu ia harus hidup dalam persembunyian sampai dengan kurun waktu tertentu. Ia hidup dalam perlindungan, seperti yang selalu ia dengar dikatakan padanya, berkat perjanjian yang dibuat oleh ayahnya demi melindungi dirinya dan Annabelle.
Membawa Annabelle ke sini adalah tindakan egoisnya karena ia ingin bertemu dengan adiknya. Ia tidak lagi puas dengan mengamati Annabelle melalui cermin yang diberikan padanya. Terlebih lagi ia hanya mampu melihat ketika Annabelle diperlakukan dengan buruk oleh bibi mereka. Meski ia tidak mengetahui alasan mengapa Annabelle tidak bersembunyi bersamanya, tetap saja paling tidak ayah mereka harus memikirkan perlindungan yang lebih baik untuk Annabelle. Saat itu Arabella merasa sangat marah hingga ia nekat membawa Annabelle ke tempat persembunyiannya. Terlebih ketika mengetahui Annabelle berada di bawah belas kasihan iblis. Arabella tidak lagi bisa menahan diri, jadi dia menjemput Annabelle meskipun hanya sebentar.
Akan tetapi kali ini ceritanya berbeda. Ia tidak punya waktu untuk memikirkannya matang-matang. Ia berada di ambang maut dan kalau tidak menyelamatkan diri secepatnya, ia mungkin sudah lenyap dari muka bumi ini. Dan Arabella jelas tidak dapat meninggalkan pria ini,selain karena pria itu akan mati kalau tidak ditolongnya,pria itu juga telah menyelamatkan nyawanya. Ia akan merasa amat bersalah kalau meninggalkan pria itu. Dan lagi, memangnya ia punya pilihan? Mustahil mengenyahkan pria itu.
“Ya Tuhan, kenapa aku harus terjebak dengan pria ini?! Kenapa pula pria ini bisa ada disana? Jangan-jangan pria ini mengikutiku!” Arabella memlototi pria yang terbaring gelisah di depannya dengan kesal. Ia tau pria ini bukanlah manusia biasa sejak pertama kali mereka bertemu. Memangnya orang waras mana yang berkeliaran di hutan terpencil seorang diri? Dan melihat aksinya ketika melawan monster tadi, sudah jelas ia bukan manusia. “Meskipun kau bukan manusia, kau tetap akan mati kalau aku tidak mengeluarkan racun itu segera!” gerutu Arabella.
“Argh! Apa boleh buat! Hanya kali ini saja! Dan hutangku padamu lunas!” seru Arabella. Ia berderap ke pintu dengan marah. Akan tetapi, ia berhenti ketika akan membuka pintu tersebut. Ia kembali menoleh ke balik punggungnya. “Sebaiknya kau jangan mati dulu!” tandas Arabella. Kemudian ia membuka pintu dan menghilang ke dalam kegelapan. Detik berikutnya ia sudah berada di hadapan Annabelle.
***
“Anna,aku butuh bantuanmu!”
Annabelle mengerjapkan matanya dan menatap Arabella yang muncul entah dari mana. “Arabella?” ujarnya bingung.
“Yups! Ini aku. Dan aku ingin kau ikut denganku! Kita tidak punya banyak waktu, oke?” kata Arabella seraya menarik Annabelle hingga berdiri. “Kita benar-benar tidak punya waktu. Hanya sebentar, dan aku akan mengembalikanmu ke sini.”
“Tu-tunggu sebentar! Kita mau ke mana?” tanya Annabelle bingung. Ia menahan Arabella. “Aku tidak bisa pergi begitu saja tanpa memberitahu siapapun,” tambahnya.
“Ini tidak akan makan waktu lama! Aku janji! Ayolah, Anna, aku tidak bisa berada di sini lama-lama. Iblis itu bisa mencium keberadaanku kalau aku terlalu lama di sini,” kata Arabella frustasi.
“Tapi bagaimana kau bisa ada di sini sendirian?” tanya Annabelle. “Tenanglah dan coba ceritakan apa yang terjadi padaku,” kata Annabelle.
“Aku tidak punya waktu untuk bercerita. Ikut denganku dan akan kuceritakan sambil jalan!” kata Arabella tidak sabar. “Ada nyawa yang harus kita selamatkan dan aku tidak dapat melakukannya tanpamu!”
Tiba-tiba Arabella mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Seolah-olah ia merasakan adanya perubahan di udara sekelilingnya. Ia berdecak kesal. Tampaknya ia sudah kehabisan waktu. Percuma saja kalau ia berniat melarikan diri sekarang karena kemungkinan iasudah dikepung dari segala arah.
Arabella menimbang-nimbang pilihanapa yang ia punyai. Ia bisa saja menyambar Annabelle dan menghilang, namun ia ragu iblis itu akan membiarkannya lolos. Malah bisa jadi iblis itu akan mengikuti jejaknya. Dan lagi, iblis itu tidak mungkin tau kalau Annabelle adalah adiknya. Mungkin masih ada sedikit celah di mana ia bisa melarikan diri sekaligus membawa Annabelle bersamanya.
Arabella membelakangi Annabelle dan berkacak pinggang. Ia menatap ke arah pepohonan rimbun yang gelap. Meski matahari masih bersinar cerah di luar sana, anehnya di hutan itu sangat sedikit cahaya yang dapat menembus lebatnya dedaunan.
“Arabella?” panggil Annabelle khawatir ketika melihat Arabella tiba-tiba terdiam.
“Nah, berhubung aku sudah tertangkap basah, kenapa tidak kau tunjukkan saja wujudmu?” seru Arabella. “Tuan Ibliis?? Halloooo??”
Arabella bersyukur ia menyimpan azimat pelindungnya ditempat yang mudah dijangkaunya. Jadi, jika iblis itu berusaha menangkapnya, ia akan melarikan diri saat itu juga. Ia mungkin harus kembali lagi karena ia membutuhkan kemampuan Annabelle, tapi itu lebih baik dibandingkan membiarkan iblis itu menangkapnya. Maaf saja ya, ia tidak menghabiskan beberapa tahun belakangan ini dengan duduk dan meratap. Ia sudah melatih tubuhnya dan juga kemampuannya, seandainya ia harus berhadapan dengan monster, yang memang sudah terjadi.
Tak berapa lama, sebuah bayangan bergerak dari baik pepohonan. Sosok itu semakin jelas dan membuat Annabelle terkejut. Aaron bergerak tanpa suara dan muncul dari balik sebah pohon. Tatapannya tajam dan lurus ke arah Arabella. Tidak ada sedikit pun kesan ramah dalam ekspresinya.
“Aaron…”
Arabella tersenyum dan melambai ke arah Aaron. “Kita bertemu lagi,” sapa Arabella riang, meskipun tidak ada kehangatan sama sekali di dalam suaranya. “Halo, Tuan Iblis. Kulihat kau menjaga Anna dengan amat sangat baik. Tetapi,” lanjutnya sambil mengacungkan satu jarinya dan berdecak. “sayangnya masih belum cukup baik! Kenapa kau biarkan dia berkeliaran di tempat seperti ini sendirian? Bagaimana kalau dia diserang lagi? Hm?”
“Arabella…!” seru Annabelle dengan suara tertahan. Ia menamati perubahan wajah Aaron yang awalnya tidak ramah menjadi amat sangat tidak ramah. Annabele tidak ingin Aaron mengusir Arabella padahal mereka baru saja bertemu kembali.
Aaron menatap Arabella dengan mata menyipit. “Apa maumu,” ucap Aaron dengan sura sedingin angina di musim dingin.
Arabella berpura-pura memikirkan pertanyaan Aaron dengan serius. Lalu ia menyeringai. “Takkan kuberitahu!” sahutnya. “Lagipula itu tidak ada urusannya denganmu,” tambahnya.
Sementara ia mengulur waktu, Arabella mengamati sekitarnya dengan diam-diam. Ia tidak melihat adanya pasukan yang akan menyergapnya, tapi tentu saja ia tidak dapat meremehkan iblis di hadapannya itu. Lengah sedikit saja bisa-bisa ia malah terikat di pohon tanpa kesempatan untuk melarikan diri. Mungkin kalau ia mencoba, ia bisa membawa Annabelle tanpa perlu berurusan dengan iblis itu. Arabella mulai bergerak mendekati Annabelle sementara tetap mengoceh untuk mengalihkan perhatian Aaron.
Sayangnya taktiknya tidak berjalan dengan baik karena sebelum ia sempat mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya sudah ditekan ke tanah sementara kedua tangannya dicekal ke belakang. Arabella menjerit, lebih karena kaget daripada kesakitan. Brengsek. Kapan iblis ini menyelinap ke dekatnya?
“Sekarang katakan siapa kau dan apa maumu,” geram Aaron di telinga Arabella. Tangannya mencengkeram erat tangan Arabella hingga wanita itu meringis kesakitan.
Annabelle tersentak dan langsung berlari maju, akan tetapi tatapan tajam Aaron menghentikan langkahnya. “Aaron… tolong jangan menyakitinya,” pinta Annabelle. “Aku yakin Arabella punya penjelasan yang bagus mengapa ia ada di sini,” kata Annabelle.
“Arabella…” ulang Aaron dengan nada dingin. “Jadi, kau yang menculiknya dari rumahku,” lanjut Aaron.
Arabella mendengus. “Menculik?! Kaulah penculiknya! Berani sekalikau membawa adikku ke sarangmu! Bagaimana kalau iblis-iblismu menyakitinya?!” balas Arabella.
“Mungkin harusnya kubunuh saja kau di sini,” geram Aaron.
“Jangan!!” seru Annabelle.
“Kembalilah ke rumah dan tetap di kamarmu sampai aku menyuruhmu sebaliknya,” perintah Aaron.
“Tidak bisa!!” kali ini Arabella yang berseru keras. “Kau tidak bisa menyuruhnya pergi!” Arabella memberontak di tangan Aaron.
Aaron menyentak pergelangan tangan Arabella lebih tinggi sehingga wanita itu mendesis kesakitan.
“Iblis…” umpat Arabella.
“Arabella, kumohon jangan memancingnya lagi,” pinta Annabelle.
“Anna! Bukalah matamu! Sudah waktunya kau mengakui kebenarannya! Pria ini iblis! Iblis sungguhan yang akan membunuhmu tanpa berkedip sedikit pun!”
Aaron mengernyit kesal. Kesabarannya kian menipis seiring dengan berlalunya waktu. Ia tidak ini meladeni omong kosong yang dilontarkan Arabella. Ia punya banyak pertanyaan, dan ia ingin pertanyaan itu dijawab tanpa bantahan.
“Jawab pertanyaanku! Atau kau akan kuumpankan sebagai makan siang anak buahku,” geram Aaron.
“Coba saja! Kau pikir aku akan pasrah saja? Hah! Pikir lagi!”
Aaron mengangkat tubuh Arabella dari tanah dan membiarkannya menggantung dengan kedua tangan terentang ke atas kepalanya. Diguncangnya wanita itu dengan kasar sehingga membuat Arabella mengumpat-umpat. Annabelle kembali bergegas maju, ditahannya tangan Aaron dengan kuat, atau sekuat yang ia mampu.
“Aaron, kumohon jangan!!” pinta Annabelle. “Kumohon, tolong lepaskan dia,” lanjutnya dengan panik.
“Anna! Jangan memohon padanya!” geram Arabella dengan gigi terkatup. Ia berusaha menyerang Aaron akan tetapi ia terlalu kesakitan untuk memberikan perlawanan yang memungkinkan. Sialan iblis ini.
“Tehrror!” teriak Aaron.
Detik berikutnya Tehrror sudah mengambil alih Arabella dari tangan Aaron. Ia mengikat wanita itu dengan efisiensi yang mengejutnya dan memegangnya dengan kuat seraya menunggu perintah berikutnya.
“Aku muak mendapati penyusup memasuki rumahku. Dan aku sudah tidak punya sisa kesabaran untuk menunggu. Aku ingin jawaban, dan aku akan membuatmu menjawab semua pertanyaanku!” bentak Aaron.
Annabelle berdiri di depan Arabella dan menaan Aaron. “Aaron, dia kakakku. Dialah orang yang pernah kuceritakan padamu. Dia tidak mungkin bermaksud jahat!”
“Oh? Bagaimana kau bisa yakin kalau dia benar-benar kakakmu? Kau bahkan tidak ingat padanya,” balas Aaron.
Annabelle tersentak. Ia membuka mulutnya untuk menjawab namun sadar kalau Aaron benar. Tapi, ia tau kalau Arabella memang kakaknya. Ia  bisa merasakannya jauh di dalam hatinya. Meskipun tidak ada ingatan ang dapat membuktikannya, tapi ia yakin Arabella berkata yang sebenarnya.
