[33]

2.5K 460 33
                                    

Semoga suka 💜

Jemari lentiknya diketuk-ketukkan di atas meja, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menompang wajah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jemari lentiknya diketuk-ketukkan di atas meja, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menompang wajah. Kedua netranya dirotasikan malas, untuk kesekian kalinya pun ia menghela napas. Sesekali melirik jam besar yang diletakkan di ruang pertemuan, yang bunyi pergerakannya akan menggema di penjuru ruang.

"Ada kabar dari mereka?" Tanya sang gadis sambil mengerucutkan bibir pada pelayan yang berdiri di sampingnya. Gelengan kepala menjadi jawaban, kepala gadis itu merosot dijatuhkan ke permukaan meja. "Lama." Ia mengeluh, lalu segera beralih mengeluarkan ponselnya.

Ada beberapa notifikasi masuk di sana. Terjebak macet, alasan klasik yang sangat lumrah. Tapi hei, ia rasa Tokyo sangat jarang terkena macet. Ponselnya kembali bergetar, ada pesan tambahan dari sang kapten Nekoma. Sedang ada perbaikan jalan, rupanya. Tumben.

"Nona, mereka sudah datang," ucap kepala pelayan. Gadis itu berseri, lalu segera berlari antusias menuju pintu utama, menyambut rekan-rekannya.

"Ah, kalian sudah sampai," katanya dengan mengulas sebuah senyum kecil.

"Tiga puluh menit lagi, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian," kata [name], memandang lurus dengan tatapan yang sulit diartikan. "Karena kalian temanku, kurasa aku harus berbagi masalahku pada kalian, 'kan?" Lanjutnya terkekeh.

•••

Itu mungkin hanya sebuah memori kecil yang terselip di otaknya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu menghirup cokelat panasnya pelan, menyesapi rasanya sambil menatap sungai Thames dari atas Tower bridge. Cahaya matahari sore terbias, menjadikan air sungai itu berkilauan. Angin sore berembus nakal menerbangkan surainya yang tergerai bebas.

Ia menghela napas, lalu segera kembali berjalan menelusuri senja di kota London. Seorang diri tanpa ada yang menemani. Trotoar dipenuhi para pejalan kaki, jadi ia tak merasa sepi. Sudah lebih dari tiga tahun ia pergi meninggalkan Jepang, meski banyak yang terjadi pada saat itu, ia tak mungkin lupa.

Perasaan akan kehilangan orang tuanya masih membekas dengan jelas, membuatnya tersenyum sendu saat mengingatnya. Ah, ngomong-ngomong ... bagaimana kabar mereka, ya? [name] tidak tahu. Ia sengaja memutus komunikasi dengan setelah menjejakkan kaki di negeri jam Big Ben ini.

Jahat, memang. Tapi ia pikir, inilah cara agar ia dapat tenang berada di sini, menahan rindu seorang diri yang membuncah di dalam dada. Sesekali ia mendapat kabar dari kakaknya yang sibuk mengurus bisnis peninggalan orang tua mereka.

Ya, Seijuro memang terlampau jenius. Setelah lulus dari bangku menengah atas, ia melanjutkan studinya di negara yang sama dengan [name], lulus dengan waktu yang singkat sebagai lulusan terbaik, ia segera melanjutkan perusahaan.

Hm, Seijuro memang jenius.

[name] masih enggan untuk sekedar berlibur ke negri sakura itu, apalagi untuk pulang. Kaki jenjangnya terus berjalan menelusuri trotoar, lalu berhenti pada halte bus, mendudukkan bokongnya di sana menunggu bus datang. Cokelat panas itu perlahan mendingin saat bibirnya mengecap cairan itu. Senja semakin kelabu, pertanda tugas sang mentari akan segera berakhir untuk digantikan sang rembulan.

HIDE AND SEEKWhere stories live. Discover now