Prolog

120 11 5
                                        

Tanpa sadar, aku tetap melakukannya. Menunggu dia yang dulu datang bagaikan bunga yang mekar setelah hujan badai dingin. Berdiri di tempat yang sama seperti terakhir kali aku melihat punggungnya, punggung kecil yang tertutup rambut coklat terurai tertiup angin sepoi. Aku masih melihat ke arah yang sama, ke arah di mana dia berdiri sambil tersenyum tipis ditimpa hujan gerimis.

Aku merindukannya. Rinduku seperti perasan tenang di tengah padang rumput hijau tertiup angin. Rinduku membuatku berharap untuk lebih bahagia dari pada sekarang. Rinduku mengantarkanku pada doa untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun hanya sebentar, berpisah jalan dalam kerumunan kesendirian. Sekali lagi, aku menyebut Dia dalam doa.

Dia, kepadanya aku ingin berkata, jangan pernah merasa bersalah. Bukan dia yang membuatku membeku diwaktu yang berjalan cepat. Bukan dia yang menghentikan langkah kecilku yang sejak awal memang ragu untuk berpindah. Bukan dia yang menyebabkanku bertahan menangis di tengah hujan yang deras. Aku yang menginginkannya. Aku yang merindukannya. Aku yang berharap kepadanya. Aku yang memohon pada dia di masa yang akan datang untuk kembali datang menyapaku dengan senyum musim seminya, sejenak, dan kembali membuatku menggenggam tanganya.

Aku tidak akan meminta maaf. Untuk rasaku yang tak berhenti ketika ia pergi. Untuk waktuku menunggu dan bertanya apa dia juga melakukan hal yang sama. Karena aku tahu, dia pergi bukan karena ingin, tapi harus. Karena aku juga tahu, dia juga mengharapkanku.

Untuknya yang aku pangil Dia, karena aku tak begitu mampu bertahan jika menyebut Namanya. Dan juga, karena aku tak akan berhenti berbisik pada angin agar dia mendengar bahwa aku menyebut Namanya. Jangan merindukanku, karena jauh di masa yang akan datang kita pasti bertemu.

Untuknya yang aku sebut Dia. Aruna Jingga.

SerenityWhere stories live. Discover now