Part 4 : Cemburu

18 7 0
                                    

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Mereka sudah memasukkan segala keperluan mendaki ke dalam tas mereka masing-masing tiga hari sebelumnya.
"Ayah! Boleh ku pinjam ini ?" Vian mengambil senter ayahnya.
"Kau benar-benar akan pergi ?" Tanya ayahnya yang masih terlihat sibuk membaca koran.
"Iya! Aku sudah janji pada mereka." Jawabnya.
"Baiklah.. kapan-kapan ajak juga mereka ke sini. Ayah ingin tahu gadis mana yang telah membuatmu jatuh cinta sekarang."
"Tidak ada! Kami semua hanya teman. Kalau begitu aku berangkat."
"Tunggu! Ayah pikir kau membutuhkan ini. Tadi pagi seorang gadis bernama Tika menelponmu melalui telpon rumah. Jadi ayah membelikanmu ponsel agar dia bisa menghubungimu secara pribadi." Ayahnya memberikannya sebuah ponsel.
"Tidak usah! Aku tidak perlu.."
"Kau pasti akan memerlukannya.." Ayahnya tersenyum.

Sesampainya di café mereka masih mengecek barang-barang bawaan masing-masing.
"Wah.. banyak sekali barang bawaan kita. Sebenarnya kita mau mendaki apa piknik sih ?" Yana menggerutu.
"Salahmu sendiri kenapa membawa hair dryer ke hutan.. Di sana tidak ada colokan listrik." Rico protes.
"Tapi aku sudah mengecasnya tadi." Yana mulai kesal.
"Kau membawa telur dan sayur juga ya ?" Latifa tersenyum kepada Tika.
"Ya! Kita nanti akan masak-masak juga." Jawab Tika.
"Kalau kau bawa apa ?" Latifa menoleh ke arah Vian.
"Aku ? Maaf.. aku tidak membawa sesuatu yang bermanfaat." Jawab Vian.
"Jadi kau hanya membawa dirimu saja ?" Tanya Ren seraya menatap sinis ke arahnya.
"Tidak apa-apa! Mungkin nanti kau bisa menunjukkannya nanti pada kami." Latifa melanjutkan catatannya.
"Jadi siapa yang akan membawa mobilnya ?" Tanya Yana.
"Tentu saja aku!" Kak Irma sudah terlihat membawa kunci mobilnya.
"Kak Irma ???" Mereka kaget mendengarnya.

Mereka tahu jika Kak Irma baru saja mendapat SIM, mereka sangat khawatir karena Kak Irma masih belum lancar menyetir. Terlebih lagi Latifa saat ini sedang duduk di depan, tapi untunglah hingga sampai di tempat tujuan tidak terjadi apa-apa. Ren membawa perlengkapan tenda, dan Rico membawa perlengkapan masak. Vian membawa sebagiannya lagi yang tidak bisa dibawa oleh mereka, gadis-gadis membawa tas mereka masing-masing. Latifa tidak membawa banyak barang, hanya buku dan obat yang harus rutin diminumnya setiap hari. Hari ini adalah pertama kalinya Latifa mendaki gunung, tapi ia sudah tahu dari membaca buku bahwa ada satu tempat di lereng gunung Yamagoru yang harus mereka kunjungi.
"Tadi itu tidak apa-apa 'kan ? Apa kakakku terlalu ngebut tadi ?" Tanya Ren.
"Mungkin.. ini pertama kalinya aku naik mobil seperti naik Roller Coaster sungguhan." Latifa tersenyum.
"Berarti kakakku menyetir memang sangat buruk. Apa kau sudah lelah ? Mau ku.. mau.. aku gendong ?" Ren malu-malu.
"Tidak! Aku masih kuat.. lagi pula barang bawaanmu 'kan berat sekali. Bagaimana mungkin kau bisa menggendongku sekalian ?" Latifa sudah terlihat sangat lelah.
"Baiklah! Kalau kau merasa sudah tidak sanggup lagi berjalan, kau panggil saja aku. Ranselku akan ku berikan pada Vian." Ucap Ren.
"Terimakasih!"

Semakin ke puncak maka semakin terjal dan berbahaya pula jalan yang mereka lalui. Ren terlalu mengkhawatirkan Latifa, ia tidak tahu jika jalan di depannya licin. Ren pun terjatuh, kaki kirinya tersangkut ranting pohon. Saat itu orang yang paling sigap menolongnya adalah Vian, dengan segera ia meraih tangan Ren.
"Hati-hati!" Begitulah katanya. Mereka pun beristirahat di tempat yang lebih aman.
"Ren.. kau tidak apa-apa 'kan ?" Rico ikut panik.
"Kakinya hanya terkilir." Ucap Vian, Ren terlihat sangat kesakitan.
"Kau harus lebih hati-hati.. dari tadi apa sih yang kau lihat ? Kita belum sampai di tempat tujuan, jadi siapa yang akan membawa ranselmu yang berat ini ?" Yana malah memarahinya.
"Tidak! Aku masih bisa membawanya kok."
"Biarkan aku yang menggantikanmu membawa ranselmu." Vian bermaksud membantunya.
"Tidak! Apa kau tidak dengar jika aku bilang masih sanggup membawanya ? Lagipula jika ku berikan padamh, aku tidak akan terlihat keren lagi di mata Latifa." Begitulah jawabannya.
"Sudahlah.. kalau begitu kita lanjut. Oh iya, aku tidak mendengar suara Latifa dari tadi." Tika menyadarinya.
"Latifa!!!" Mereka melihat Latifa yang sedang duduk tertatih, tarikan napasnya terdengar, dan wajahnya sangat pucat.

Kondisi tubuh Latifa sangat lemah, dan dokter tidak menyarankannya untuk berolahraga. Tapi tampaknya Latifa mengabaikannya, ia ingin melewati sesuatu yang bisa dikenang bersama dengan teman-temannya.
"Latifa!" Ren menghampirinya.
"Jangan khawatir.. aku masih kuat. Tinggal satu tanjakan lagi maka kita akan sampai." Ucap Latifa.
"Jangan bodoh! Aku akan menggendongmu.." Ren meraih tangannya dan melepas ranselnya, berjongkok di depan Latifa.
"Kakimu terkilir dan aku tidak mau malah membuatmu semakin sakit lagi." Latifa menolaknya, ia memaksakan dirinya untuk berjalan.
"Tidak bisa jika begini!" Vian memegang tangan Latifa.
"Aku akan menggendongmu!" Vian menawarkan bantuan.
"Tidak perlu.." Latifa menolaknya, ia mungkin tahu bagaimana perasaan Tika.
"Tidak Latifa.. kau tidak boleh berjalan lebih jauh lagi. Jika kau tetap memaksakannya maka akan membuat kondisimu semakin buruk saja. Tidak apa-apa jika Vian menggendongmu kok." Tika tersenyum.
"Baiklah.." Latifa berpaku pada Vian.
"Kenapa harus begini ?" Ren memukul kakinya.
"Sudahlah.. dia tidak tertarik pada Latifa. Jangan berlebihan!" Ucap Rico kepada Ren.

Dalam perjalanan tak terdengar lagi suara candaan atau sekedar basa-basi, kedengarannya masih sama seperti tadi, sangat hening. Mungkin hanya Yana yang perasaannya merasa tenang. Yana berusaha mencari topik pembicaraan agar suasana tidak seperti dalam kelas ujian.

"Vian.." Latifa memanggil namanya.
"Apa ?"
"Maaf.. aku merepotkanmu. Apa aku sangat berat ?" Tanya Latifa.
"Tidak.. malah kau harus lebih banyak makan lagi." Jawabnya tenang.
"Terimakasih!"
"Terimakasih untuk apa ?" Tanya Vian.
"Coklat Muffin buatanmu itu sangat enak. Ren membawakannya kemarin sore ke rumahku." Ucapnya.
"Kau menyukainya ?" Tanya Vian, wajahnya memerah.
"Iya.." Jawabnya singkat.
"Vian.." Ucapnya lagi.
"Kenapa aroma tubuhmu seperti ini ?"
"Apa maksud pertanyaanmu itu ? Tentu saja karena aku keringatan.. kau tidak suka ? Maaf! Aku tidak bisa menurunkanmu sekarang." Vian merasa tidak enak.
"Tidak! Aku hanya ingin tidur sebentar." Latifa menutup matanya.
"Tidur ? Yang benar saja.."

"Tika! Perlu ku bantu membawanya ?" Tanya Rico.
"Tidak.. aku bisa membawanya sendiri." Tika terlihat murung. Yana hanya memperhatikan mereka dari belakang. Yana melihat Ren dan Tika yang tampak sakit, begitu juga dengan Rico. Yana berpikir jika persahabatan mereka telah berubah, bahkan hatinya juga.

"Kenapa aku harus cemburu dengan Latifa.. Vian tidak mungkin menyukai Latifa, hari ini hanya kebetulan saja.. Apakah aku benar-benar sudah jatuh hati pada Vian ? Tidak boleh! Kami hanya teman.."

"Jika saja kakiku tidak terkilir pasti sekarang aku sedang menggendongnya. Latifa ataupun Vian, tidak ada suka satu sama lain. Jadi apa yang harus ditakutkan ? Vian menyukai Tika, bukan Latifa!"

"Kenapa dia malah sperti itu ? Apa mungkin Tika benar-benar menyukai Vian ? Lalu bagaimana denganku ? Jika Vian benar-benar menyukai Latifa mungkin aku masih punya kesempatan.."

"Rico sangat memperhatikan Tika. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Bagaimana ini ? Siapa yang harus ku salahkan atas rasa sakit hatiku ini ? Hanya satu orang.. Vian adalah penyebabnya.."

"Aromanya mirip sekali dengannya.. Beginikah aroma tubuh dari seorang pria ?"

------------BERSAMBUNG------------
T_T

SINGLE PARENT (NOT FINISHED)Where stories live. Discover now