GWIN - chieszstory

324 15 3
                                    

○Judul: GWIN○
Genre: Fantasy
oleh chieszstory

[●●●]

Seorang bocah perempuan berdiri kaku tak bergerak. Api terbayang di bola matanya. Dinding-dinding roboh di dekatnya. Orang-orang berlarian kesana kemari tak tentu arah. Kabut dan debu memenuhi udara, menyesakkan pernapasan. Awalnya ia tidak mendengar apa-apa, seakan telinganya tersumbat. Namun, ia mulai menangkap suara-suara, suara yang menyakitkan.

Bocah itu bergerak, menekan telinganya sekuat yang ia bisa. Teriakan kesakitan, amarah yang menggebu, umpatan, jeritan minta tolong, denting besi beradu, suara berdebam … semua saling berebut mendesak masuk ke telinganya. Suara-suara di sekelilingnya kini dengan mudahnya membangkitkan kembali kenangan yang menghimpit hati.

Ingatan tentang keluarganya kembali hadir. Bocah perempuan tersebut kehilangan seluruh keluarganya pada kejadian persis seperti pemandangan yang tergambar di hadapannya sekarang. Sebuah perang berkobar lagi, padahal baru setahun ia selamat dari peperangan terakhir.

“Lari Gwin! Lari!” Terbayang dalam benak si bocah perempuan akan wajah ibunya ketika mengatakan hal tersebut, wajah ibu yang terpatri dalam ingatan untuk terakhir kalinya justru ketika sedang memancarkan ekspresi mengerikan. Tanpa sadar kakinya melangkah cepat.

“Lari! Jangan menoleh ke belakang!” Suara ibunya semakin jelas bergaung di kepala. Getir ketakutan yang tersirat jelas pada suara ibunya membuat kakinya berlari lebih cepat lagi. Tapi di setiap sudut, pemandangan kehancuran masih ditemuinya.

Bruak! – Bocah perempuan terjatuh. Sebuah tangan terulur mencengkram kakinya.

Dengan nafas terengah-engah akibat berlari kencang, ia menoleh ke arah pemilik tangan yang membuatnya terjatuh: seonggok tubuh yang tertimpa reruntuhan bangunan. Suara rintihan membuat bocah perempuan menyingkirkan kayu-kayu yang menyelimuti tubuh tersebut, tindakan yang segera disesalinya.

Sosok wanita tua bertubuh gemuk melotot ke arahnya. “Kau … si bocah sialan! Bantu aku!”

Bocah perempuan terdiam. Ia menatap hampa pada wanita tua bertubuh gemuk, amat sangat mengenali sosok tersebut. Sosok yang selalu menambah penderitaannya setahun belakangan setelah ia berpisah dari keluarganya, sang pemilik panti asuhan.

“Apa kau tuli, hah! Uhuk! Bantu aku berdiri!” seru wanita tua pemilik panti asuhan ketika mendapati bocah tersebut hanya mematung di dekatnya. Ia kebingungan karena bocah yang selama ini takut dan bahkan gemetar setiap memandangnya, kini hanya memasang wajah datar padanya. Ia kembali berteriak, “seharusnya kubuat kau benar-benar tuli saat kau masih ….”

“ – Kau sekarat,” potong si bocah. “Bagaimana aku bisa membantumu berdiri? Kau bahkan sudah tidak punya kaki.”

Wajah pemilik panti asuhan menjadi pucat. Dengan susah payah ia bersandar pada kedua lengannya, menatap ke bawah. Dua tungkai panjang yang selama ini menopang tubuhnya hancur tak berbentuk. Darah menetes deras dari sobekan-sobekan yang menganga. Bahkan dapat dilihatnya dengan jelas warna putih dari tulangnya yang mencuat. Keheningan yang mencekam hadir sebelum lengkingan keras keluar dari mulutnya, meningkahi suara-suara lain yang sama menyebalkan bagi si bocah perempuan. Pemilik panti asuhan menjerit sekencang-kencangnya, “kakiku! Kakiku!”

Meski tidak lagi dicengkram wanita pemilik panti asuhan, tapi si bocah perempuan masih duduk setia di situ. Suatu perasaan aneh menjalar di hatinya. Ia mulai menerka-nerka apa itu.

“Lega? Bukan.” Bocah itu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. “Se…nang? Aku … senang?” batinnya kebingungan.

Ia kembali melihat si pemilik panti asuhan yang teriakannya sudah mulai berubah menjadi erangan yang semakin pelan dan semakin pelan. Lama ia berdiam melihat sebuah nyawa yang meregang. Kembali dirinya yakin perasaan yang sama muncul. “Jadi ini rasanya melihat orang yang dibenci berada di ambang kematian? Semenyenangkan ini?”

Writing Project #1: Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang