[ refraksi #11 ]

16.1K 3K 150
                                    

"Bagus. Bagus." Gue ikut-ikutan mengernyit ketika mata gue jatuh di dahi Paul, orang yang lagi ngomong sama gue. "Tapi, ada sesuatu yang kurang, Makaio. Kamu kehilangan sesuatu yang kita sebut 'feeling'. Sepakat?"

Fuck!

Gue hampir saja mengumpat. Ini foto ketiga puluh yang gue setorkan ke Paul untuk publikasi edisi mendatang. Terus, komentar yang gue terima tetap saja berupa penolakan. Beda-beda bunyinya, namun intinya... foto yang gue kasih nggak punya 'nyawa'.

Gue melenguh.

Rasanya belum habis kram di kaki gue karena kelamaan berendam di rawa-rawa. Bau lumpur pekat seakan masih bisa gue hidu setiap gue bernapas. Baju yang gue kenakan bahkan harus gue kresekin dan lempar ke pembuangan sampah.

Dan, Man?

Foto gue dibilang nggak 'bercerita'. Foto gue nggak punya feeling.

Gue benar-benar menahan diri untuk nggak meremas dan merobeknya. Sialan!

"Oke, Paul. Aku balik." Nggak perlu susah-susah gue menyusun kata. Gue pamit dari ruangan dia. Napas gue masih menderu.

Gue nggak paham maunya Paul seperti apa. Dia minta singa liar, gue cari. Dia minta buaya, gue jabanin. Terakhir, dia minta kudanil yang bikin gue kudu menempuh perjalanan darat enam jam hingga ke pelosok, dua jam berikutnya gue harus berjalan kaki ditemani warga lokal, lalu enam jam lagi gue habiskan berendam di lumpur sialan itu untuk mengambil selembar gambar. Dan penilaiannya dia? Gambar gue hanyalah sampah.

Fuck!

"Makaio." Gue mendengak karena panggilan itu.

"Hai, Eve," gue menyapanya. Evelyn. Gadis yang gue kenal karena dia kerja di sini, dan gue sering bolak-balik menyerahkan foto ke bosnya. Hari ini, dia mengenakan tank top warna hijau tentara—bikin gue mengingat lagi samaran yang gue pakai untuk menjepret kudanil itu sedekat mungkin, sial banget, for God sake—dan celana gedombrangan yang sobek di mana-mana.

"Kusut sekali mukamu. Kenapa? Ditolak lagi?" Eve menyerahkan secangkir kopi ke gue. Gue terima dengan senang hati dan gue menyandarkan diri di tembok samping kubikelnya.

"Iya. Fotonya belum sesuai harapan Paul," curhat gue.

Eve mengulurkan tangan, gue ulurkan amplop cokelat yang gue pegang. Meluncur beberapa foto yang dia tangkap dengan tangkas. Gue tunggu Eve membalik setiap lembarnya.

"Menurut kamu, kurang bernyawa?" tembak gue.

Eve menggeleng. Dia menghela napas. Sekali lagi lembaran foto itu bergulir. Dicermatinya empat buah foto yang menurut gue sudah paling bagus yang bisa gue serahkan. "Aku tak bisa bilang ini tidak benyawa, Makaio. Tapi..." Gue mendengus. "...ini tidak seperti foto-foto yang biasanya kamu serahkan."

Sama.

Berarti foto yang gue ambil memang sampah.

"Oke," jawab gue pendek.

Tanpa suara, gue letakkan cangkir kopi yang sudah kosong ke mejanya. Gue ambil keempat lembar foto itu dan bersiap pergi. Nggak tahu, ke mana aja.

"Makaio," panggilnya. Gue berhenti. "Kamu...," Eve menatap gue. "Ada sesuatu yang mengganggu kamu?"

[refraksi]

Gue mengerjap berulang. Sinar matahari menembus jendela kamar gue. Silau. Membuat gue terbangun. Gue lirik jam berbentuk kodok hijau bertelinga gong. Pukul tiga siang. Artinya sudah enam belas jam lebih gue tertidur.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedWhere stories live. Discover now