23_Ketakutan Narendra

2.3K 412 57
                                    

"Mbak Aya."

"Hem?"

"Emang gak apa-apa aku jalan sama Mas Ardan?"

Kanaya, Drupadi dan Ayana berdiri menatap rombongan Narendra yang tengah bersiap pamit pada pemilik kafe. Hanya sebatas jam sembilan lewat tiga puluh malam mereka selesai melaksanakan tugas. Tadi Mas Dirga –sang owner, sempat memberikan salam perpisahan pada Ardan. Sepertinya formasi punakawan itu sebentar lagi akan bubar, mengingat ketika Rio dan Faraz luluspun kemungkinannya kecil menetap di Surabaya. Apalagi si vokalis utama –Ardanu Januarisman, yang sebentar lagi merantau ke Papua. Apa tidak ada tempat yang lebih jauh lagi ya? Supaya Drupadi tidak berharap dia datang, sekalian saja ke antariksa sehingga gadis itu tidak perlu susah-susah berharap Ardan kembali.

Love is complicated bagi Drupadi yang belum pernah mengalami yang namanya pacaran. Ini adalah satu hal yang belum Ardan ketahui. Gebetan sih banyak, tapi pupus sebelum berkembang karena berbagai alasan, termasuk salah satunya sikap protektif Narendra.

"Mas Naren serius mau lepas aku jalan sama Mas Ardan? Ini kan udah malem banget. Papah paling juga gak bolehin."

Kanaya rasanya gemas sekali melihat wajah resah Drupadi. Dia bisa menebak, pasti adiknya satu itu terlalu sukar mengendalikan perasaannya. Maklum saja, Drupadi hanya casing-nya saja yang dewasa, sikapnya masih dalam masa perkembangan menjadi dewasa. Wajar kalau bingung bagaimana menghadapi yang namanya real gebetan. Tahu kan maksudnya? Real itu karena yang dihadapi bukan cowok yang suka main perasaan dan menjalin hubungan. Maka dari itu Drupadi seperti ketakutan sendiri ketika menghadapi Ardan. Maksud hati ingin dijadikan kekasih tapi apa daya hanya sanggup menjadi punguk yang merindukan bulan.

"Narendra yang tanggung jawab, lagian Ardan cuma mau ngomong sama kamu. Di McD yang banyak orang lihat. Gak mungkin macem-macem."

"Kalau macem-macem gimana?"

"Ya tinggal minta Om Surya halalin kalianlah."

Alis Ayana bertaut, "Mbak Aya, maksudnya Dek Dru dinikahin sama Mas Ardan gitu?" Nah satu lagi mahluk polos ciptaan Tuhan. Ayana yang memasang wajah terkejut seperti Drupadi.

"Ish! Kalian ini makan apa sih kok gak pinter-pinter."

Tanpa diduga, Ayana malah tertawa mendengar omelan Kanaya. Ya ampun, dia baru sadar kalau mereka semua bersekongkol memberi ruang untuk Drupadi dan Ardan saling berbicara dari hati ke hati. Siapa tahu ada kabar baik.

Sedangkan gadis yang paling muda hanya sanggup tersenyum malu-malu. Apa iya nanti akan ada sesuatu yang luar biasa terjadi? Masak mau ada adegan tembak-menembak cinta? Sepertinya tidak mungkin. Drupadi yakin seratus persen tidak akan ada, lagipula dia belum menyebut nama Ardan dalam ibadahnya. Mana mungkin Allah mengabulkan kalau dia sendiri belum berusaha. Parahnya lagi, mau usaha sudah mundur duluan. Semua karena desas desus Ardan memegang prinsip ta'aruf. Berat, berat!

"Dek." Narendra berjalan mendekati Drupadi, mukanya terlihat serius.

"Iya, mas?"

"Jangan mau diajakin di tempat sepi. Kalau Ardan macem-macem telpon mas, kalau perlu telpon polisi. Paham?"

Drupadi mengerjap, ini kakaknya kenapa setega itu mengatakan kalimat dahsyat ketika Ardan berada di sampingnya? Tiba-tiba pula, tidak ada angin, tidak ada hujan. Hebatnya lagi yang disinggung hanya tersenyum tanpa protes sedikitpun.

"Yakin deh gak bakalan kenapa-kenapa." Kanaya melirik Drupadi, "udah jadi mas tu mbok yang pangerten. Pulang yuk!" Kanaya menarik kaos adik sepupunya itu.

Narendra mengamati wajah bingung Drupadi, "wajah polosmu gini loh yang bikin laki-laki mau berbuat jahat."

"Narendra, udah deh! Keburu tambah malem, adekmu gak pulang-pulang ntar."

Asmarandana [Macapat Series]Where stories live. Discover now