“Dasar bodoh, tentu saja dia punya ingatan itu. Ingatan itu sengaja disegel agar ia tetap aman,” balas Arabella. “Anna, kalau kau memecahkan batu di lioninmu, semua ingatan itu akan kembali padamu. Kau punya kan, liontin yang Papa berikan padamu,” kata Arabella. Ia sudah tidak punya keinginan melawan, sadar kalau tindakannya akan sia-sia belaka. Lagipula, ia membutuhkan bantuan Annabelle.
Annabelle tampak kebingungan. Ia menyentuh lehernya, tetapi ingat kalau ia menghilangkannya. “Aku…”
Arabella menyipitkan matanya. “Di mana kalungnya?” tanya Arabella. Lalu, tanpa menunggujawaban Annabelle, ia langsung saja menatap Aaron dengan tatapan menuduh. “Kau… pasti kau yang menyembunyikannya kan?”
Aaron menatap dingin ke arah Arabella, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Tidak! Aku… aku menjatuhkannya… mungkin…” kata Annabelle.
Arabella langsung mengomel. Dalam omelannya tentu saja ia menyalahkan Aaron. Pokoknya semua pasti karena Aaron. Ia jelas langsung berpikir bahwa semua kesialan yang menimpa Annabelle pasti disebabkan oleh Aaron. Langsung saja Aaron menyipitkan matanya sehingga Tehrror langsung menghentikan ocehan Arabella dengan cara membungkam mulut wanita itu dengan tangannya.
“Bawa dia ke ruang bawah tanah,” perintah Aaron. “Kurung dia sampai mau buka mulut.”
“Baik, My Lord,” sahut Tehrror. Ia langsung menyeret Arabella bersamanya sementara Annabelle berusaha mengejarnya.
Belum sempat Annabelle menyusul Arabella, Aaron mencekal tangannya. “Kau tidak akan ke mana-mana sampai aku mengatakan yang sebaliknya,” kata Aaron.
“Tapi… Arabella… kau harus melepaskannya! Kau tidak bisa mengurungnya seperti itu!” protes Annabelle.
“Dia harus menjawab pertanyaanku kalau ingin bebas. Tak peduli siapa dia,” tandas Aaron.
Annabelle ingin membantah tetapi ia bahkan tidak diberi kesempatan sebelum Aaron menariknya bersamanya untuk kembali ke rumah. Dengan tersandung-sandung Annabelle mengikuti Aaron. Susah payah ia mengejar Aaron sementara pria itu tidak memperlambat langkahnya sama sekali. Baru terngiang dalam benak Annabelle semua yang diceritakan Arabella padanya. Ia mendongak dan menatap punggung lebar di depannya. Benarkah? Mungkinkah semua yang dikatakan Arabella itu benar, bahwa Aaron adalah iblis? Dalam semua kebingungannya tadi, ia tak sempat memerhatikan detail-detail kecil yang seharusnya tak luput dari penglihatannya.
Cara Aaron bergerak dengan senyap dan cepat, kekuatannya, semua yang ada pada diri pria itu, seharusnya ia sadar mustahil ada manusia sesempurna itu. Ditambah lagi, cara Aaron menghadapi orang-orang yang mengincarnya… tidak ada manusia yang sanggup melakukan apa yang dilakukan Aaron.
“Benarkah… kau itu iblis?” pertanyaan itu tercetus begitu saja tanpa sanggup Annabele cegah.
Pertanyaan Annabelle menghentikan langkah cepat Aaron. Ia berdiri diam tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian ia berbalik. Tangan Annabelle terkulai ke sisi tubuhnya. Aaron tidak perlu mengucapkan apapun, semuanya ada pada tatapan pria itu. Meskipun tak tau apa yang ada di benak pria itu, tapi Annabelle dapat melihat semua kebenaran itu ada dalam tatapan Aaron.
Aaron tetap tidak mengatakan sepatah katapun, ia kemudian kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Annabelle yang masih berdiri diam menatap kepergiannya.
Jauh di kejauhan hutan, sepasang mata penuh niat jahat mengawasi Annabelle. Seringai jahat muncul di bibirnya. “Akhirnya kutemukan…”
***


[NB: Part 21 dan Part 22 di Grup FB AI Story Corner]
Maaf bila ada banyak typo(s)
To be Continue....

THE UNTOUCHED DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang