Kulihat layar handphone menunjukkan pukul 20.18 dan aku masih dalam posisi duduk di atas kursi meja belajar yang entah baru sesaat aku mulai gelisah. Beberapa hari yang lalu, aku semangat betul meneguhkan hati untuk melihat ke depan. Kata-kata Nadia amat ampuh sebelum kulihat Jaki akrab melambai kepada gadis yang dulu diboncenginya. Tetapi sekarang, semua tekadku memudar.
Mengapa hati ini selalu tidak ingin berdamai? Apakah hati sudah tidak ingin mendengarkan? Apakah ia satu-satunya bagian penting dalam diriku, sehingga ia merasa sangat dibutuhkan? Tolonglah, mengapa kau seperti itu.
Dalam pikiran, hanya itu yang banyak terlintas dan terus menekan klakson seperti mobil yang melaju kencang melewati beberapa kendaraan lain walaupun bisa menimbulkan sebuah kecelakaan.
Dalam heningnya malam, kuberanjak dari duduk, kulangkahkan kaki menuju ranjang hendak berbaring, berharap semua pikiran itu hilang tertelan bumi.
Sejak sekolah menengah pertama, aku sudah berteman dengan Jaki. Yang pada masa-masa itu, aku tahu bahwa dirinya amat baik. Hingga waktu terus berjalan, pertemanan kami berubah menjadi persahabatan. Hampir setiap hari, Jaki dan teman-temannya bermain ke rumahku bersama Nadia yang sejak sekolah dasar aku sudah bersahabat dengannya. Kami biasa bermain atau bahkan belajar bersama walau terkadang teman sekolahku yang selain Nadia ikut bergabung. Pada saat itu, Jaki berbeda sekolah denganku. Hingga aku melanjutkan ke SMA, Jaki pun demikian. Satu sekolah tetapi berbeda kelas. Satu tahun berjalan seperti biasa menurutku, entah menurut yang lain termasuk Jaki. Tetapi ketika aku sudah berada di kelas sebelas, aku merasa ada beberapa hal aneh yang muncul pada diri Jaki. Yang satu bulan lalu aku hendak membalas perasaan yang timbul oleh Jaki dengan mengajaknya ke taman samping sekolah menjelang sore. Aku beranikan diri walau langit sudah gelap. Tetapi, aku harus berani bukan karena akan turun hujan atau hal lain melainkan bagaimana hubungan antara aku dan Jaki akan terus berlanjut bahkan setelah memutuskan hubungan (pacaran).
Sampai pada detik Jaki memutuskan hal yang aku bahkan tidak sangka, Jaki pergi begitu saja. Terdiamlah aku mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seraya mengusap air mataku yang melintasi pipi, hujan membasahi tubuhku. Yang dengan begitu, aku sama sekali tidak baik-baik saja. Walau hati tak terima. Yang dengan begitu, aku menyesal. Walau beberapa menit lalu aku sudah menduga semuanya tidak akan baik-baik saja. Yang dengan turunnya hujan, lengkap sudah kesedihanku.
Malam yang semakin dingin ini, akhirnya aku bisa tertidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhku dari pundak hingga ujung kaki.
Setelah beberapa saat aku bernostalgia dan akhirnya tertidur, ternyata di dalam mimpipun terulang kembali walau sedikit berbeda. Mimpi kali ini menggambarkan aku sebagai seorang gadis yang egois. Terus memaksakan kehendak dan ingin semua keinginan tercapai. Seorang pria yang selama ini bersabar, menghembuskan nafas perlahan. Meng-iya-kan keinginanku. Selama berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun, pria itu masih ada di sampingku. Yang di hari-hari kesekian, kulihat wajahnya, kutatap matanya, lantas terpikir di benak bahwa sungguh egoisnya diriku. Namun, ketika aku terpikir betapa egoisnya diriku selama ini kepada pria yang selama mungkin berusaha yang terbaik dan selalu bersabar, akhirnya pria itu meninggalkanku. Dengan kesedihan yang mendalam, mungkin sudah cukup bagiku membayar semua kesalahan.Sungguh perihnya hati walau dalam mimpi. Sungguh lamanya mimpi dalam tidur. Sungguh kapan aku terbangun.
***
Selamat membaca.
16-04-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Lembaran Lama
RomanceBahagia itu bagaimana sikap kita terhadap suatu hal. Intinya sih kalo ingin bahagia, maka berbahagialah dengan cara yang kamu pikirkan. Jangan ingin bahagia kaya orang lain, tapi bahagia untuk dirimu sendiri dan orang yang kamu sayangi. Dan di cerit...