Bunga yang Layu

24.8K 1.5K 23
                                    

Sebab wanita bagaikan bunga. Yang mekar hanya sekali, setelah itu ia layu dan mati.

🌸🌸🌸

"Alladzina aamanu– wa tathmainna– qulubuhum–bidzikrillah. 'Ala bidzikrillahi– tathmainnal qulub."

(Yaitu) orang-orang yang beriman serta hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Rad: 28)

Aku mengulang-ulang lagi ayat itu. Mencoba mencari ketenangan. Mencoba mencari kelapangan dari sesak yang aku rasakan saat ini. Al-Qur'an yang tadi diberikan oleh Mas Izhar, sudah basah karena air mataku.

Aku belum siap dengan kejadian hari ini. Aku belum siap bertemu dengannya. Setelah bertahun-tahun akhirnya pertahananku hancur. Bagaikan istana pasir yang susah payah ku bangun, harus tersapu ombak besar. Tak bersisa.

Ya Allah... Kuatkanlah aku.. 

Kalian boleh menyebut aku cengeng, memang itu kenyataannya. Aku tidaklah sekuat kelihatannya. Sebab wanita bagaikan bunga. Yang mekar hanya sekali, setelah itu ia  layu dan mati.

Pernahkah kalian melihat bunga yang mekar dua kali? Tidakkan. Oleh karenanya mekarlah pada saat yang tepat, dan dipetik oleh orang yang tepat.

Aku menutup Al-Qur'an kemudian meletakkannya di atas nakas. Setelah itu tanganku turun menarik sebuah laci yang di dalamnya tersimpan benda bening berbentuk tabung. Aku mengeluarkan benda itu dari laci dan mengeluarkan isinya yang berupa tablet kecil berwarna putih.

Aku memasukkan benda itu ke dalam mulut, dan langsung menenggak air putih.

Aku ingin semuanya menghilang. Semua pertemuan, semua kehilangan, semua kesakitan. Semua beban. Aku ingin itu semua hilang, minimal hanya untuk malam ini.

Padahal aku sudah berjanji pada Ummi untuk tidak mengonsumsinya lagi. Maafkan aku Ummi. Aku sudah melanggar janji.

Paginya aku terbangun dengan kepala  seberat besi 2 ton. Terasa berat dan cenat-cenut. Mungkin ini efek karena aku terlalu banyak menangis, juga obat tidur itu. Aku menatap langit-langit untuk mengumpulkan semua kesadaranku. Kemudian setelah merasa lebih baik, aku melihat jam dinding. Suasana rumah begitu sepi, mungkin belum memasuki waktu subuh.

"Astagfirullahal 'adzim!"

Aku terlonjak kaget saat melihat jarum pendek ke angka 8. Biasanya aku bangun sebelum subuh, tepatnya pukul 4 pagi. Setelah itu aku akan tahajud, salat Subuh setelah itu menyiapkan sarapan. Tapi hari ini aku kesiangan bahkan aku meninggalkan salat Subuh.

Aku segera bangkit dan menuju kamar mandi. Air yang menyiram tubuhku membuatku terasa segar. Pikiranku sudah tidak sekalut semalam. Setelah mandi, aku mengambil asal baju dalam lemari. Tanganku tertuju pada gamis berwarna merah marun–lagi-lagi merah marun– dan jilbab hitam. Serta handsock berwarna senada dengan gamis.

Sebenarnya aku tidak fanatik dengan merah marun. Hanya saja setiap benda yang ingin ku beli, jika tersedia warna itu maka aku akan memilihnya. Jadilah segala benda yang ku pakai lebih berwarna senada, mulai dari gamis, handsock, maupun masker.

Aku keluar kamar dan tidak mendapati Ummi. Aku baru ingat kalau hari ini ada acara kerja bakti di lingkungan sekitar sini.

"Besok jangan lupa ya, Ni ada kerja bakti."

Begitu kata Ummi kemarin. Karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tak begitu mendengarkannya.

Akhirnya aku menghampiri Ummi. Biasanya para ibu-ibu berkumpul di rumah Pak RT untuk menyiapkan makanan, serta kerjaan yang tidak begitu berat. Di jalan aku berpapasan dengan Mas Izhar yang sedang membersihkan selokan. Ia memakai kaos berwarna hitam dengan celana di bawah lutut. Aku mengangguk, kemudian memberikan ssnyum sapaan.

Imam Kedua (Tersedia di Dreame)Where stories live. Discover now