Chapter 9 : Aku Tak Bisa Hidup Tanpamu

1.7K 144 4
                                    

"Aku tak pernah berpikir aku bisa hidup tanpamu. Kau terlalu berharga untukku."

-

Namjoon bangun tanpa Seokjin di sampingnya dan yang dapat ia ingat hanyalah apa yang terjadi kemarin malam. Seokjin benar-benar marah padanya, karena suaminya itu berprasangka bahwa Namjoon memiliki hubungan asmara lain yang sama sekali tak benar. Ia seketika terduduk, mengusapkan telapak tangannya ke seluruh wajahnya dengan frustrasi. Namjoon takut jika Seokjin masih marah padanya, jadi ia segera beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Terlalu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini dan Namjoon tak begitu mengerti mengapa kehidupannya rasa-rasanya sedang membalas dendam kepadanya. Bahkan ia terlalu takut jika Seokjin akan menendangnya keluar dari hidupnya. Namjoon tidak akan pernah ingin itu terjadi. Memikirkannya saja, ia hanya bisa menghela napas tertekan dan berpikir bagaimana membuat Seokjin yakin bahwa ia tak akan pernah selingkuh darinya.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Namjoon segera mempersiapkan dirinya sendiri, memakai kemeja putih seperti biasa dan celana bahan panjang berwarna hitam. Biasanya, Seokjin telah mempersiapkan semuanya untuknya, namun sepertinya Seokjin masih marah padanya.

Bagaimana bisa ia menghadapi Seokjin setelah ini? Sampai Namjoon terlihat siap, memeriksa dirinya, melihat ke kaca sembari menyisir dan merapikan rambutnya ke belakang. Ia mendengus pelan kepada bayangannya sendiri di kaca dan berbicara kepada dirinya sendiri untuk selalu semangat. Walaupun otaknya tak berhenti memikirkan Seokjin.

Ia sangat merindukan Seokjin. Namjoon bahkan tak mendapatkan pelukan ataupun ciuman semalam. Namjoon hanya bisa prihatin kepada dirinya sendiri bahwa ia mungin tak akan mendapatkan perhatian apapun untuk beberapa hari.

Namjoon meraih jasnya dan beranjak keluar dari kamar. Ia merasa gugup untuk bertemu Seokjin, karena ia tak bisa melihat wajah suaminya yang sedang marah. Menatap mata Seokjin akan menjadi sangat mengerikan seakan-akan ingin memotongnya menjadi beberapa bagian.

Dengan berhati-hati, Namjoon beranjak ke ruang tengah dan bersiap-siap untuk bertemu Seokjin. Ia mengambil napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya sebelum bertemu dengan suaminya yang cantik. Andai saja Seokjin tersenyum dengan manis padanya, mungkin hari ini akan menjadi lebih membahagiakan untuk kembali bekerja. Namjoon sudah sangat tertekan dengan pekerjaannya, ditambah ia harus menghadapi masalahnya dengan Seokjin.

***

Ia menemukan Seokjin di dapur, sedang berada di depan kompor, sepertinya baru saja selesai memasak air. Untungnya, Namjoon ingat bahwa ia harus mengambil tas kerjanya di dalam ruang kerjanya. Ketika ia baru saja akan beranjak, sebuah suara memanggilnya, sangat manis seperti yang biasanya Namjoon dengar. Kedua mata Namjoon pun melebar, kedua alisnya terangkat, terkejut bahwa Seokjin baru saja memanggilnya dengan suaranya yang seperti biasa.

"Namjoonie! Kau mau kemana? Aku sudah mengambil tas kerjamu," Seokjin mendapatkan senyuman canggung dari Namjoon sementara ia tersenyum kepada suaminya dengan manis, "Kau hanya perlu duduk dan santai saja."

Namjoon tak dapat berbicara apapun selain beranjak berjalan menuju sofa yang berada di tengah-tengah ruangan. Namun, ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia merasa lega, setelah kembali melihat senyuman Seokjin. Rasanya seperti kembali lagi ke surga setelah jatuh dari neraka. Namjoon berpikir ia masih bermimpi, karena ia tak percaya Seokjin terlihat baik-baik saja.

Seokjin mulai beranjak dari ruang tengah dengan dua cangkir teh hangat di tangannya. Namjoon tak mengerti mengapa Seokjin tiba-tiba menjadi sangat ramah dan manis seakan-akan tak ada yang terjadi. Namjoon pun tak bisa mengatakan apapun, karena ia tak tahu darimana harus memulai. Setelah memberikan Namjoon secangkir teh, Seokjin duduk di samping suaminya dan cukup membuat Namjoon gugup.

"Sayang?" Namjoon pada akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan. Ia melihat ke arah cangkirnya seakan-akan itu adalah hal yang paling menarik di alam semesta.

"Ya?" Cara Seokjin berbicara saja telah membuat hati Namjoon terenyuh.

"Aku- aku minta maaf..."

Sebuah senyuman terbentuk di bibir Seokjin, "Tak usah khawatir. Aku lah yang seharusnya meminta maaf. Maafkan aku."

Namjoon seketika menoleh ke arah Seokjin, menaruh cangkirnya di atas meja di depannya sebelum ia bergerak mendekat kepada Seokjin. Ia dengan segera meraih kedua tangan Seokjin dan menggenggamnya erat.

"Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku merindukanmu. Sejak aku belum menyentuhmu, aku sangat frustasi. Aku begitu takut kehilanganmu. Aku bekerja keras untukmu, untuk kita. Aku tidak pernah ingin membuatmu kecewa.

"Joonie, aku benar-benar minta maaf, ya? Aku sudah salah."

"Tidak, sayang. Tidak apa-apa. Aku sangat mencintaimu. Asal kau tahu saja. Aku tidak akan pernah selingkuh darimu. Kita sudah menikah dan itu karena aku benar-benar sangat mencintaimu dan aku ingin hidup bersamamu selamanya. Ingatlah, kita sudah bekerja sangat keras untuk mempertahankan hubungan ini." Kedua mata Namjoon hampir berair, namun sangat senang karena akhirnya ia dan Seokjin dapat kembali seperti biasanya.

"Aku tahu. Aku sedang banyak kesulitan. Pekerjaanku pun mulai tak terkendali hari demi hari. Belum lagi kau selalu pulang terlambat. Maafkan aku."

"Tak apa, kita pasti bisa menghadapinya. Kita akan baik-baik saja, sayang. Aku janji."

Akhirnya, mereka dapat saling memberikan senyuman, merasa lega bahwa permasalahannya telah terpecahkan. Tanpa ragu-ragu Namjoon menarik Seokjin ke dalam pelukan yang erat dan mendekap suaminya di dalam pelukannya seakan-akan tak ingin melepaskannya. Begitu luar biasa rasanya mendapatkan Seokjin kembali dalam dekapannya, merasakan kehangatan yang sempat menghilang.

Melepaskan pelukan, keduanya pun tersenyum untuk yang kedua kalinya. Semakin intens tatapan mereka, Namjoon sama sekali tak membuang waktu untuk menarik Seokjin ke dalam sebuah ciuman yang ia rindukan. Namjoon tak peduli akan apapun pagi ini dan tak ingin peduli jika ia harus datang terlambat ke kantor. Ia ingin mencium sepasang bibir merah itu lagi, merasakan kehangatan dari tubuh Seokjin atau menyentuh setiap inci dari kulit Seokjin.

Seiring ciuman itu berlangsung, Seokjin adalah satu-satunya yang menyadari bahwa Namjoon harus pergi bekerja atau Yoongi akan sangat marah akan itu. Seokjin berusaha mendorong Namjoon, namun sepertinya yang lebih muda telah mengetahui mengapa Seokjin harus melakukannya. Dengan sengaja, Namjoon mempertahankan ciuman itu terus berlangsung, namun ketika Seokjin mulai mendorongnya lebih keras, akhirnya Namjoon pun mengalah.

"Sayang, hentikan. Kau akan terlambat bekerja nanti." Namjoon mengerucutkan bibirnya akan apa yang Seokjin katakan bahwa ia harus berhenti mencium Seokjin.

"Tapi, aku masih merindukanmu. Aku menginginkanmu. Aku bahkan sudah tak tahan." Suara Namjoon merendah pada kalimatnya yang terakhir, namun Seokjin hanya memutar kedua bola matanya.

"Tolong kendalikan hormonmu, Tuan! Kau harus bekerja atau aku tak akan pernah memaafkanmu."

Namjoon mendengus tak setuju, "Baiklah, baiklah. Aku akan pergi sekarang, sayang. Do'akan aku untuk hari ini kalau begitu."

Tak ingin mengecewakan Namjoon, Seokjin mengecup bibir yang lebih muda dengan cepat dan mengatakan padanya untuk pulang lebih awal untuk hari ini. Tentu saja, Namjoon menyetujuinya dan sepertinya ia begitu bersemangat dibuatnya. Memiliki Seokjin adalah hal terbaik yang pernah Namjoon rasakan dan itu tak akan pernah berubah.

*_*_*_*_*


Aduh, beruntung sekali Namjoon. Coba kalo Seokjin masih marah. Mengerikan banget itu. Hahaha.

Kayaknya ini memang cerita terbaper yang pernah ditulis. Padahal sendirinya gak suka sesuatu yg angsty 😂😂

(M / NC - 18+) VOWSWhere stories live. Discover now