Jilid 4

3.6K 42 0
                                    

Jangankan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan licin, akan tetapi senjata ini jangan dipandang ringan. Bahannya saja terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, di antara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.

Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat.

Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya. Setelah itu dan hingga saat ini, Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang menghadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sinkang.

Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar. Ada pun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totokan-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.

Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat. Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain.

Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biar pun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah!

"Wuuuttt... tar-tar-tar!!" sekali serang cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar.

Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh dan mengubah kedudukan kaki untuk menghindar dari serangan pada lehernya. Sedangkan pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakkan kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Jika totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.

"Aaiihhh!" Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sinkang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.

"Brettt!" robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran.

Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat. Maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke arah pusar!

Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat ke belakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Namun di saat bersamaan Kwee Seng mengerahkan tenaga, dengan sekali renggut ia membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.

"Hebat! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!" seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan berkelahi! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya!

Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya. Cambuknya digerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan sehingga membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis. Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng.

Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa kedudukannya berbahaya karena dia berada dalam lingkaran, dan dibutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.

Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat jelas. Ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di belakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang.

Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya? Apakah ia memandang rendah lawannya? Bukan, sama sekali bukan! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biar pun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan.

Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya akan cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya. Dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.

Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat dari pada yang bergerak. Gentong air yang penuh tak berbunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal.

Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya dari pada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat. Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan.

Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai dari pada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya.

Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali 'memasuki' lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.

"Ayaaaa....!" Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.

Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lweekang-nya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya.... keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas tanah!

Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri. "Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!"

Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya. "Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!" jawabnya.

Kembali Si Raksasa gundul tertawa. "Aku pernah mendengar sayup-sayup sampai tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kaukah orangnya?"

"Tidak salah, para Lo-cianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku."

"Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!" Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.

Kwee Seng juga bangkit berdiri. "Aku selau melayani kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!"

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga! Dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa ia menang setingkat dalam hal tenaga dalam.

Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak, tentu akan hancur kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa. Kwee Seng mengerahkan ginkang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit dari pada lawannya yang tua dan tinggi besar.

Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.

Pertandingan telah berlangsung setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.

"Wah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau inilah! Heh-heh-heh! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?"

"Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan." Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.

"Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!" Ban-pi Lo-cia menerjang maju.

Kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.

"Prakkk!! Uh-uh...!"

Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sinkang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya dan mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak makan lombok saja!

"Serrr.. serrr... serrr...!" belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia.

Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan ke luar belasan orang yang bersenjata lengkap.

"Inilah hwesio jahat itu! Serbu...! Keroyok...!"

Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat itu sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.

Kwee Seng maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, maka ia cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang menerjang sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.

"Heh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!"

"Sekarang pun boleh!" Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang.

Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.

"Kongcu...!" kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.

Dia berdiri di situ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa! Pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.

"Kongcu, kau kenapa...? Kau terluka...?"

Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala.

Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya. "Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu di sini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?"

"Jo...doh...?" tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.

Ang-siaw-hwa menarik lengannya. "Tentu saja jodoh. Kongcu. Marilah ikut Ang-siauw-hwa. Kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu...." Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.

"Kenapa... kenapa kau begini baik kepadaku...?" Kwee Seng masih mencoba menolak.

Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya. "Kenapa? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu. Karena... karena aku ingin belajar menyuling darimu...."

"Me... nyuling...?" akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas.

Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya. Seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu.

Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.

"Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan," terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan.

Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah lalu bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.

"Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur," kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng.

Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata penuh kegugupan dan malu-malu, "Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi...."

Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya. "Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang... pelacur?" Wanita itu masih memeluknya sambil menangis!

Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.

"Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali."

Nona itu mengangkat mukanya. Biar pun air mata masih membasahi pipinya, ia tersenyum gembira. "Marilah makan, Kongcu," katanya merdu.

Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan... duduk di atas pangkuannya!

"Eh, Nona... ini... ini... bagaimana...?" Kwee Seng tergagap.

"Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Tidak karuan rasa hati Kwee Seng, kepalanya sampai terasa pening. Dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya. "Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga."

"Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya...."

Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.

"Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai... sampai...." tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.

"Sampai menjadi pelacur?" Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali. Air mata menetes di sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan. "Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di waktu kecilku aku adalah seorang berdarah bangsawan. Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang..."

Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. "Ahhh! Mengapa sampai begini...?"

Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.

Akhirnya pelayan itu terjerat oleh cengkeraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama hutang mereka bertumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In 'dijual' kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.

"Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkeraman bibi Cang. Akan tetapi baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani. Dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan aku... aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau...." kembali Ang-siauw-hwa menangis.

Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur. "Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Ada pun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu."

"Ah, Kwee-kongcu... kau menumpuk budi kebaikan padaku...."

Ang-siauw-hwa menubruk Kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya. Ia mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan yang jarang keduanya ini.

Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata dengan suara mesra dan manja, "Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku...."

Hati Kwee Seng berdebar. Sebutan Kongcu (Tuan Muda) kini berubah menjadi Koko (Kakanda). "Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam," jawabnya sambil tetap masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.

"Di sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah kusuruh pelayan membeli untukmu."

"Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu."

Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur!

Di lain pihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng. Selama hidupnya baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya laki-laki yang mana pun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan dari padanya. Akan tetapi Kwee Seng ini berbeda sekali. Pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan. "Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik."

Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata dengan suara mesra dan penuh cinta kasih, "Kwee-koko... jangan kau tinggalkan aku lagi...."

Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram, lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum. "Jangan kuatir, Moi-moi. Aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!"

Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali. Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan. Bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa! Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu pilihan yang tua dan kering betul.

Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biar pun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat dari pada bambu biasa saja.

"Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho. Akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya." Akhirnya si tukang pembuat suling itu berkata.

Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus, maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.

"Mana bambu itu? Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Keluarkan, biar aku melihatnya."

Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata, "Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya."

Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi. Setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa ukuran lubang-lubangnya memang sudah tepat, Kwee Seng membayar harga suling yang lima puluh kali lebih mahal dari pada harga suling biasa. Ia membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya yang tak jauh dari telaga.

"Moi-moi, kau lihatlah suling ini!" di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.

Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan... dapat dibayangkan betapa kagetnya Kwee Seng saat melihat dua sosok tubuh malang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.

"Moi-moi...!" serunya.

Mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Apa yang dilihatnya? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi. Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada. Bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya, di mana tampak menancap sebuah gunting!

SULING EMAS (seri Ke 2 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now