BAB 14

93 17 1
                                    


Abyan membuka mata, mengerjap-erjapkan matanya. Badannya terasa sedikit pegal, pikirnya mungkin karena tidur dalam posisi duduk.

Sebentar,

posisi duduk?

Abyan membuka matanya selebar mungkin. Dia tidak tidur dalam posisi duduk. Tentu saja ia tahu bahwa sekarang ia sedang tidur di atas tempat tidur.

Sebentar,

tempat tidur?

Abyan terduduk bahkan terlonjak sampai berdiri. Tempat tidur ini tentu bukan miliknya. Kamarnya tidak menghadap ke sebuah jendela yang mampu memberi celah untuk cahaya.

Sebentar,

cahaya?

"Woyy bocah udah bangun luh?"

Kepala Abyan menoleh dan mendapati Nina dengan rambutnya yang masih basah memasuki kamarnya. Dengan santai cewek itu menyodorkan satu potong roti, dan detik itu juga Abyan sadar apa yang tengah terjadi. Tanpa ba bi bu, ia membereskan tas dan beberapa buku yang ia bawa kemudian berlari sembari berharap-harap bahwa ia tak akan terlambat. Meskipun ia sudah tahu, harapannya yang satu itu tak akan terkabul.

Berbanding terbalik dengan Nina yang lebih memilih menghabiskan sarapannya. Lalu setelahnya berjalan keluar rumah dengan santai seolah ia masih punya banyak waktu untuk sampai di sekolah tepat waktu.

Nina butuh berjalan cukup jauh untuk menemui angkutan umum yang berlalu mengingat ia tak lagi bisa menggunakan mobilnya karena masih harus menyelesaikan hukuman dari Bunda. Walaupun melelahkan, Nina harus percaya oleh kalimat kedua kakak kembarnya itu, minimal ia harus terlihat baik-baik saja sehingga Bunda merasa iba melihatnya. Meskipun sumpah demi apapun, sekarang ia benar-benar ingin menangis karena harus melakukan aktivitas berjalan ini untuk beberapa hari atau minggu ke depan.

Kira-kira 25 menit, akhirnya Nina sampai di depan gerbang sekolah. Lingkungan sekolah sudah sangat sepi, tentu saja karena bel sudah berbunyi kira-kira sepuluh menit yang lalu. Tapi apa peduli cewek bernama Nina Anjani ini? Lagipula, dibanding merasa khawatir tentang hukuman-hukuman yang akan ia terima setelah ini, ia sekarang justru menikmati pemandangan Abyan yang tengah memohon-mohon diperbolehkan masuk ke dalam sekolah.

"Woy bego."

Abyan merasakan pukulan yang lumayan keras di lengannya, kemudian sedikit menunduk untuk melihat siapa pelakunya. Cewek dengan rambut terurai dan sedikit berantakan itu menampilkan senyum cerah seolah ia tidak sedang melakukan kesalahan sekarang. Namun Abyan memilih untuk tidak mengubris kehadiran cewek itu dan kembali berbincang dengan Pak Satpam.

"Saya janji nggak bakal mengulangi kesalahan yang sama, Pak," ucap Abyan dengan nada pasrah di sana. "Saya ada ujian praktek pagi ini, Pak, saya mohon."

"Memangnya lo nggak pernah denger yang namanya ujian susulan?" sambar Nina sengaja.

Bocah ini, astaga.

Di tengah emosi yang meluap-luap terhadap Nina, Abyan masih terus berusaha menempatkan ekspresi paling memelas di hadapan Pak Satpam. Namun sepertinya Bapak itu sangat handal dengan mengesampingkan rasa kasihan dilihat dari caranya terus memasang raut angkuh.

"Gini-gini, jadi intinya Bapak mau bukain pager gak buat kita berdua?" tanya Nina langsung.

"Kalian ini telatnya barengan, gimana bisa saya memperbolehkan masuk murid yang telat karena berpacaran?" kata Pak Satpam semakin ketus.

"Tapi saya sama dia gak paㅡ"

"Nah gitu dong, Pak, ini saya lanjut pacaran lagi deh ya. Makasih, Pak, he he he." Nina menatap Abyan yang sudah melotot ke arahnya sambil tersenyum, "Ayo sayang."

"Lo ninggalin otak lo di mana dah?"

"Nggak tau deh, tapi kalo hati aku ada di kamu kan?" Nina menaik-naikkan kedua alisnya sedangkan Abyan hanya bisa merutuki diri pernah mengenal cewek macam Nina.

"Heh kalo pacaran jangan di sini! Kamu ini mau saya adukan ke Bu Betha?!" Pak Satpam memukul pagar dengan tongkat hitam khas miliknya.

Mendengar nama guru kesiswaan paling killer itu, Abyan spontan menarik lengan baju Nina untuk menjauh dari kawasan sekolah. Terlambat dan melewati praktek Biologi hari ini sudah cukup menjadi masalah untuknya yang tengah berada di kursi tingkat akhir Sekolah Menengah Atas, itu saja sudah, jangan ditambah oleh masalah lain dan berakhir berurusan dengan Bu Betha.

"Woy jangan ditarik-tarik dong bego!!" Nina menyentakkan tubuhnya sampai tarikan Abyan di lengan bajunya terlepas. "Tuh kan! Liat baju gue jadi lecek! Lagian tangan lo kasar banget sih sama perempuan? Memangnya gue daun pisang hah lo tarik-tarik?!"

"Bacot."

"Bacot, berisik, bacot, apa itu doang hah yang ada di mulut lo?! Dasar makhluk astral gak guna."

Nina melipat kedua tangan di depan dada. Ia menatap Abyan yang hanya diam semenjak kalimat terakhirnya tadi, cowok itu terlihat gelisah dengan mengotak-atik ponselnya. Melihat itu, Nina sedikit iba, setidaknya ia masih ingat kalau dirinyalah penyebab Abyan terlambat.

"Ikut gue, lah, yuk," ajak Nina akhirnya.

Tapi Abyan hanya menoleh sebentar dengan tatapan acuh tak acuhnya, tangannya tetap sibuk bergerak di atas layar ponselnya. Tentu saja emosi Nina meluap-luap menyaksikan itu semua.

"Eh manusia gila! Diajak ngomong diem aja! Lo pikir kalo lo diem di sini itu Pak Satpam bakal tiba-tiba nyamperin kita terus bolehin kita masuk ke sekolah? Atau jangan bilang lo mau balik dan buat Tante Melya kecewa liat lo dipulangin?"

Abyan menurunkan ponselnya, menatap Nina penuh tanya, tumben bener.

"Terus lo mau kita kemana?"

Nina tersenyum puas mendengar kalimat itu. "Ikut aja," jawabnya.

"Gak, jawab dulu, ke mana?"

"Ah elah rewel bener bocah!! Ikut aja sih, repot."

"Lo emang kalo gak teriak-teriak kenapa sih?" Abyan mengusap telinga.

"Makanya ikut gue, gitu aja repot. Atau lo mau nih gue aduin Tante Melya?"

"Lah kan gue juga bisa ngaduin ke Bunda lo?"

Oh iya juga ya ...

Nina menyeringai, "Udah, ikut aja, lo gak bakal nyesel. Percaya sama gue."

***

longest part ever

12 Maret 2018

KANAN - KIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang