JALAN YANG BERLAWANAN

896 84 100
                                    

CHAPTER 13

Mata letih itu menantang sesosok raga layu yang hanya mampu bergeming dalam sepotong kristal. Pantulan bening melukis helaian gelap yang kusut disertai wajah pucat pasi tanpa ruh dalam lavendernya. Lingkaran hitam kian kelam membubuhi arang pada sepasang kelopak mata. Kedua sudut kelenjar air mata mulai mengeruh dan siap meruntuhkan senjatanya. Pipi yang biasanya segar dan memancar rona kemerahan menjelma tirus dan kering. Laksana kehidupan yang melangkah tanpa guyuran hujan dalam kemarau panjang. Hanya rintihan lara yang mampu menguras air mata dalam ketakutan akan kelaparan dan kematian. Sebaris kalimat hanyalah perumpamaan semata. Hinata justru tengah menggigil dalam rinai salju yang kian lebat. Hal itu berbanding terbalik dengan layu hatinya yang gersang. Dahaga jiwa raganya tak juga terhapus percikan oase di tengah tandus karena sumber kehidupannya hanyalah fatamorgana. Khayalan menyilaukan mata yang tak sanggup menghapus kering kerongkongannya karena sang pengobat dahaga terjebak antara ada dan tiada.

Telapak tangannya yang pucat menyapu sepotong cermin kemudian menelusuri garis wajah hingga lekuk tubuhnya. Bayangan rapuh yang tengah terjebak dalam reflektor disanalah dirinya. Raga usang dalam kemasan kristal mulia yang akan melebur bersama serpihan padatan berpola tiga dimensi. Paras anggun yang selalu disanjung dan aura kirana yang tak berhenti dipuja, hanyalah silau dunia semata. Pedih luka yang bertubi-tubi menyerang ketabahannya tak pernah sekalipun ditunjukkan pada jagad raya. Kalau boleh memilih, Hinata tak ingin para kaum adam memandang takjub padanya hingga membangun pondasi cinta yang berujung lara. Apa yang terlintas dalam retina mereka akan sosok Hinata yang terlalu bersahaja untuk seorang yang lahir dalam sebuah klan raksasa? Dirinya, Gaara, Naruto bahkan pria asing yang berusaha memilikinya dengan melegalkan segala durjana. Mereka masih saja terperosok jurang terjal dan tak mampu meniti tebing kehidupan untuk sebuah kebebasan perasaan. Dampak kebrutalan cinta sepihak tak menemui ujung bahkan hingga kedua pria telah terbaring koma. Sementara Toneri telah lenyap menyisakan dua tubuh dalam ambang batas antara hitam dan putih. Namun tak mampu diramalkan kapan sosok itu kembali lagi ke bumi dengan kerusuhan yang mengikuti.

Lelehan bening meluncur searah arus gravitasi dan mengalir di antara gelombang isak tersedu-sedu. Kelenjar air mata bagai tak sanggup mengendalikan arusnya. Sekali lagi sang wanita beriris lembut itu mengamati sosok yang terperangkap dalam cermin. Bayangan itupun meleleh menemani drama pedih perjalanan hidupnya. Air mata yang kian merosot bagai banjir bandang yang mengguyur paras hingga perpotongan leher. Kalung permata hijau yang melingkar nyaman dan menjuntai membelai dadanya, seolah pasrah bermandikan kabut pilu.

Jemari Hinata menyapu basah yang menimpa kalung pemberian sang kepala keluarga, “Maafkan aku, Gaara kun!” sesalnya karena tak mampu berbuat hal berguna saat sang tercinta bergelut antara kembali sukma atau buang jiwa.

Prolog berawal dari kutukan cinta sepihak yang tak memiliki ujung pangkal hingga menjelma sebuah tragedi. Mengapa semua kemalangan harus mengiringi langkah Hinata. Apa dosa masa lalu yang menurunkan karma setajam ini padanya? Jangankan karma, Hinata bahkan selalu menjadi pihak yang tersakiti. Prosa dimulai ketika perasaan seumur hidupnya tercampakkan kemudian berlanjut pada uluran cinta lain yang menggiurkan. Cinta datang tanpa pemberitahuan menawarkan berjuta penyembuh luka yang terlanjur menganga. Ketika kesejukan asmara baru saja direguk, sinarnya melayang entah kemana. Dahaga kasih sayang belum juga tersiram dalam kerongkongan namun berganti bara yang tertelan.

Andai saja si pria merah tak mengenal hatinya dan bibir lancangnya tak pernah utarakan rasa pada si pirang pada saat belia, kedua pemimpin negara ninja itu tidak akan terbaring koma. Kondisi antara ada dan tiada. Ketika raga masih menyisakan denyutannya namun sukma berkelana entah kemana. Jika netra jelitanya mampu menyibak tabir masa depan, dia memilih menyendiri dalam perut bumi tanpa mencintai maupun dicintai. Kemudian dalam pengasingannya menanti dua pilihan yang saling berkejaran. Siapakah yang akan berpijak terlebih dahulu di hadapannya? Rengkuhan bahu si pria gila ataukah ajal hidupnya? Mana saja tak ada beda, asalkan jangan meminta nyawa orang-orang yang mengasihinya. Hinata tak sanggup menerima keadaan dimana dirinya menjadi pusat kemalangan orang-orang tercinta.

LIKU HATI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang