Chapter 15 - Perjalanan Ke Gunung Kemukus

21.3K 239 8
                                    

"Ayah, jangan berantem. Malu...!" Syifa tiba tiba muncul begitu saja membuat Satria terkejut. Musnahlah keinginannya untuk memiliki Syifa. Gadis itu sudah melihatnya berjalan sambil bergandengan tangan dengan Wulan.

Satria hanya menunduk gelisah, semua mimpinya tentang gadis yang dicintainya seperti hilang. Bagaimana mungkin Syifa mau menerima dirinya yang sedang digandeng seorang gadia yang tidak kalah cantik dengan dirinya.

Satria hanya menatap kepergian Syifa yang menarik tangan ayahnya menjauh darinya. Mimpi indah yang sempat tumbuh tadi sore seperti musnah dalam sekejap. Satria melepas kepergian Syifa yang baru saja selesai membeli makanan yang berjajar sepanjang jalan tempat dia berdiri. Motor yang dikemudikan ayah Syifa menjauh meninggalkan mimpi mimpi indah Satria.

"Itu tadi siapa, Sat? Kok orang itu manggil kamu monyet?" tanya Wulan menariknya kembali ke alam nyata.

"Itu...!" Satria ragu untuk mengatakannya.

"Ceritanya sambil jalan, saja." kata Wulan menarik tangan Satria masuk mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Seperti kerbau dicocok hidung, Satria menurut masuk ke dalam mobil berwarna hitam yang akan membawanya entah ke mana, Satria sudah tidak perduli. Jiwanya terbawa oleh keprgian Syifa, pikirannya maaih tertuju ke wanita itu.

"Dari tadi kamu ngelamun, itu pacar kamu, ya?" tanya Wulan setelah mereka memasuki gerbang tol Jagorawi, jalan tol pertama di Indomesia.

"Cuma teman, ayahnya pernah berantem sama aku." kata Satria ragu.

"Kamu naksir anaknya, y?" tanya Wulan dengan nada cemburu.

"Gak tau juga, Teh..!" entah kenapa dia berusaha menutupi perasaan hatinya di hadapan Wulan. Seperti ada ikatan batin antara dirinya dengan Wulan membuatnya sungkan untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Entah apa itu namanya, Satrua sendiri tidak tahu. Yang jelas Satria merasa dapat perlakuan manusiawi dari Wulan bukan hanya cemo'ohan yang membuat hatinya panas.

"Kita ke rumah Mbahku di Sragen Jawa Tengah. Di sana tempatnya indah, ada Waduk Kedung Ombo, dulu kalau mau ke rumah Mbah kalau bawa kendaraan pribadi kita harus memutar jauh, tapi sejak ada jembatan kita tidak perlu memutar lagi. Kamu suka mancing, gak?" tanya Wulan sambil bercerita panjang seakan ingin mengalihkan kesedihan Satria.

"Aku suka mancing...!" Satria menjawab antusias. Mancing di sungai adalah hobinya sejak kecil. Di tempat yang sunyi jauh dari orang orang yang membully, Satria bebas berhayal tentang sosok yang ayah yang tidak pernah dikenalnya. Seringkali Satria tersenyum sendiri membayangkan ayahnya datang memeluknya. Bercerita tentang pekerjaannya yang nun jauh di sana. Di sebuah tempat abtah barantah. Saking asiknya berhayal, Satria jarang mendapatkan ikan dari hasil pancingnya.

"Kamu suka mancing di mana?" tanya Wulan antusias karena pancingannya berhasil mengalihkan Satria dari gadis yang tadi.

"Di Sungai, Cisadane, Ciliwung kadang aku ke Ciapus, Cibeureum buat mancing." kata Satria antusias menceritakan pengalamannya memancing yang sering kali ditertawakan oleh ibunya, karena Satria jarang pulang membawa ikan.

"Nanti di tempat Mbah, kita mancing sambil pacaran ya, Say..!" Wulan bersender ke bahu Satria, nyaman sekali bersender pada bahu Satria.

"Mancing di kali?" tanya Satria antusias membayangkannya saja sudah membuat hatinya senang. Air yang yang mengalir aelalu membuatnya tenang.

"Di Waduk, Sayang. Kan tadi Wulan bilang dekat rumah.Mbah ada Wadu k Kedung Ombo." Wulan mencubit tangan Satria lembut.

"Dari Semarang ke Srqgen masih jauh, ya?" tanya Satria teringat dengan masa kecilnya di Kendal, kadang kadang ibunya suka mengajak ke Semarang. Sekedar main di Simpang Lima. Dan baru tadi Satria tahu ternyata Mbahnya orang Semarang, ibunya tidak pernah mempunyai keberanian menumui orang tuanya.

"Lumayan jauh, mungkin 4 jam lagi." kata Wulan ragu dengan waktu tempuh 4 jam. Dia lebih sering naik kereta atau pesawat setiap kali berkunjung ke rumah Mbahnya.

Sepanjang perjalana Wulan terus mengajak Satria ngobrol ngalor ngidul. Satria lebih banyak mendengarkan, kadang menjawab beberapa pertanyaan Wulan, selebihnya gadis itu yang mendominasi pembicaraan.

*******

Satria terbangun dengan sekujur tubuh kaku karena selama beberapa jam harus tidur dengan posisi duduk. Satria mengambil hp dari kantong celananya untuk melihat jam, ternyata sudah jam 10. Ada beberapa pesan WA yang masuk, dua pesan dari ibunya dan satu pesan dari Syifa membuat jantungnya berdegup kencang.

"Sudah sampai mana, Pak?" tanya Wulan yang ikut terbangun.

"Sudah sampai Solo, Neng." kata supir. Mereka melakukan perjalanan non stop, dengan dua orang supir yang bergantian membawa mobil.

"Kamu sudah bangun, Say?" tanya Wulan berbasa basi. Wulan mencium pipi Satria mesra.

"Iya, baru bangun nich..!" kata Satria tersenyum mendapatkan ciuman Wulan. Hatinya sedikit terusik saat Wulan menciuminya. Satria merasa sangat dihargai dan dicintai. Sesuatu yang belum pernah didapatkan dari orang orang di sekitarnya. Mereka selalu memandang rendah Satria dan ibunya. Bahkan Syifa wanita yang diam diam dicintainyapun tidak pernah memberikan perhatian sebesar yang diberikan Wulan.

Syifa cenderung cuek dengan segala keanggunannya bahkan tidak pernah menatapnya secara terang terangan. Jilbab yang selalu dikenakannya membuat jarak yang sulit untuk ditembus apa lagi setelah tahu siapa ayah gadis itu. Maka dihadapannya berdiri tembok tebal yang nustahil dilewatinya.

Satria membalas WA dari ibunya mengabarkan mereka sudah sampai Solo. Beralih ke WA dari Syifa.

Syifa="Pacar kamu cantik sekali." hanya itu yang tertulis. Satria ragu untuk membalasnya. Perlu waktu beberapa menit untuk memutuskan menghapus WA dari Syifa.

"Dari cewek yang semalam ya?" tanya Wulan menhan cemburu.

"Ibu..!" Satria menunjukkan pesan dari ibunya. Rasanya janggal saat Satria menunjukkan pesan dari ibunya kepada Wulan. Semua dilakukannya secara spontan.

"Ibu kamu cantik, ya?" kembali Wulan mencium pipi Satria. "Kamu gak pernah nyium aku? Masa harus aku terus yang nyium kamu..!" protes Wulan.

"Ech...!" Satria tergagap kaget dengan permintaan Wulan. Memang benar sudah beberapa kali mereka berhubungan sex dan Satria sudah sangat hafal dengan lekuk tubuh bugil Wulan. Bahkan sudah berulang kali pula Wulan mengatakan mereka berpacaran. Tapi Satria belum punya keberanian mencium Wulan terlebih dahulu.

Ahirnya mereka sampai di Gunung Kemukus, tempat tinggal Mbahnya Wulan. Satria merasa heran setelah mereka melintasi jembatan ada sebuah gapura besar yang bertuliskan Wisata Religi Gunung Kemukus. Untuk masuk ke gapura mereka harus membayar. Sepertinya Satria pernah mendengar nama Gunung Kemukus, bahkan beberapa kali di tayangkan di stasion televisi.

"Inikan tempat pesugihan mesum..?" tanya Satria heran. Apa di sini rumah Mbahnya Wulan. Satria berspekulasi dengan pikirannya.

"Iya, emang di sini terkenal tempat begituan." kata Wulan tenang. Mobil berhenti di sebuah rumah berdinding kayu namun tidak menghilangkan kesan mewah karena kusen pintunya berukir terbuat dari kayu jati tua yang masih terawat.

"Sudah sampau..!" kata Wulan mendahului turun dadi mobil diikuti Satria turun dari mobil. Rupanya supir sudah hafal daerah ini, terbukti mereka tidak pernah bertanya arah sepanjanng perjalanan.

"Assalam mu'alaikum...!" Wulan mengucapkan salam lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

"Wulan...!" dari dalam terdengar suara wanita menyapa Wulan. Mereka langsung berpelukan.

"Kamu makin cantik saja, Lan..!" kata wanita itu yang wajahnya agak mirip dengan Wulan.

"Adik siapa dulu, donk. Mbak juga masih cantik saja..!" kata Wulan ikut memuji.

Dari pembicaraan mereka Satria menduga wanita itu adalah kakaknya Wulan. Apalagi wajah mereka agak mirip. Yang membedakan adalah kulit mereka. Wulan berkulit putih sedangkan Mbaknya berkulit bersih walau belum masuk kategori putih.

"Mbak, kenalin Satria.!" kata Wulan menarik tangan Satria. Mau tidak mau Satria mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

"Ratih, Mbaknya Wulan. Sudah berapa lama kalian pacaran?" tanya Ratih tersenyum ramah.

"Sudah hampir setahun.." jawab Wulan mendahului Satria menjawab pertanyaan Ratih.

Dan kembali Satria merasa jengah diakui sebagai pacar oleh Wulan di hadapan orang lain, bahkan sekarang di hadapan keluarga Wulan. Satria tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat sandiwara ini terlihat nyata. Atau mungkin Wulan benar benar sudah menganggapnya sebagai pacar bukan hanya sekedar becanda.

"Kapan kalian nikah ?" tanya Ratih membuat Satria tesedak dan berusaha keras menahan batuknya.

"Mbak ini, orang baru dateng malah ditanya yang enggak enggak. Bukannya disuruh masuk, tanya gimana kabarnya dll. Keadaan Mbah gimana, Mbak?" tanya Wulan berhasil menguasai keadaan yang bisa memojokkan Satria.

"Biasa, penyakit tua. Duduk Sat, Pak masuk. Ayo Lan.!" kata Ratih menyuruh Satrua duduk dan juga ke dua supir yang hanya berdiri di depan.

Satria duduk di ruang tamu bersama ke dua supir. Sementara Wulan diajak masuk ke dalam menemui Mbahnya yang sedang sakit.

"Sudah lama kerja sama, Pak Jalu?" tanya Satria sekedar berbasa basi mencairkan kecanggungan di antara mereka. Sejak semalam selama dalam perjalanan dari Bogor mereka tidak pernah bicara. Di dalam mobil seperti ada dua kubu yang tidak saling bicara kecuali sesuatu yang dianggap penting.

"Hampir sepuluh tahun." jawab orang yang paling tua.

******

"Kalian gak ziarah ke Makam Pangeran Samudra?" tanya Mbah saat kami sedang berbincang di ruang keluarga yang luas. Wanita tua itu terlihat segar tidak menunjukkan tanda tanda sedang sakit seperti kabar yang diterima Wulan. Rupanya berita yang mengabarkan Mbah sedang sakit cuma akal akalan si Mbah yang merindukan Wulan. Karena Wulan sudqh hampir dua tahun tidak pernah menjenguknya.

"Kamu mau ziarah, gak?" Wulan malah balik bertanya ke Satria yang sedang asik memperhatikan ukuran kusen pintu kamar yang tertutup rapat. Satu satunya kamar yang kusennya berukir, sedangkan kamar lainnya terlihat biasa saja.

"Iya, mau..!" Satria menjawab. Ziarah ke Makam Pangeran Samudra yang sudah sangat terkenal sebagai ziarah mesum. Konon menurut kabar yang dibacanya dari internet setibanya di sini, sarat untuk melakukan ritual harus berhubungan sex dengan wanita yang bukan muhrimnya sebanyak 7 x pertemuan. Maka keinginannya akan terkabul. Tidak ada salahnya mencoba, mungkin kehidupannya akan menjadi lebih baik.

"Kamu kalo mau ziarah gak boleh dengan Wulan, karena kalian akan menikah. Nanti rumah tangga kalian akan mengalami banyak masalah." kata Si Mbah membuat Satria tersentak kaget.

Kata siap dia mau menikah dengan Wulan. Satria memandang Wulan yang hanya mengangguk seolah mengiyakan apa yang dikatakan Mbahnya.

"Mbah mau kalian menikah secepatnya sebelum Mbah meninggal." kata Si Mbah meneruskan perkataannya.

"Mbah ini, nikah kan perlu persiapan gak seperti beli gorengan. " kata Wulan tertawa berusaha mencairkan suasana. Suasana yang membuat Satria semakin tersudut oleh situasi yang belum sepenuhnya dimengerti.

"Kamu minta tolong Pakdhemu untuk mengurus semuanya. Umur Mbah sudah tidak lama lagi." kata Si Mbah memaksa cucu kesayangannya segera menikah.

"Iya, nanti Wulan bicarakan dengan Pakdhe. Wulan mau ziarah dulu dengan Satria ya, Mbah.!" kata Wulan berusaha menghindar dari pertanyaan yang memojokkannya.

"Tidak boleh, calon pengantin tidak boleh melakukan ritual, nanti kalian akan mengalami kesulitan dalam kehidupan rumah tangga kalian. Terutama kamu, Lan. Kalau calon suami kamu mau ritual, biar Mbakmu saja yang nemani." kata si Mbah tegas.

Satria hanya mendengarkan percakapan antara nenek dengan cucu cucunya. Satria tidak tahu harus melakukan apa dan harus bagaimana. Sejak awal dia hanya diminta menemani Wulan. Satria tidak siap dengan situasi yang diluar perhitungannya.

"Tqpi, Mbah...!" Wulan berusaha membantah tapi ucapannya dipotong Ratih yang sedang tadi hanya diam mendengarkan.

"Sudah, Lan. Apa yang Mbah katakan itu benar. Semuanya demi kebaikan kamu dan selama ini apa yang Mnah jatakan selalu terbukti. Lagi pula beberapa bulan ini Masmu sedang menghadapi masalah di kantornya dan Mbak disuruh melakukan ritual. Kalau ritualnya dilakukan dengan calon suami kamukan lebih baik, jadi kita bisa saling bantu." kata Mbak Ratih.

Setelah melewati perdebatan sengit, ahirnya Wulan mengalah menyetujui Satria melakukan ritual dengan Mbaknya Ratih. Sementara dia harus menemani Mbahnya. Satria bisa merasakan tatapan mata Wulan yang aneh. Tatapan yang tidak dimengertinya. Satria masih terlalu hijau dengan sufat wanita, apa yang mereka pikirkan.

"Yuk Sat, kita ke Sendang Ontrowulan buat mulai ritual. Mumpung masih sepi, nanti malam ramai banget kita gak bisa mandi bareng." kata Ratih.

Sekali lagi Satria menatap Wulan sebelum bangun dari duduknya. Sebuah anggukan kecil dari Wulan seperti memberinya ijin. Satria berjalan di samping Ratih yang menggandengnya. Ada rasa sungkan dan sekaligus bangga tanganya digandeng wanita cantik, apa lagi saat mereka berjalan melintas di hadapan para peziarah yang mulai berdatangan dari segala penjuru.

Sepanjang jalan Satria tidak berbicara sepatah katapun. Dia lebih asik memperhatikan sekelilingnya, seperti inikah tempat keramat yang tersohor hingga luar negeri. Banyak warung berjejeran sepanjang jalan yang menurut berita yang dibacanya di internet, warung warung itu menyediakan kamar dan juga wanita wanita untuk menjadi pasangan ritual para peziarah yang datang tanpa membawa pasangan. Sebuah ritual yang nyeleneh.

"Untung sekarang malam Jum'at Kliwon, jadi tidak seramai malam Jum'at Pon." kata Rani sesampainya mereka di Sendang Ontrowulan yang terdapat di bilik seperti kamar mandi yang menurut kepercayaan itu adalah Sendang Ontrowulan. Ternyata yang dimaksud Sendang Ontrowulan adalah sebuah sumur yang menurut masyarakat tidak pernah kering airnya.

Beruntung belum pengunjung yang .andi di Sendang, sehingga Ratih mengajak Satria mandi bareng tanpa perlu berebutan mandi. Satria kaget melihat Ratih me.buka seluruh pakaiannya hingga bugil. Inj adalah wanita ke tiga yang dilihatnya bugil, wanita pertama adalah Wulan, ke dua Rina tapi dalam keadaan gelap sehingga Satria hanya melihatnya samar dan yang ke tiga adalah Ratih.

"Kok kamu malah bengong? Kamu pasti sudah sering lihat Wulan telanjangkan? Buru buka baju, kita mandi buat ritual. Apa aku yang bukain baju kamu?" kata Ratih tertawa geli melihat Satria melotot melihat kemolekan tubuhnya. Lelaki mana yang tidak akan tergiur melihat tubuh Ratih? Payudara jumbonya sebesar payudara Wulan.

Satria menunduk malu. Satria membuka bajunya hingga bugildm dan sekarang Ratih yang terbelalak kaget melihat kontol Satria yang menggantung besar walau dalam keadaan lemas.

"Gila, ini kontol apa pentungan Hansip..!" kata Ratih takjub. Diraihnya kontol Satria tanpa rasa mal membuat Satria terlonjak kaget, kontolnya bereaksi.

"Kamu nimba air, kita langsung mandi. Nanti juga koltolmu masuk memekku." kata Ratih yang menyadari mereka berada di dalam kamar tempat Sendang Ontrowulan, sementara di luar pasti banyak orang yang menunggu giliran mandi.

Selesai mandi mereka berjalan ke arah makam Pangeran Samudra yang terletak di puncak bukit. Atau yang biasa di sebut Bangsal Sonyoyuri atau tempat tertinggi. Satria berjalan tegak menaiki tangga sambil bergandengan tangan dengan Ratih. Berpasang pasang mata memandang iri ke arah mereka. Yang pria tampan dan gagah sedangkan yang wanita cantik mempesona. Pria mana yang tidak merasa bangga berjalan sambil bergandengan tangan dengan seorang wanita cantik apa lagi payudaranya yang besar membuat takjub setiap pria dan membuat iri setiap wanita yang melihatnya.

Sesampainya di lokasi makam, Ratih memberikan dua bungkus kembang dan menyan ke kuncen. Anehnya kuncen tidak .enanyakan siapa nama Ratih, kuncen hanya menanyakan nama Satria. Tentu saja kuncen tidak akan bertanya ke Ratih, dia pasti sudah mengenal Ratih. Selesai membakar menyan dan membaca mantra, kuncen menyuruh mereka masuk ke dalam cungkup makam Pangeran Samudra yang terlihar megah.

Seumur hidupnya Satria belum pernah berziarah ke makam keramat. Sesuatu yang terasa asing dan Satria tidak tahu harus melakukan apa. Satu satunya yang dua tahu hanyalah mendo'akan Pangeran Samudra agar tenang di alam kubur seperti yang diajarkan oleh guru ngajinya selama di penjara. Berbeda dengan Ratih yang terlihat sangat khusu meminta agar jeinginannya terkabul. Saking khusunya Ratih berdoa, kepalanya sampai menyentuh batu nisan makam.

"Kamu sudah selesai, Sat?" tanya Ratih menoleh ke arahnya.

"Sudah..!" jawab Satria. Sudah sejak dari tadi dia selesai berdoa. Selebihnya Satria memperhatikan sekeliling makam yang berkelambu dan mereka berada di dalam melambu. Di atas makam bertaburan kembang yang sudah mulai layau bahkan ada sebagian yang sudah membusuk.

Ratih memberikan satu bungkusan kembang ke Satria, lalu Ratih menaburkan kembang yang menjadi bagiannya diikuti oleh Satria. Satria merasa aneh saat melihat Ratih mengambil kembang kantil yang sudah ditaburkan di atas makam lalu menyimpannya di dalam dompet.

"Kembang kantilnya kenapa diambil lagi?" tanya Satria heran.

"Buat jimat..!" jawab Ratih dan mengajak Satria pulang.. Seperti sepasang kekasih, kembali mereka bergandengan tangan pulang ke rumah si Mbah.

"Sudah selesai nyekarnya Nduk?" tanya Si Mbah menyambut kedatangan Ratih dan Satria yang bergandengan tangan.

Satria melihat Wulan membuang muka melihat kemesraan yang diperlihatkan Ratih yang terus menggenggam tangan Satria, seolah ingin berkata, selama di sini Satria adalah miliknya. Pasangan ritualnya.

"Sudah, Mbah.! Kamu gak apa apakan kupinjam pacarmu buat ritual?" Ratih menatap Wulan seakan minta ijin untuk ke sekian kalinya.

Satria hanya diam menghadapi situasi serba kaku yang tidak bisa dihindarinya. Semua norma di tempat ini dilanggar demi sebuah ritual pengagungan kepada Dewi Ontrowulan dan Pangeran Samudra yang konon akan mengabulkan apa saja permintaan mereka yang melakukan hubungan sex dengan seseorang yang bukan pasangan sahnya. Ini seperti melegalkan sex bebas atas nama ritual.

"Iya, Mbak. Ingat Sat, hanya selama ritual kamu milik Mbak Ratih, setelah itu kamu milikku. Berjanjilah...!" Wulan menyuruh Satria untuk berjanji.

Janji yang tidak pernah ingin dia ucapkan. Karena janji yang terucap tidak boleh dingkari sebesar apapun resiko yang harus dihadapinya. Itulah yang selalu diajarkan oleh ibunya yang selalu bercerita tentang para Satria yang tidak akan pernah ingkar janji walau harus kehilangan nyawanya. Itulah sebabnya dia diberi nama Satria.

*******

Mau apa kamu datang?" tanya Lastri menatap Jalu yang berdiri diambang pintu rumahnya.

"Aku mau melamar kamu..!" jawab Jalu tenang. Keputusannya untuk menikahi Lastri sudah dipikirkannya matang matang walau dia belum minta ijin dari Ningsih maupun Lilis.

"Kamu mabuk, ya?" tanya Lastri heran dengan apa yang baru saja di dengarnya. Wajahnya menunduk tidak berani menatap Jalu yang berdiri di hadapannya. Lastri tidak mau mimpi mimpi indahnya kembali muncul dan saat dia terbangun yang tersisa hanyalah rasa sakit yang tidak akan hilang hingga maut menjemputnya.

"Aku serius, Las. Kita mulai dari awal demi Satria..!" Jalu berusaha meyakinkan Lastri dengan niatnya untuk menikahinya.

"Pulanglah, sudah mau hujan." kata Lastri berusaha untuk menyadarkan dirinya bahwa apa yang didengarnya hanyalah sebuah mimpi. Satria sudah dewasa, sudah terlambat untuk mendapatkan figur seorang ayah. Entah keberanian dari mana, Lastri mendorong dada Jalu agar keluar pagar rumahnya. Lastri menutup pagar seolah ingin menunjukan ke Jalu, kehadirannya sudah tidak dibutuhkan lagi.

Tiba tiba hujan turun dengan deras disertai suara petir dan angin kencang. Lastri buru buru masuk rumah dan menutup pintu. Lastri berusaha mengabaikan Jalu yang berdiri di luar pagar. Apa yang dialami Jalu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaannya selama puluhan tahun. Melahirkan dan membesarkan Satria tanpa seorang suami.

"Lastri, aku akan tetap berdiri di sini sampai kamu memberikan jawaban, maukah kamu menikah denganku?" suara Jalu terdengar keras mengalahkan suara hujan.

Lastri melihat dari jendela. Jalu masuh tetap berdiri di tempatnya seolah hujan tidak dirasakannya. Lastri segera membuka pintu.

"Pulanglah, nanti kamu sakit." Lastri berusaha .enguzir Jalu dari hadapannya. Berusaha mengusir harapan yang tiba tiba kembali tumbuh.

"Tidak, aku tidak akan pergi sebelum kamu menjawab, ya...!" Jalu bersikeras meminta jawaban. Satu jawaban yang ingin didengarnya. Satu jawaban, ya.

Lastri jengkel dengan kekerasan hati Jalu. Dia kembali masuk dan membanting pintu sebagai jawaban. Air matanya yang sudah belasan tahun kering tiba tiba mengalir kembalu membasahi pipinya. Lastri terduduk di pintu sambil menangis. Menangisi nasibnya dan juga menangisi nasib Satria yang tumbuh besar tanpa seorang ayah.  

Karma Masa LaluWhere stories live. Discover now