Sejarah yang Tak Tersentuh

133 15 16
                                    

Suara ayam berkokok pagi ini masih terasa jelas di pendengaranku, bersamaan pula dengan teriakan nyaring dari orang-orang Jepang. Rasa kantuk membuat mataku masih setengah terlelap hingga kurapatkan pelukan ke tubuh Ayah. Ibu yang bangun duluan, beliau membangunkan Ayah yang memang sangat sulit dibangunkan. Hal yang paling tidak aku suka adalah disuruh Ibu membangunkan Ayah. Biasanya, Ibu suka menyuruhku membangunkan Ayah. Namun hari itu, aku terus memeluk Ayah dengan erat, seolah tidak setuju Ibu membangunkan Ayah. Anehnya, Ayah cepat bangun, tidak seperti biasanya.

Tak lama Ayah membangunkanku yang masih mengantuk. Aku sebal. Memangnya kenapa sih orang-orang Jepang itu? Menganggu sekali, aku tidak suka. Ibu juga membangunkan Abangku yang disahuti dengan gerutuan. Aku juga mengomel ke Ayah, aku tidak suka disuruh bangun pagi-pagi.

"Aku tidak suka melakukan seikeirei! Aku tidak mau!" omelku sambil melipatkan kedua tanganku. Ayah mengelus puncak kepalaku, dan membisikkan, "kamu tidak perlu seikeirei, tapi kamu harus masuk ke bawah kasur. Sebelum Ayah muncul, dan mengajakmu keluar, jangan pernah keluar ya?"

"Sungguh? Ayah tidak berbohong kan?" Aku menggoyang-goyangkan tangan Ayah dengan bahagia, meski masih sedikit mengantuk. Ayah mendekatkan jari telunjuk di bibirnya, yang menandakan menyuruhku untuk diam. Aku pun menutup mulut dan meniru gerakan Ayah.

"Iya, tapi kamu sendirian ya? Ayah, Ibu, dan Abang akan melakukan seikeirei dulu. Nanti jika sudah selesai, kami pasti datang. Sebelum itu jangan keluar ya, nanti kamu dimarahin orang Jepang itu. Kamu berani kan, Rit?"

Tangan kanan kutempelkan di dahi untuk memberi tanda hormat ke Ayah. "Siap, Ayah! Rita kan anak pemberani!"

Aku merangkak perlahan-lahan ke bawah ranjang sembari memeluk bantal dan membiarkan selimut masih membungkus punggungku. Rita mau tidur dulu, batinku.

****

Aku menguap lebar, sepertinya tidurku benar-benar pulas di bawah kasur, bahkan sampai tidak menyadari jika ternyata di luar begitu gaduh. Banyak suara teriakan dan tembakan. Jeritan Bi Imah terdengar jelas di pendengaranku, beliau memanggil-manggil nama Kak Sari. Aku meringkuk dan mendekatkan tubuhku ke tembok di belakangku.

Apa yang telah terjadi? Apakah ada yang tidak mau melakukan seikeirei? Kata Ayah, Jepang sangat pemarah jika kita tidak melakukan seikeirei. Apakah Ayah, Ibu, dan Abang baik-baik saja?

Bagaimana ini? Apakah aku harus keluar menyusul yang lain? Tapi kata Ayah, aku harus menunggu sampai Ayah datang. Namun aku khawatir, ingin tahu keadaan Ayah saat ini. Orang-orang Jepang itu menyeramkan, aku pernah melihat Abang Bambang dipukul dengan tembak besar karena menjatuhkan hasil panen. Kepalanya berdarah-darah dan sampai sakit panas berhari-hari.

Padahal, mereka baik sekali sewaktu dulu. Si Hindia Belanda itu diusir sampai tidak berani datang lagi. Aku bahagia sekali, bahkan aku bisa bersekolah. Abangku juga, dia terpandai di sekolahnya, dia bisa menjadi sarjana jika lulus nanti katanya. Aku sih tidak tahu apa maksudnya sarjana. Kata Ayah, bahasa Jepangku sangat hebat. Nanti kalau dewasa bisa ke luar negri.

Namun aku tidak tahu, mereka aneh, tiba-tiba saja mereka jahat. Apa mungkin mereka dipengaruhi si Hindia Belanda itu ya? Mungkin mereka sekarang berteman dengan orang-orang Hindia Belanda. Intinya, aku tidak suka sama Jepang yang sekarang, mereka lebih jahat dari si Hindia Belanda itu.

Suara pintu terbanting membuatku terkejut. Nyaris saja suara teriakan keluar dari tapi tanganku sudah menutupi mulut dengan erat. Tidak mungkin itu Ayah, apalagi Ibu. Kalau Abangku --si Bang Reno-- juga tidak mungkin, pasti Ayah akan langsung mengamuk jika ada pintu dibanting. Kata Ayah, jangan menjadi orang tidak sopan seperti si Hindia Belanda itu.

Kid's AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang