Chapter 24: Bingung

4.4K 220 12
                                    

"Abi," gumam Meesha serupa bisikan.

Tak ingin membuang waktu, dia segera men-swipe ponselnya ke warna hijau. Mendekatkan gawai itu ke telinga. Seketika, jantungnya mulai berubah tak karuan ritmenya. Entahlah, hidupnya semrawut sejak pertemuan dengan Arzan. Namun, dia pun tak dapat berbuat apa pun selain menjalaninya. Sudah garis hidupnya.

"Assalamualaikum, Abi."

"Wa'alaikumsalam, Meesha, Abi mengganggu?"

"Tidak, Abi. Meesha sedang di luar kantor."

"Ini jam sembilan pagi, kenapa kamu di luar kantor? Bukankah ini jam kerjamu? Apa kamu sudah tak bekerja di sana lagi?" tanya abi beruntun.

"Eh, itu Abi, Meesha," gagap Meesha.

"Kamu kenapa?"

"Habis bicara dengan Mas Arzan."

Meesha mendengar embusan napas abi, walau pelan, entah kenapa, telinga Meesha kini makin tajam sejak beberapa insiden dialaminya.

"Ada apa, Abi?"

"Setelah jam kerjamu habis, kamu pulanglah ke pesantren. Abi ingin membahas ini lebih serius. Najwa sudah Abi beritahu."

Ada apa ini? Jantung Meesha mulai berpacu semakin cepat. Denyut nadinya begitu terasa menyentak. Desiran aliran darahnya cepat.

"Meesha, kamu masih di sana? Kamu mendengarkan Abi?"

Meesha mengangguk, bibirnya kelu hanya untuk berucap. Sadar abi tak akan mampu melihat anggukannya, Meesha segera menjawab dengan suara serak.

"Iya, Abi."

"Ya sudah, Abi tutup dulu teleponnya. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Meesha meletakkan ponsel pasrah. Tangannya lemah hanya untuk melakukan hal kecil. Seketika, dia dirundung kegelisahan. Berzikir menjadi opsi tepat untuknya menenangkan diri. Setelah beberapa menit, Meesha akhirnya mulai tenang. Walaupun rasa jeri itu begitu kentara di raut mukanya, dia berusaha untuk tenang dan memasrahkannya kepada Allah, dia yakin, Allah punya rencana baik akan hidupnya.

***

Meesha terdiam dalam taksi perjalanan pulang ke pesantren. Ada begitu banyak hal yang harus dia pikirkan. Niat baik Arzan, langkah apa yang harus dia ambil, lalu orang tuanya. Meesha tak mampu berpikir dengan jernih akhir-akhir ini. Salat Istikharah masih sentiasa dia laksanakan, bukan hanya itu, salat-salat sunnah lainnya seperti Dhuha pun dia kerjakan di sela-sela aktivitasnya. Puasa rutin dia jalankan. Tak ketinggalan sesuai nazarnya, dia pun menyisihkan sebagian uang gajinya untuk dia belikan makanan.

Namun, batinnya seakan tak puas dengan hal ini. Haus entah akan apa. Meesha masih terus berusaha mendekatkan diri pada Allah untuk mencari jawabannya. Jika diibaratkan, sebanyak apa pun kita makan, tapi rasa lapar itu tidak hilang jua. Masih setia mengiring hingga kita kelelahan untuk menyuap makanan. Hingga kita berhenti dan Meesha belum menemukan penghentian itu.

Ya Allah, berilah hambamu yang papa ini sebuah kecerahan pikiran. Hamba merasa haus akan sesuatu hal, tapi hamba sendiri tidak tahu apa jawabannya. Berikan hamba petunjuk-Mu ya Allah. Amin.

Doa Meesha selalu di setiap kesempatan. Saat taksi yang ditumpanginya berhenti di lampu lalu lintas yang menyala merah. Mata Meesha terpaku menatap sesosok tubuh yang begitu dia kenal.

"Arzan," gumam Meesha. Matanya menyorot penuh kekaguman melihat tawa lebarnya. Di sana, Arzan tengah bermain gitar bersama pengamen jalanan. Masyuk bercanda bersama. Tak ketinggalan sebuah plastik besar terdapat di bawah samping tiang lampu. Dia yakin, itu belanjaan Arzan.

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang