9. Pertemuan Keluarga

21.3K 1.6K 77
                                    

Mau tanya nama Varlend itu sulit diingat atau enggak ya.  Dulu banyak yang ngetiknya Verland. Wk wk. Hampir tiap part loh dulu pasti ada.

Rein menatap sendu rumah mewah milik Tuan Gerald

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Rein menatap sendu rumah mewah milik Tuan Gerald. Ujung bajunya ia remas-remas sedari tadi karena tak tahu apa yang akan terjadi, jika Ben mengetahui jati diri yang sebenarnya. Akhirnya, pria berwajah oriental itu berdiri di depan keluarga Rein menyambut hangat kedua orang tua perempuan itu.

Pandangan Rein dan Ben saling beradu. Berbagai pertanyaan hinggap di otak mereka. Rein mencoba untuk membicarakan masalahnya kepada Ben.

"Maaf, Om. Boleh saya bicara berdua dengan Ben sebentar," pinta Rein halus.

"Boleh, silakan."

Ben yang mengerti langsung menggandeng Rein ke halaman rumahnya.

"Jadi, kau Rein temanku sekolah dulu?" tanya Ben yang masih tak yakin dengan kenyataan.

Rein hanya mengangguk.

"Rein, setiap dekat di sisimu jantungku tak berdetak dengan normal, sangat kencang seperti lari marathon? Pantas bisa seperti itu karena kau adalah belahan jiwaku yang hilang. Setelah lama tak bertemu, aku tak melupakanmu. Waktu di rumah sakit hatiku berkata kau adalah Rein-ku. Namun, logikaku menepisnya," ungkap Ben sambil menahan air mata bahagia bercampur sedih. Di sisi lain, dia senang bisa bertemu dengan Rein lagi, tapi di satu sisi dia sedih karena kondisi Rein sekarang.

"Kau tak usah berakting untuk mengerjaiku Ben dengan mengatakan kau mencintaiku. Aku sudah sering kau kerjai. Tak usah mengerjaiku dengan membawa nama cinta," balas Rein seraya menatap Ben serius. Meski ia masih kikuk bertemu dengan Ben, tetapi ia berusaha memberanikan diri untuk menghadapi lelaki itu.

"Maaf, Rein. Aku tak bermaksud menyiksamu. Aku benar menyukaimu sejak kita sekolah, tapi aku tak tahu bagaimana cara mendekatimu. Makanya, aku sering mengerjaimu dan untuk kejadian di mana kau pingsan itu aku sangat minta maaf karena bercandaku keterlaluan." Ben menatap Rein lekat.

Rein mencari kebohongan di mata Ben. Namun, tak ia dapati di sana.

"Ya. Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat, tolong rahasiakan tentang semua kejadian buruk yang telah terjadi padaku, yang kau ketahui itu dari orang tuaku."

"Baik, tapi kau mau menikah denganku kan dan meninggalkan Vano?"

"In your dream," ujar Rein menepuk bahu Ben.

"Itu memang mimpiku, tapi aku akan mewujudkannya. Aku pasti akan menikahimu, Rein."

Rein tak memmedulikan ucapan Ben. Dirinya langsung pergi meninggalkan lelaki itu.

***

Varlend memilih untuk berkutat di dapur memasak makanan kesukaannya. Ia lelah terus memikirkan kenyataan yang tak kunjung berhenti menyiksa otaknya. Lebih baik ia diam saja tak usah memikirkan semua hal yang terjadi karena pada akhirnya dirinya yang akan menjadi tokoh antagonis dalam kehidupan orang sekitarnya. Padahal ia tak pernah berbuat kejahatan sebelumnya, meski hanya sekadar mengumpat. Ibu yang telah melahirkannya selalu mengajarkan kebaikan, tetapi tatkala kenyataan buruk yang menimpa keluarganya berubah menjadi pribadi yang keras kepala dan seenaknya sendiri karena dia tidak mau jadi korban ketidakadilan lagi. Namun, keegoisannya membuat orang lain terluka. Jika ditanya jujur, ia tak mau melukai orang lain. Tetapi, keadaan yang memaksanya. Siapa yang kuat ia yang bertahan dan yang lemah akan tersingkirkan, itulah yang mengisi otaknya saat ini.

Rein tampak tak berselera menyantap hidangan di depannya, meski itu adalah makanan kesukaannya. Tongseng jamur yang dicampur dengan kol tanpa sambal di depannya itu hanya ia aduk-aduk saja. Melihat makanan itu membuatnya muntah.

"Maaf, Om. Saya ingin permisi ke belakang," pamit Rein dari meja makan.

"Kamu lurus aja lalu belok ke kanan. Kamar mandinya di dekat dapur."

Rein pun berjalan dengan cepat, tetapi belum sempat ia pergi ke kamar mandi--makanan yang berada di perutnya--sudah minta untuk dikeluarkan. Ia langsung memuntahkan makanannya ke wastafle. Ia tak menyadari kalau Varlend sedang mengambil minum di kulkas.

Varlend yang melihat Rein muntah langsung mendekatinya dan memijat tengkuk Rein pelan. Perempuan itu tidak tahu, kalau yang berada di belakangnya itu Varlend, meski ia sudah hafal dengan aroma lelaki itu tapi karena rasa mualnya itu, dirinya tak bisa memikirkan apa pun.
Beberapa menit kemudian, Rein sudah memulai membaik. Varlend pun menuang air dari teko dan tremos untuk diberikan kepada Rein.

"Ini untukmu," ujar Varlend seraya menyodorkan gelasnya. Rein pun menengok ke belakang dan langsung meminumnya sekali tegukkan.

"Sudah lebih baik?"

Rein mengangguk dan baru menyadari bahwa pria di depannya itu adalah bosnya.

"Loh, Presdir?" Tunjuk Rein pada Varlend.

Varlend hanya tersenyum simpul. Ia mengerti wanita itu keheranan dengan keberadaan dirinya.

"Tuan Gerald Revaldo adalah ayahku. Jadi, wajar aku ada di sini," jelas Varlend.

Rein baru mengerti sekarang. Ia baru menyadari bahwa Varlend dan Ben adalah saudara seayah, berarti Varlend adalah kakak kelas alumni yang waktu itu menolongnya ketika terjatuh gara-gara dikejar guru BK. Pantas saja saat bertemu dengan Varlend di kantor ia merasa tak asing dengan suara Varlend.

"Berarti Prsedir itu saudara seayah dari Ben."

Varlend mengangguk dengan malas, ketika harus mengakui Ben sedarah dengannya.

"Dunia itu sempit sekali, ya. Ngomong-ngomong Presdir masih ingat tidak, ketika masih menjadi mahasiswa semester empat, Presdir pernah mempromosikan beasiswa universitas jurusan bisnis di SMA Pelita."

Tentu saja Varlend mengingat itu, karena ia masih ingat betul ada seorang gadis yang menumpahkan es jeruk ke almamaternya.

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Waktu itu saya tidak sengaja menabrak Anda."

"Ohh ... jadi kamu yang menumpahkan es jeruk itu dan mengidolakan sahabatku sambil teriak-teriak 'Kakak Tampan aku akan menyusulmu ke Denmark'."

"Hehe ... waktu itu teman saya yang mengidolakannya. Saya hanya menggoda teman saya saja. Namun, jujur kakaknya manis, apalagi senyumnya itu." Rein tersenyum mengingat masa mudanya.

"Dia baik, cerdas, tampan, dan dari keluarga terpandang. Memang patut diidolakan. Sayangnya dia menikah dengan tante-tante," balas Varlend santai.

Rein memutar bola matanya, tak percaya dengan ucapan Varled barusan.

"Kok bisa?"

Varlend mengendikkan bahunya, "Nasib mungkin," katanya dengan santai seraya memandang lurus ke depan, "terkadang apa yang kita inginkan, tak menjadi kenyataan."

Rein mengangguk, "Manusia tak bisa memilih mencintai siapa karena hati tak bisa dipaksakan, tapi mereka bisa memilih siapa pendamping hidupnya. Namun, nyatanya banyak orang memilih menikah dengan orang yang tak dicintai karena keadaan," balas Rein dengan nada lirih.

Varlend tersenyum masam.

"Itu hanya akan terjadi untuk orang bodoh. Kalau aku mencintai seseorang, maka dia harus menjadi milikku. Apa pun dan bagaimanapun caranya."

"Meski orang itu mencintai orang lain atau kekasih orang lain?" tanya Rein ragu.

"Entahlah." Varlend sendiri ragu mau menjawab apa, nyatanya perempuan yang ia cintai meninggalkannya. Sampai saat ini dia belum berhasil menemukan dan membawa kekasihnya ke pelukannya kembali.

Mereka tak sadar sedari tadi ada yang memperhatikan mereka. Siapa lagi kalau bukan Ben. Ia iri melihat kakaknya terlihat akrab dengan perempuan yang ia cintai.

***

Tbc...

Bagaimana kalian sudah menentukan jadi pendukung siapa.
1.Varlend?

2.Vano?

3.Ben?

Yang baca RH keep silent ya.

Am I Pregnant? Where stories live. Discover now