Tu Me Manques - Quinheillim

105 8 5
                                    

○Judul: Tu Me Manques○
○Genre: Historical Fiction, Romance○
oleh Quinheillim

[Note: 4000 kata. Dimaklumi karena sudah terlanjur.]

[●●●]

10 Juli 1833.
London, Inggris.

Udara malam itu cukup lembap untuk detik-detik musim panas, tetapi tidak cukup lembap seperti yang seharusnya. Pada siang hari, awan mendung menunjukkan dominasinya, menelan Matahari dari peredaran dan membungkam daratan di bawahnya untuk berubah kelabu pucat tanpa warna. Memang, awan gelap itu sudah melayang di atas Kota London untuk berjam-jam lamanya, tetapi setelah Matahari berpaling ke belahan Bumi lain, barulah hujan mulai turun, meski hanya gerimis.

Selama seharian Janette van der Hoallé berada di sana, lonceng-lonceng Kota London tidak berhenti berdentang bahkan saat malam. Suara lonceng itu terdengar sangat keras, menjalar ke segala penjuru kota sembari membunuh suara tetesan yang dibuat air hujan. Memang benar, dari luar ruangan, dari luar rumah tua yang dia tempati sekarang, Janette masih bisa mendengar suara orang-orang yang sibuk melakukan pekerjaan harian mereka. Janette masih bisa mendengar suara sepatu kuda yang membentur jalan batu, beberapa kali mendengar langkah kaki orang yang berjalan dan berlalu, dan sempat mendengar beberapa celoteh anak kecil yang menggerutu, berkata, “Apakah lonceng akan segera berhenti? Kepalaku sakit.” Namun, selain suara-suara itu, Janette hanya bisa mendengar suara lonceng yang memekakkan telinga.

Sekarang, dia berada di dalam sebuah kamar gelap gulita. Wanita itu duduk telanjang di atas tempat tidur, hanya menutup diri dengan selimut berbahan kasar yang terasa gatal di kulitnya. Tempat tidur di mana dia duduki sekarang memiliki kanopi berselendang kain putih tipis bak kabut. Terdapat sebuah meja dan kursi kayu di sisi ruangan, rak buku di sisi lain, dan perapian padam berada tepat di depan tempat tidur. Memang terdapat sebuah lentera di sana dan lampu di sisi-sisi ruangan, tetapi Janette menolak siapa pun yang hendak menyalakan satu sumber cahaya pun. “Aku ingin tetap gelap,” dia bilang. “Bagaimana pun, aku bukanlah seorang tamu,” melainkan seorang tawanan. Jadi, dia lebih memilih menyatu dengan kegelapan tanpa peduli apa kata orang. Dia tidak akan terganggu dengan semua cibiran yang ada. Satu-satunya hal yang membuat dia terganggu adalah suara lonceng yang belum juga kunjung berhenti. “Aku ingin mendengar suara gerimis,” gumamnya.

Dari pelayan yang sempat membawakannya makanan, Janette baru tahu bahwa seorang pahlawan dari parlemen Inggris baru saja meninggal. Untuk menghargai jasanya, anak-anak kecil pergi keluar untuk menjual pita duka, semua orang memakai pakaian hitam, dan lonceng-lonceng kota sengaja dibunyikan sepanjang hari. “George Agar-Ellis atau kami lebih mengenalnya sebagai Lord Dover, Baron of Dover. Dia adalah seorang politisi berhati malaikat,” kata pelayan wanita itu dengan wajah suram. “Beliau adalah yang baik hati. Sungguh sebuah belasungkawa yang kita rasakan. Semoga dia diberkati Tuhan,” timpalnya.

Namun, bukannya menunjukkan belasungkawa layaknya si pelayan, Janette justru mendengus tanda mengejek. Untuk beberapa waktu, dia berpikir bahwa semua itu adalah hal yang konyol, tetapi untuk sekarang, Janette dibuat menangis. Ya, dia menangis di dalam kegelapan ruangan tanpa seorang pun yang menemani. 

“Kau dinobatkan di Istana Buckingham, orang-orang mengenalmu. Kau adalah seorang bangsawan terpandang,” gumam Janette di dalam tangisnya. “Namun, kenapa mereka tidak melantunkan lonceng ketika kau meninggal?” tidak dapat menahan perasaan, Janette menangis sebisanya. “Kenapa, Fenris?” 

Writing Project #1: Short StoryWhere stories live. Discover now