(i)

3.3K 555 130
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


[Revisi]

Hari itu hujan turun. Deras. Gadis dengan seragam sekolah yang masih lengkap itu dengan terburu-buru membawa tubuhnya menuju depan minimarket. Menyingkir dari serbuan jatuhan tetes air yang menggila. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala, menghapus bulir-bulir yang masih sempat dihilangkan.

Gadis itu lantas menggerutu dalam hati karena tidak membawa payung sebelum pergi ke perlombaan tadi pagi. Namun hanya sesaat, setelahnya ia berpikir jika ada payung memangnya apa yang akan ia lakukan?

Arimbi—gadis itu mengeratkan rengkuhan pada dirinya sendiri. Meremat bagian lengan almameternya. Manik mata Rimbi meluas, melihat keadaan sekeliling. Hanya ada dia dan lelaki dengan jas hitam yang kira-kira berumur tiga puluhan. Kondisi di dalam minimarket pun tidak jauh berbeda. Hening. Seolah memberi izin pada rinai hujan untuk memonopoli.

Matanya memicing. Merasakan titik-titik hujan yang terbawa angin saling berebut menyetuh kulit wajahnya.

Napasnya terhela pelan. Sensasi dingin yang merambah bagai katalis bagi emosinya. Buncahan emosi seakan mengalir begitu deras, sederas hujan yang melanda. Dadanya mendadak sesak, sangat. Untuk sekadar bernapas pun rasanya sangat sulit.

Rimbi gagal.

Gadis itu tidak berhasil membawa peringkat satu pada olimpiade matematika yang tadi digelutinya. Gagal mengharumkan nama baik sekolah, sekaligus gagal memuaskan hasrat perfeksionis orang tuanya. Bahkan kalau pun ia meraih posisi pertama, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Tidak ada untaian kalimat-kalimat pujian. Tidak ada gemerlap hadiah-hadiah atas prestasinya. Tidak ada raut bangga dari kedua orangtuanya, dan tidak ada perubahan apapun pada sifat serba-sempurna ayahnya, pada sifat tempramen ibunya.

Bibir tipisnya terbuka, bergumam pelan, "Untuk apa?"

Untuk apa ia membanting mental fisiknya demi digit angka yang tidak seberapa, untuk apa Rimbi meregang lelah menarik kaki ke satu tempat ke tempat lain untuk mencari ilmu yang tidak ia mengerti untuk apa. Hidupnya layak seorang manekin dengan tali temali bening yang mengikat kuat. Menyakitkan.

Namun di sisi lain, ketika buku-buku jarinya memutih menahan emosi karena lemparan kertas ujian di wajahnya, ia masih tidak mampu untuk mengutarakan ketidakadilan. Mengungkapkan barisan protes atas segala yang ada.

Ia takut.

Rimbi takut. Takut kembali pulang ke rumah.

Gadis itu terkekang. Terkurung dalam figur sempurna bayangan orangtuanya.

Ia mengembus napas menciptakan kepulan asap yang bertahan beberapa sesaat sebelum berdifusi kembali dengan udara. Pandangannya jatuh pada serbuan tetes-tetes air bak anak panah yang jatuh dari semesta. Sorot pada sepasang irisnya meredup.

Andai, andai saja aku setulus titik air, pikirnya lantas mengguratkan senyum pedih. Tetapi sayangnya ia tidak bisa. Atau barangkali gadis itu tidak mampu, karena sebanyak apapun stok kesabarannya, seluas apapun ia melapangkan hatinya, segalanya masih terasa sama. Ceruk di dalam dirinya tidak akan pernah tertutupi. Malah semakin menganga, lebar.

Rimbi mendadak tertawa kering. "Ah, sial. Ini benar-benar menyakitkan."

Emosi Rimbi seolah diaduk-aduk mencium bau petrikor yang menyengat. Hujan, angin, petir bagai keseragaman yang bersekongkol menghina dirinya. Di mana esensi indah yang dulu ibunya ceritakan di balik jendela berembun saat hujan?

Rimbi ingat, dulu wanita itu pernah berkata, "Kita harus bisa mensyukuri segala yang terjadi, sayang. Meski hal sekecil apapun, seperti titik air." Rimbi juga ingat jemari lentik ibunya yang menunjuk jendela berembun saat mengatakan itu. "Hujan itu indah. Sesuatu yang Rimbi lihat seperti petir, badai, pohon, hujan, memang terlihat tidak beraturan. Tapi jika dilihat lebih dalam, ada pola yang menyatukan. Mengikat dalam satu sistem yang berulang."

Omongan itu memang tidak serta-merta membuatnya terkagum. Diksi yang ibunya gunakan terlalu berat untuk anak kecil berumur tujuh tahun. Tetapi sekarang gadis itu mengerti, dan ingin menyombongkan pada ibunya. Jika bisa.

Satu kristal bening berhasil lolos menuruni pipinya. Ia menangis. Tanpa mengetahui jelas apa sebenarnya yang ia tangisi. Segalanya terlalu berbaur, menciptakan denyut yang menjalar. Di kepala, di hatinya. Kendati sedikit merasa anomali ketika hatinya terasa begitu hampa disaat yang sama terasa sangat nyeri.

Mata Rimbi terbuka merasakan hawa kehadiran di sampingnya.

"Rimbi?"

Gadis itu menoleh, mendapati Garan sahabat karibnya berdiri di samping dengan payung yang memayungi dirinya. Rasa lega terpancar dari kedua iris jelaga itu. "Astaga, aku sudah mencarimu kemana-mana!"

"Kau mencariku?" tanya Rimbi. Dia ingin menambahkan, untuk apa? Tapi entah kenapa rasanya terlalu sulit.

"Tentu saja! Aku menghubungi teman-temanmu tapi tidak ada yang tau. Ayo, kuantar kau pulang."

Gadis itu tampak mengernyit, menggigit bibir bawahnya sendiri. "Pulang?"

Kata itu terasa sangat asing.

Pun jika dia harus pulang. Kemana? Tidak ada tempat dengan sebutan rumah di dunia ini, bagi Rimbi.

Tawa hampa lolos begitu saja dari mulutnya. Ia menunduk sebelum berujar, "Gar, apa segala kekacauan yang melanda termasuk keteraturan di alam semesta?"

Keteraturan dalam ketidakteraturan, dan ketidakteraturan dalam keteraturan. Chaos.

Garan mengernyit, sama sekali tidak menangkap ucapannya. "Maksudmu? Aku tidak mengerti."

Stagnan. Rimbi lantas mendongak. "Kau tidak mengerti," nadanya terdengar lirih. "Kau memang tidak akan pernah mengerti. Jadi tolong, untuk kali ini biarkan aku sendiri."

Garan ingin menyanggah sebelum Rimbi kembali berkata, "Kumohon."

Mendengar nada memohon dari gadis itu, Garan hanya bisa terdiam, lama memandangi Rimbi penuh sangsi. Ia tau apa yang terjadi pada Rimbi. Dan mungkin gadis itu hanya butuh waktu sendiri, bersama hujan.

"Kau serius?"

Tanpa menoleh Rimbi mengangguk.

Garan meremat pegangan payung sembari menghela napas panjang. Setelah berdebat dalam hatinya, pria itu kemudian menarik payungnya pergi, tanpa menyadari jika ia akan sangat menyesal melakukannya. Tanpa menyadari jika gadis itu membutuhkan payungnya.

Gadis itu memilih menjadi tetes hujan. Jatuh, kalah oleh skenario semesta, dibanding menjadi tanah yang menghadang cakrawala.

Tamat

Jadi ini cerpen buat tugas Indo. Awalnya ff gitulo, cuma castnya diganti sama direvisi dikit, dan berhubung di akun ini jarang banget update jadi kenapa nggak? Yekan?

Dapet ide waktu baca artikel sistem pendidikan di Korea dan pengakuan-pengakuan dari muridnya sendiri. Asli, serem. Nggak kebayang aku kayak gitu :'

Cerpen ini nggak wah-wah banget, ikr :'

Gadis yang Membutuhkan Payung ✓Where stories live. Discover now