Layla Si Gadis Malang

113 0 0
                                    


Kami duduk lesehan saja, saling bertatapan, saling lempar pandangan lalu menyembunyikan senyum. Senyumnya masih senyum polos yang kulihat waktu kutinggal menuju perantauan. Matanya masih mata itu, yang jika kau melihat jauh ke dalamnya maka kau akan tenggelam dalam lautan ilmu dan kebaikan. Ia masih Layla, Layla yang kukenal.

"Kamu masih ingat Aku kan?" tanyaku memulai percakapan.

"Hahahaha" jawabnya.

"Ini Aku Salman, kamu ingat kan?" tanyaku lagi untuk memastikan bahwa teman masa kecilku ini masih mengingatku.

"Hahahahahaha" jawabnya, kali ini lebih panjang.

"Layla?"

"Hahahahahahahahahahahahahahahahhaha"

"Layla?"

"Hahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahhahahaahahahahahhaah" terus jawabnya, kali ini ia sampai kehabisan napas karena tertawa.

Ayahnya yang daritadi memerhatikan kami dari sudut ruangan mendekat, lalu mendekap Layla dengan hangat. Ia tahu apa yang sedang terjadi.

"Laylaaa, itu teman kamu nak, Salman. Teman kamu dari TK sampai SMP." kata ayahnya dengan pelan seolah sedang berbicara kepada anak kecil berusia tiga tahun.

"Ayah, Layla mau salat duha dulu ya." kata Layla tiba-tiba beranjak melepas peluk ayahnya. Bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu.

"Dia itu memang rajin salat duha, saya yang ajarkan dia sejak kecil." ucap ayahnya kepadaku seolah-olah sedang membanggakan putri semata wayangnya. Namun kalimat barusan jelas hanya penghibur diri agar beliau tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. Bagaimana tidak sedih? Sekarang pukul sembilan malam.

Layla namanya. Anak seorang petani, sawah ayahnya memang tidak begitu luas, tapi hasil panennya cukuplah untuk makan keluarga mereka sendiri dan beberapa keluarga lain di dusunnya. Ibunya ikut membantu mencari nafkah sebisanya. Dengan keterampilan turun temurun yang beliau dapat, beliau menenun kain untuk dijual ke pasar setiap hari senin.

Layla sangat ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Ingin sekali ia mengubah keadaan ekonomi keluarganya yang serba terbatas. Sejauh ini hal itu terlihat sangat mungkin. Rekam jejak prestasi Layla dari SD hingga SMA sangat meyakinkan kedua orang tuanya bahwa anak ini akan membawa kemajuan bagi keluarga mereka, bahkan bagi desa mereka.

Masih minimnya pengetahuan masyarakat desa tentang kesehatan membuat Layla begitu gemas ingin menjadi dokter. Ia tahu, cita-citanya itu tidak akan terwujud dengan mudah, karena itulah sedari awal masuk SMA ia sudah mempersiapkan diri untuk tes masuk perguruan tinggi negeri.

Hari demi hari berlalu, semakin mendekat tes masuk perguruan tinggi, semakin besar pula usaha Layla. Siang malamnya hanya belajar dan belajar. Bangun pukul 3 subuh, salat malam, lalu belajar hingga larut malam lagi. Tidurnya beberapa jam saja.

Kalian tentu sudah bisa menebak apa yang terjadi berikutnya. Seminggu yang lalu pengumuman tes masuk perguruan tinggi negeri sudah keluar, nama Nur Layla memang ada di pengumuman itu, sungguh banyak peserta tes yang bernama Nur Layla. Hanya saja, tidak ada nomor tesnya di pengumuman itu. Layla tidak lulus.

Demikianlah waktu terus bergulir seiring berkurangnya kewarasan Layla. Lihatlah ia kini, rambutnya kusut, bajunya sobek-sobek, lubang pada bagian ketiak bajunya sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat. Giginya kuning seperti emas, wajahnya kusam kusut tak ubahnya bajunya. Kalau bukan senyum dan matanya, pastilah aku takkan mengenal temanku ini.

Namaku Salman, saat ini aku sedang di pesawat terbang menuju Jakarta. Perjalanan udara dua jam ini hanya dipenuhi ingatan tentang Layla. Lebih tepatnya, ingatan waktu aku berkunjung ke rumahnya kemarin lusa. Yang membuatku terus memikirkan gadis malang itu adalah panggilan masuk dari ayahnya tepat sebelum keberangkatan pesawat, bahwa Layla, harus dilarikan ke rumah sakit karena menelan insektisida.

Ah! Bodohnya aku! Aku terlalu lama dalam mengambil keputusan! Seharusnya tadi aku turun saja dari pesawat, membatalkan keberangkatan ini. Bagaimana jika seandainya kunjunganku ke rumah Layla dulu adalah pertemuan terakhirku?

Aku berharap ia baik-baik saja. Layla-ku, "saingan"-ku selama SD-SMP, sekaligus partner belajarku untuk sembilan tahun itu. Begitu banyak piala yang kami raih bersama untuk disimpan di lemari sekolah. Jika proses belajarku adalah sebuah reaksi kimia, maka senyum dan tawa Layla adalah katalisnya.

Setelah terpisah selama tiga tahun, aku sadar, aku merindukannya, aku mencintainya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 07, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Curhatan Anak PKN-STANWhere stories live. Discover now