Awal yang Sebenarnya

113 15 57
                                    

Awalnya Revan melakukan motornya dengan sangat cepat guna mencari Salena yang pergi begitu saja. Ia sungguh khawatir atas keadaannya. Saudara kembar itu sudah membuat dirinya marah untuk yang kedua kalinya. Padahal tadinya ia ingin melupakan kejadian di sekolah tentang apa yang diucapkan oleh Daniel. Namun, melihat kelakuan Diana barisan membuat niat baiknya luntur dan akan segera membuat mereka keluar dari rumah itu. Mereka pasti belum tahu pemilik asli rumah besar itu bukanlah sang Ayah melainkan Revan yang diwarisi langsung oleh sang bunda. Maka dari itu ia tak akan pernah takut jika sekalipun ayahnya memarahi. Toh, akhirnya dia tak akan berkutik jika Revan sudah mengancam dengan rumah. Karena Revan tahu ayahnya hanya mencari sebuah keuntungan. Ia ingin rumah yang di tempati Revan sekarang, untuk itu pria yang kini menikah dengan wanita lain selalu bersikap sebagai ayah yang baik hanya untuk mendapat pengakuan dari Revan.

Enak saja. Sebelum itu Revan akan melakukan hal yang tak akan pernah mereka sangka. Terutama untuk dua saudara tiri yang sangat ia benci.

Kini Revan memelankan laju motornya saat pandanganya tak sengaja menemukan tubuh mungil Salena yang tengah berjalan sendirian sambil terisak. Sungguh membuat dadanya sesak dan ingin mengajaknya jejas hujan dari matanya itu. Apa daya? Sekalinya ia mendekat maka Salena akan semakin memebenci, dan Revan tidak mau itu.

Banyak pasang mata yang memandang heran gadis itu. Karena keadaanya yang tengah menangis sesenggukan. Tiba-tiba langkah kecilnya berhenti lantas memandang kantong kresek yang sejak tadi ia pegang. Dada Salena sesak seakan terhimpit besarnya batu karam. Mau memberi alasan apa pada ibunya jika pesanannya tidak jadi diterima. Ia yakin ibunya akan sedih dan kecewa walaupun Salena tau ibunya selalu menyembunyikannya dari balik senyum dan anggukan tulus.

Derai tangis membanjiri kelopak matanya, hidungnya sudah merah seperti tomat bahkan tersumbat. Namun, ia masih tidak peduli dengan tatapan di sekitar.

"Jangan nangis!" Sebuah tangan lebar mengulurkan tissue untuknya. Isakannya terhenti menatap diam tangan itu. Kemudian wajah Salena terangkat memandang sosok yang terhalau sinar mentari. Mata Salena menyipit tak jelas memandang sosok jangkung di depannya. Namun, beberapa detik kemudian ia mengenali dari suaranya. Lantas mendorong pelan tangan itu menolak tawarannya.

"Ambil aja!" sodor Revan kekeh. Salena pun mengalah untuk ini.

"Terima kasih!" ucapnya pelan mengambil tissue tersebut dan Revan tersenyum tipis walau tak terlihat Salena.

Mereka terdiam cukup lama hingga Revan pun memulai percakapan.

"Untuk kali ini aku mohon jangan abaikan. Aku janji nggak akan melakukan hal konyol atau yang nggak kamu suka. Tapi biarkan aku bicara padamu." Awalnya ragu namun Salena mengangguk setuju. Demi apa Salena mau? Jingkrak Revan dalam hatinya.

"Di sini panas. Gimana kalau kita mampir di kedai sana!" tunjuknya kea dah sebrang jalan. Ada kedai yang sebenarnya Salena tahu. Lihatnya gadis itu pun tersenyum pada Revan dengan anggukan setuju lagi.

Salena tidak tahu jika perbuatannya mampu meluluh lantakkan hati Revan. Senang bukan main. Andai ia tengah sendiri, Revan akan meloncat-loncat bagai anak kecil yang dikabulkan kepingannya. Namun, ia harus jaga wibawa agar Salena tidak risih lagi padanya.

"Yuk!" ajaknya menaiki motor besar Revan.

****

"Kamu sering ke sini?" tanya Revan penasaran. Sambil menyeruput coklat hangatnya Salena mengangguk.

"Buat baca buku?" Gadis itu mengangguk lagi.

"Sama siapa?" Kali ini ia terdiam. Memandang kosong pada coklat panasnya yang masih mengepul.

"Ah, maaf jika kamu tidak ingin ju-"

"Bagas!" ucapnya tiba-tiba. Revan terhenti. Lantas mengerjapkan mata bingung.

"Siapa Bagas?"

"Teman baca di sini. Dia adalah penghiburku." Hati Revan sakit mengetahui ada orang lain yang mampu membaut Salena tersenyum semanis itu. Bagaimana bisa sosok Bagas membuat gadis kaku seperti Salena luluh.

"Sekarang dia nggak datang?" Revan sungguh penasaran.

"Karena dia akan datang di sore hari," jawab Salena percaya diri.

"Dan kamu pun akan datang?" Salena mengangguk.

"Yah ... aku keduluan, deh!" Revan mengeluh dah Salena mengernyit.

"Ah, nggak, lupakan!" Keduanya pun sibuk Kemabli pada minuman sendiri.

"Sal!" panggil Revan. Perlahan gadis di depannya mengangkat wajahnya dan menatap Revan.

"Kamu nggak apa-apa kan soal Diana tadi? Aku benar-benar minta maaf atas sikap saudari tiriku yang menyakitimu."

Salena hanya diam menatap coklat hangat yang digenggamnya. Ia sejujurnya sakit atas penghinaan gadis bernama Diana itu, tetapi ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, wajahnya terngakat memandang Revan lantas tersenyum dan mengangguk.

Revan meneguk ludahnya sendiri saat mendapat senyuman manis dari salena. Sudah dua kali gadis ini bersikap beda pada dirinya, ia sungguh bahagia luar biasa.

Hari makin siang dan Salena baru menyadari jika pesanan sang ibu tidak bisa diantarkan ke pemesan, lalu harus apa dirinya? Atau memang harus jujur saja pada sang ibu bahwa pesanan kali ini ditolak.

"Sebenarnya yang suka memesan baju di tempatmu itu ibu dari Daniel. Namun, Diana yang berlebihan. Lagian wanita tua itu tidak punya butik. Ayah tidak pernah memberikannya usaha sendiri." Salena tertegun. Ia baru sadar jika Revan saudara tiri Daniel dan Diana. Gadis itu menangkap gurat wajah Revan tentang rasa kecewa dan benci, tapi entah untuk siapa. Hatinya berdenyut seolah merasakan apa yang lelaki di depannya rasakan.

"Maafkan saya!" ucap pelan Salena dan Revan tersadar.

"Kenapa kamu minta maaf? Harusnya Diana!" Salena menggeleng cepat.

"Bukan karena itu, Van. Tapi tentang sikap saya yang selalu menjaga jarak dari kamu." Dan saat itu Revan seperti orang dungu. Bengong tak dapat mencerna apa yang dikatakan gadis di depannya. Masalahnya ini terlalu spontan. Salena sudah mulai membuka jarak di antara mereka.

"A-pa ... Sal?" Revan terbata. "Ka—mu?"

"Iya, saya memang suka tutup jarak sama orang yang belum dikenal. Apalagi kamu yang nongolnya secara spontan." tutur Salena kikuk.

"Ah, gak usah minta maaf. Justru aku yang suka gangguin dan minta maaf. Tapi denger kamu ngomong gitu aku jadi senang. Hahaha ..." Revan tertawa menetralkan detak jantung dirinya, "jadi, kita boleh temenan seorang?"

Revan menunggu dengan ragu jawaban dari gadis itu. Ia tidak harus terburu-buru juga. Cukup membawanya pada posisi nyaman suatu hari pun status bisa dirubah. Yang penting Salena si gadis kaku tidak bersikap seperti itu lagi padanya.

"Oke!" Dan akhirnya Revan mengembuskan napas lega. Bahagia mendengar kata itu dari bibir tipis Salena. Tangan mereka masih bersalaman, tepatnya Revan menggenggam erat tangan Salena, padahal gadis itu sudah meronta minta dilepaskan. Mungkin efek senang menguasai akal sehat Revan sekarang.

Plak!

Revan tersentak kaget saat tangannya digeplak saleba tiba-tiba.

"Lamun dilihatin orang. Kok nggak mau lepas sih," gerutu Salena.

"Maaf."

Karena segala sesuatu tidak selamanya kaku, beku, dan keras. Ada saatnya kita luluh pada hal yang benar-benar membuat kita bersikap seperti itu. Lihatlah batu yang kerasnya tidak dapat dibelah hanya sekali pukulan kayu. Namun, mampu menjorok ke dalam hanya dengan tetesan air setiap detiknya.

Salena bersikap seperti itu bukan semata-mata tidak menyukai pertemanan dengan seseorang. Ia hanya terbiasa dengan dunianya yang selalu menyajikan keseruan dalam konsep kehampaan. Namun, sesuatu itu akan terasa bosan saat kita benar-benar menemukan suasana baru yang bisa menciptakan sugesti bahagia, nyaman, dan bebas. Seperti halnya Salena. Kedatangannya Revan yang rusuh membuat ia bosan berlama-lama dalam dunianya yang sepi hingga akhirnya ia membuka pintu dan mengajak lelaki itu bermain di kehidupannya. Walaupun ia belum tentu yakin apa yang terjadi di langkah selanjutnya.



Terima kasih readers


SALENAWhere stories live. Discover now