Aku sungguh merasakan kerinduan kepadamu.
Sudah tiga puluh menit aku berdiri dalam diam di depan kamarmu.
Sesekali kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan dengan resah.
Semilir udara pagi yang segar menjadi saksi penantianku saat ini,
tetapi kamu,
seperti biasa, memang sangat lamban dan menyebalkan.
Tiga puluh menit tak ada artinya dibandingkan dengan tiga puluh hari
bahkan dua belas bulan.
Tetapi menunggu tetap saja menunggu
dan gelisah tetap saja gelisah.
Aku bosan
Aku bangkit menggedor pintu kamarmu
Aku berjalan mondar-mandir tak jelas di ruang tengah.
Kamu sedang apa sih, Rissa?
Tak ada jawaban.
Sementara jam masuk sekolah tinggal sepuluh menit lagi.
YOU ARE READING
PAVILIUN
General FictionRissa adalah seorang anak perempuan yang harus menelan pil pahit kehidupan remaja. Ia hidup sendirian dalam sebuah paviliun. Masa remajanya berubah drastis karena kedua orangtuanya menjalani urusannya masing-masing. Ayahnya, Dedi, hampir tak pernah...