🎶 Lacrimosa 🎶

885 96 31
                                    


Fict ini dipersembahkan untuk Gilgamesh dan Enkidu, serta untuk kalian yang juga mencintai kisah mereka berdua
.
.

💫 Silahkan memutar OST FGO
"Tell Me" 💫
.


.

"Jangan menangis, Gil..."

Enkidu, meletakkan tangannya pada pipi kiri Gilgamesh yang sedang memeluknya erat.

Ditumpahkannya semua rasa sedih, sayang, dan marah melalui usapannya pada pipi Gilgamesh yang telah basah oleh airmata.

"Wajahmu tampak lucu..." kekeh Enkidu.

Gilgamesh tidak menghiraukan candaan yang dilontarkan oleh sosok cantik bersurai hijau panjang tersebut, ia justru semakin erat memeluk tubuh yang sudah sangat ringkih itu.

Tubuh yang bahkan sudah tidak dapat duduk apabila tidak ditopang dan hanya dapat berbaring lemah di atas pembaringannya.

Dalam hatinya, Gilgamesh masih mengutuk Ishtar si pelacur para dewa itu beserta dewa-dewi lainnya karena telah memberikan hukuman berat kepada Enkidu.

"Kenapa harus kau yang menanggung semua penderitaan ini? Kenapa tidak aku saja, sahabatku.."

Setitik airmata terlihat di kedua pelupuk mata Enkidu. Ia terharu sekaligus merasakan betapa perih hatinya saat ini.

Beruntung, posisi Gilgamesh sedang memeluknya, sehingga Gilgamesh tidak dapat melihat airmata milik Enkidu.

"Gil, ini bukan penderitaan. Ini mungkin sebuah....keberuntungan...?"

Gilgamesh sedikit tersentak, ia melepaskan pelukannya pada tubuh Enkidu secara perlahan, takut semakin melukai tubuh sosok yang begitu berharga baginya.

"Bagaimana bisa kau berkata bahwa itu adalah sebuah keberuntungan?!"

Enkidu kembali mengusap pelan pipi Gilgamesh.

"Karena dengan begitu, aku jadi mengetahui bahwa seorang raja Uruk, Gilgamesh, begitu menyayangiku sampai seperti ini, hingga ia dapat mengeluarkan airmatanya...hanya untukku..."

Mendengar kata-kata dan senyuman Enkidu yang begitu tulus, disertai lelehan airmata Enkidu, membuat Gilgamesh kehilangan kata-kata.

Yang dapat dilakukan Gilgamesh saat ini hanyalah menyentuh dan menggenggam pelan tangan Enkidu yang masih berada di pipinya.

Airmata sang raja Uruk kembali meleleh.

Menutup mata sesaat, Enkidu kembali membuka matanya dan menatap iris merah seindah ruby itu.

"Aku tidak pernah menyesali pertemuan kita, Gil... Aku juga tidak pernah menyesal akan kutukan yang telah menimpaku, seperti yang kubilang tadi... aku menganggap mungkin ini sebuah keberuntungan..? Tetapi, ada satu hal yang sangat kusesali dan kutakutkan..."

Enkidu tersenyum. Bibirnya mengulum sebuah senyum sendu, sebelum kembali terbuka dan melontarkan sebuah pertanyaan kepada Gilgamesh.

"Gil... Apa kau tahu...apa yang paling kutakutkan...dibanding...kematian?"

Tidak menatap Gilgamesh lagi, Enkidu justru menatap langit-langit kamar.

"Meninggalkanmu, Gil..."

Iris berwarna green chartreuse itu memandang jauh seakan menembus dimensi yang terlihat, mengabaikan darah yang keluar lagi dari sudut bibirnya.

"Siapa yang akan mengerti kamu setelah aku mati? Siapa lagi yang akan menemanimu? Temanku...ketika aku berpikir bahwa kau akan hidup sendirian mulai dari sekarang, aku tidak dapat membantu tapi meneteskan airmata..."

Lagi,

Airmata kembali meleleh dari kedua pelupuk mata milik Enkidu. Bukan kematian yang ia takuti. Bukan. Ia tidak masalah jika semua dewa mengutuk atau bahkan membinasakannya. Hanya saja ia takut untuk meninggalkan sang sahabat sendirian untuk selamanya.

"Kau akan selamat, Enkidu! Para tabib akan menyembuhkanmu!"

Enkidu menggelengkan kepala, membuat surai hijaunya berdesir lembut.

"Kau tahu lebih dari siapapun bahwa obat tidak akan bisa menyembuhkanku, Gil... Lagipula, waktuku sudah tidak lama lagi..."

Enkidu terbatuk, darah kental berwarna merah kehitaman kembali bercipratan, mengotori tunik putih yang ia kenakan.

Gilgamesh menggigit bibir bawahnya dengan kuat, tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih ketika melihat satu-satunya makhluk yang ia anggap sahabat--bahkan saudara--nya itu sekarat. Tangannya bergerak membersihkan darah yang juga mengotori wajah Enkidu.

Ah... Wajah cantik dengan pancaran sinar keceriaan yang tiada tanding itu kini tampak seperti mayat hidup.

Enkidu, dengan nafas yang mulai tersengal, tersenyum sangat lembut kepada Gilgamesh. Kedua tangannya yang kurus pucat menggenggam salah satu tangan Gilgamesh.

"Terima kasih telah menerimaku, Gil. Terima kasih telah memberikanku kesempatan untuk berpetualang bersama-sama denganmu. Maaf aku harus meninggalkanmu untuk sendirian lagi..."

Gilgamesh menangis. Ia tak bisa menahan airmata yang terus menerus mengalir.

Ia mencium lembut kening Enkidu. "Kau akan sembuh, Enkidu. Jadi bertahanlah."

"Gil, tubuhku lelah sekali.. Aku ingin tidur..."

Kelopak mata itu mulai menutup. Tangannya pun kini terkulai lemas dan tubuhnya perlahan mulai hancur. Kembali ke bentuk asalnya, tanah liat.

Enkidu meninggal.

Ia lenyap. Hancur menjadi tanah liat, tepat di depan matanya. Gilgamesh menggigit kuat bibir bawahnya hingga mengeluarkan darah.

Kini tiada seringai penuh kepuasan ataupun kerlingan nakal Enkidu ketika berhasil mengerjainya dulu.

Sahabatnya kini telah pergi.

Tiada lagi suara lembut yang mampu menenangkan pikirannya kala pekerjaan yang menggunung membuatnya jenuh bukan kepalang. Tiada lagi tangan yang selalu mengusap kepalanya sayang hingga ia tertidur. Tiada lagi tempat untuknya mengeluarkan segala keluh kesah... Tiada lagi seorang Enkidu....

Untuk selamanya.

Gilgamesh menangis. Ia meraung penuh keputusasaan.

Tidur macam apakah ini yang telah mendatangimu?
Kau telah jatuh dalam kegelapan hingga tidak bisa mendengarku!

"INIKAH YANG KALIAN MAU? KALIAN PARA DEWA SAMA KEJAMNYA DENGAN MANUSIA! TIDAK. BAHKAN KALIAN LEBIH KEJAM DIBANDING MANUSIA!

Kalian....telah membunuh Enkidu..."

Tangisan sang raja Uruk menggelegar, memecah keheningan alam.

Meratapi kepergian satu-satunya orang yang memahaminya.

Enkidu,

Padahal ia baru saja memahami dan memiliki perasaan serta hati manusia di dalam dirinya.

Bahkan dapat dikatakan bahwa Enkidu lebih manusiawi dan lebih memiliki perasaan dibanding manusia itu sendiri.

Namun,

Dengan kejamnya para dewa menghancurkan semua itu. Mereka mengutuknya. Mengembalikan wujudnya menjadi seonggok tanah liat.

End

Lacrimosa || Epic of GilgameshTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang