21. Please ...

544 41 5
                                    

Aku bangun dan melihat ke sekitar telah kosong. Teo pergi kemana?
Kuperiksa seluruh kamar mandi dan ruangan, tetap kosong. Ah, mungkin dia sudah kembali menjaga keluarganya.

Segera kulakukan rutinitasku sebelum pergi ke rumah sakit. Pukul 09.15 WIB nanti, waktunya si kembar USG. Semoga mereka tumbuh dengan baik dan sehat.

-

"Lihat mereka, terlihat aktif dan tumbuh dengan cepat," kata dokter saat aku memulai USG. Kulihat kelayar USG itu. Wah, aku tak percaya mereka ada di dalam perutku sekarang. Tanpa terasa air mataku jatuh, iringi haru dan perasaan campur aduk.

"Apa mereka benar-benar baik saja? Kemarin aku mengalami sedikit kecelakaan."

"Bisakah Nyonya menceritakan detail kecelakaannya?" tanya dokter cantik di depanku ini.

"Aku diserang fans artis saat kemarin menjadi figuran."

"Benarkah? Apa mereka buta? Atau sengaja tak menyadari keberadaan si kembar?"

"Aku justru tak dibunuh karena si kembar berada dalam perutku. Jika tidak, mungkin aku telah dicabik-cabik hingga tak mampu bernapas lagi," bisikku lirih.

"Astaga! Oh soal si kembar, mereka sehat dan rahimmu sangat kuat. Kau tak usah khawatir."

Aku tersenyum menanggapi kata dokter. Alhamdulillah, masih dijaga. Akupun berpamitan pergi.

"Hati-hati, jangan lupa minum vitaminnya teratur ya."

"Terimakasih, Dok."

-

Koridor rumah sakit terasa semakin panjang, kala aku melangkah sambil membawa si kembar dalam perutku. Kulihat di depanku, terdapat sepasang suami istri di mana sang istri tengah bergelayut manja di lengan suaminya. Mereka berjalan hati-hati karena sang istri tengah mengandung besar.

'Teo pasti melakukan hal yang sama jika dia menemaniku memeriksakan si kembar. Sayangnya, dia tak pernah menemaniku sejauh ini. Sabarlah Phyta, mungkin kesempatan yang akan datang.' Kuelus perutku dengan sayang.

"Ah." Aku terkejut karena salah satu dari Sigma atau Pi menendang perutku. Aku mencari tempat duduk terdekat untuk menenangkan bayi ini. Mungkinkah mereka lelah? 'Maafkan ibu yang sedikit menghayal, Nak.'

Seseorang berlari cepat melewatiku, dia sangat panik menuju salah satu ruangan. Bau parfumnya masih menguar meski tubuhnya tak lagi terlihat, bau milik Teo.

Aku yang penasaran segera mendekati meja resepsionis,

"Permisi, boleh tanya. Apakah ada pasien dari keluarga Mahendra?" Aku bertanya pada salah satu perawat.

"Sebentar saya cek dulu ya, Nyonya." Seorang perawat mungil segera menggenggam mouse komputer dan menatap serius ke arah layar. "Ah, benar Nyonya. Ada nyonya Viola C. Mahendra di ruangan Lotus 3. Apakah anda mau menjenguk beliau?"

"Iya, saya menantunya. Apakah Mama sedang sakit serius?"

"Oh, anda menantunya. Iya, Nyonya. Nyonya Mahendra seharusnya dijadwalkan operasi secepatnya, namun kami masih kekurangan stok golongan darah beliau."

"Kalau boleh tahu, apa golongan darah Mama? AB kah?"

"Bukan AB, Nyonya. Beliau memiliki golongan darah langka O rhesus negatif. Sampai saat ini susah sekali mencari pendonor golongan darah itu."

"Ah, terima kasih infonya. Saya akan berusaha membantu mencarikan juga. Permisi."

"Silakan Nyonya." Senyumnya mengiringiku menjauhi meja resepsionis. Aku berjalan menuju ruang Lotus 3. Kuintip sekilas, nampak seseorang yang kukenal tengah tertidur lemah. Mama.

Aku memasuki ruangan. Kali ini, tak ada yang menjaganya, hanya Teo yang tengah pergi ke ruang dokter. Kenapa dia tak memberitahuku jika Mama sakit begini? Kenapa dia malah menemaniku tidur dirumah semalam sementara Mamanya kedinginan di ruangan ini sendirian.

"Mama... Maaf Phyta baru bisa menjenguk. Semoga Mama selalu dilindungi olehNya. Cepat sembuh, Ma. Kita ketemu Sigma dan Pi bareng-bareng nanti." Aku tersenyum sambil mengelus punggung tangan kanan mama.

Lima menit telah berlalu, Mama masih tertidur sambil sesekali merintih. Tak terasa air mataku jatuh menetes ke bumi. Hatiku terasa sakit menatap Mama terbaring tak berdaya begini. Sungguh, jika harus memilih, aku merasa lebih baik diomeli olehnya daripada didiamkan dalam keadaan begini.

Mama... Meski kami selalu tak sepaham, tapi aku menyayanginya. Dia sosok mama bagiku sebelum aku bertemu mama kandungku. Bisakah aku menolongnya?

-

"Halo sayang, kamu di mana?" tanya Teo setelah kuangkat telepon darinya.

"Hai, Teo. Aku baru selesai USG tadi, terus sekarang lagi nunggu di mobil John."

"Ah, begitu. Syukurlah dokter John menjemputmu. Bagaimana Sigma dan Pi?" nada suaranya mulai berangsur rileks.

"Mereka sehat. Oia, Teo kalo kamu pulang, hangatkan lauknya sendiri ya. Maaf, aku disuruh papa pulang sebentar. Aku usahakan untuk tidak menginap."

"Menginap juga boleh kok. Aku juga akan menginap di Rumah Sakit. Maaf, baru sempat mengabarimu. Mamaku terkena penyumbatan ginjal, jadi butuh dioperasi. Tinggal menunggu stok darah, semoga cepat ada sehingga Mama tidak terlalu lama menderita. Doakan Mama ya, sayang." Aku tahu, dia sedang berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar.

"Iya, Teo. Sabar ya. Semoga cepat mendapatkan darah dan lancar prosesnya. Aku tadi sempat menjenguk Mama, Teo."

"Kau tadi di rumah sakit ini? Kenapa tidak bilang, Sayang? Ah, mama bangun. Kita lanjut nanti ya. I love You."

Dia mematikan panggilannya. Aku turun dari mobil John dan segera masuk ke bagian bank darah. Aku membawa nametag John, dan benar saja. Aku dapat akses masuk bank darah karena nametag John. John memanggil,

"Kakak di mana?"

"Aku mau ke toilet dulu. Tunggu ya."

"Oke, berhati-hatilah."

Dia tidak tahu jika aku sudah menyusup ke area Lab yang kebetulan sepi. Pergantian shift semakin mempermudahku.

"Maafkan ibu ya Sayang. Ibu harus membantu Oma. Kalian harus tetap kuat di dalam sana. Mengerti," bisikku pada perutku. Meski aku tahu ini sangat beresiko tinggi, namun aku harus membantu Mama. Teo, John dan keluargaku pasti akan marah jika mereka tahu.

Aku mulai mencari nadiku dan menyuntikan jarum transfusi,

Nyut.

Sedikit perih, tapi aku bisa menahan ini dengan baik. Paling tidak, aku bisa menambah satu kantong darah lagi agar operasi Mama segera dilaksanakan.

"Kak, lama sekali?"

"Aku sudah naik bus."

"Hai, Kak. Jangan bercanda, kau di mana sekarang? Kak Phyta!"

Kumatikan segera sambungan teleponnya. Ah, sebentar lagi. Untung saja aku membawa tempat pendinginnya juga supaya darah tidak rusak. Yup, sudah cukup. Satu kantung darah telah selamat menuju box pendingin.

Kulangkahkan kakiku yang lebih terasa berat. Aku berpegangan pada tempat duduk dan semakin merasakan bumi berotasi. Ini sangat kencang, astaghfirullah... Aku harus bertahan.

Sigma dan Pi kembali bergerak, mereka ikut merasa tak nyaman dengan situasiku ini. Ah, harusnya aku tidak melibatkan mereka. Aku merasa aku akan limbung.

"Kakak, Please!" Teriakan John menjadi suara terakhir yang kudengar.

Rey
(170318)

Rada nekat ini Phyta. Duh, kenapa dia begitu sih? Hehehe... Semakin terbawa sebal dengan sikap Phyta? Tunggu kelanjutannya ya... ^^/

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang