How I Date You Not Your Mother [1.0]

8.1K 357 10
                                    

Enam... Tujuh... Delapan... Sembilan... Sepuluh...

Vian mengembalikan barbel yang dipakainya, lalu berjalan menuju treadmill, sebagai penutup dari latihan rutinnya. Tidak lama, kakinya sudah melangkah mengikuti irama treadmill.

30 menit kemudian, dengan baju penuh keringat, Vian berjalan kembali ke ruang ganti.

"Aww shit," umpat seorang cewek, yang diikuti suara barbel jatuh. Vian menoleh, melihat siapa yang menjadi korban 'kejatuhan barbel' itu.

"Sophia?"

Cewek itu menoleh, matanya menyipit begitu melihat Vian. "Lo..."

"Vian, temannya Rama," ujar Vian.

Sophia tersenyum kecil. "Oh. Hai," ujarnya singkat sambil mengambil barbel yang dijatuhkannya tadi.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Vian. Sophia menggeleng sambil tersenyum kecil lagi.

"Udah selesai?" tanya Vian lagi. "Mau pulang bareng?"

"Nggak usah, gue bawa mobil kok," ujar Sophia. Tanpa diduga, Vian tersenyum.

"Bagus lah, lagian gue juga mau ketemu selingkuhan gue dulu," ujar Vian santai, membuat Sophia menganga tanpa sadar.

"Gue duluan ya," ujar Vian lagi. Setelah itu, dia langsung berjalan ke ruang ganti, meninggalkan Sophia yang hanya bisa terheran-heran ditempatnya.

--

"Sumpah ya, sahabatnya si Rama tuh freak banget," gerutu Sophia. Diseberang telepon, Inez tertawa keras mendengar gerutuan sahabatnya.

"Ih kok malah ketawa sih, Nez..." gerutu Sophia, mendengar tawa Inez yang tidak kunjung reda.

"Hahaha. Maaf maaf. Habis kalian lucu sih," ujar Inez.

"Emang gue badut? Kalau si Vian-Vian itu sih mungkin."

Tidak ada jawaban.

"Halo? Nez? Inez? Masih disitu?" tanya Sophia.

"Eh, Sof, udah dulu ya," ujar Inez tergesa-gesa.

"Rama ya?"

"Iya. Lagi dingin nih. Besok cerita ya. Bye," ujar Inez mengakhiri pembicaraan mereka.

Sophia menatap ponselnya dengan pandangan nanar, merasa kasihan dengan Inez yang sepertinya terintimidasi dengan suami barunya itu.

Tak lama, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini nama Arina terpampang dilayar.

"Sof, cabut yuk. Ngopi aja," ujar Arina tanpa perlu mengucapkan 'halo'.

"Yuk deh. Ajakin Inez sekalian," ujar Sophia.

"Udah, tapi dia nggak bisa. Ada Rama, katanya."

"Duh, kasian gue sama dia."

"Ya udah, omongin di kafe aja. Kafe biasa ya, cepetan nggak pakai lama," ujar Arina sebelum mematikan telepon.

Setelah sambuan diputus, Sophia segera mengambil kunci mobil dan menjalankan mobilnya ke kafe tempat Arina menunggu.

--

Sophia mengetuk-ngetukkan jarinya diatas meja sambil melirik jam. Sudah 15 menit berlalu, Arina belum muncul juga.

Tiba-tiba, ada hembusan yang menggelitik area lehernya. Sophia bergidik, lalu menoleh dengan kesal, ingin mencabik orang yang berani-beraninya bernapas di area sensitifnya.

"Hai, babe," ujar orang itu. Sophia mengangkat alis sambil bersiap-siap mencakar cowok yang berdiri dengan santai didepannya ini.

Disebelah cowok itu, ada seorang cewek yang menggandeng tangannya dengan protektif, sambil melayangkan pandangan membunuh pada Sophia.

"Ngapain sih lo? Rese banget," gerutu Sophia. "Oh, and I'm not your 'babe'."

"Not yet," ujar cowok itu santai, masih tidak mempedulikan tatapan kesal dari perempuan disebelahnya.

Cowok itu mendekatkan badannya ke arah Sophia, lalu berbisik di telinganya, "but you will. Soon."

"Vian!" Perempuan disebelahnya menghentakkan tangan cowok itu, Vian, dengan kasar tanpa melepasnya.

Vian menatap perempuan disampingnya dengan tatapan lembut, sambil melepas pegangan perempuan itu.

"Maaf ya. Aku emang udah bosan sama kamu. Jadi aku mau kita putus," ujarnya. Nada suaranya yang dingin membuat tatapan lembut itu menjadi mematikan, membuat Sophia bergidik mendengarnya.

Dengan kesal (dan lebay, menurut Vian), perempuan itu menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu pergi meninggalkan kafe.

Setelah perempuan itu pergi, Vian tersenyum kepada Sophia. Sophia balas menatapnya tajam.

"Mau jadi pacarku, Sof?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Vian, membuat Sophia--bahkan Vian sendiri--kaget mendengarnya.

Bego lo, Yan. Sama Sophia harusnya jangan begini, batin Vian, kesal sendiri dengan tindakannya barusan.

Tatapan Sophia berubah menjadi sinis. "Dan berakhir kayak tadi? Cih. No, thanks. Gue masih punya hati dan pikiran, dan gue nggak akan pernah nerima cowok yang mutusin dan nembak cewek sesuka hatinya."

Selesai berkata begitu, Sophia mengambil tasnya, berjalan menuju kasir untuk membayar, lalu segera keluar.

Vian hanya menatap kepergian Sophia sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

Diluar, Sophia baru bertemu dengan Arina.

"Sof, sorry ya telat. Tadi mobil gue mogok, cegat taksinya lama jadi gue sampainya juga lama," ujar Arina. Melihat Sophia yang terus berjalan menuju parkiran, Arina hanya berlari mengikuti sambil menatapnya bingung.

"Lo kenapa, Sof?"

"Kita cabut dari sini. Cari kafe lain aja. Di dalam ada Vian," ujar Sophia sambil membuka kunci mobilnya.

Tatapan Arina menjadi dingin. "Vian temannya Rama? Dia datang sendiri atau sama..."

Sophia membuka pintu, lalu menatap Arina yang berdiri di sisi lain.

"Iya, temannya Rama. Dia datang sendiri. Dan barusan..." Sophia tidak melanjutkan ucapannya. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Barusan...?" pancing Arina.

"Barusan dia nembak gue."


*
helooow :) jadii, cerita ini adalah awal dari kisah Vian-Sophia..

I hope you enjoy!!

-np

Forced Wedding Side StoryWhere stories live. Discover now