;3

27 7 0
                                    

Acap kali Taehyung berlalu-lalang di depan meja, tak satupun pandang terlayang ke arahku. Belakangan ini ia kembali terlihat sibuk kendati kasus yang terakhir kali ia tangani sudah rampung sejak kemarin lusa dan aku sendiri belum mendengar ada kasus baru yang perlu timnya selesaikan.

Adalah menopang dagu sembari menunggunya untuk melirikku barang sejenak yang kulakukan setengah jam belakangan. Namun janggalnya tak hanya aku, melainkan rekan-rekan kerja wanitaku yang lainnya turut melakukan hal serupa. Terutama mereka yang belum lama ini direkrut olehnya.

Jujur saja ada rasa kesal yang menguar di dalam dada. Namun sepertinya aku hanya perlu terbiasa dengan situasi seperti ini ketimbang terus-terusan merungut dalam hati. Pasalnya cincin berbatu pirus yang melingkar di jari manis milikku maupun miliknya tak pernah wanita-wanita itu hiraukan. Padahal tak jarang juga Taehyung memperlakukanku sebagai kekasihnya di depan mereka. Kendati hanya mengobrol atau mengajakku makan siang bersama, seharusnya semua itu cukup untuk membuat mereka berhenti memandanginya.

Aku mendengus, lekas-lekas mengeluarkan ponsel dari dalam tasku. Mencari kontak laki-laki yang kini tengah berdiri lima meter dari mejaku dengan setumpuk kertas dalam genggamannya, aku mengiriminya sebuah pesan singkat.

Tae, lihat, wanita-wanita itu memandangimu lagi.

Selekasnya pesan itu terkirim, kudapati Taehyung tengah merogoh saku celananya. Sebuah ponsel berwarna hitam kemudian ia keluarkan. Gerak-geriknya menunjukkan bahwasanya ia tengah membaca sesuatu di sana. Dan aku yakin betul kalau itu adalah pesan singkat yang baru saja aku kirim.

Alisnya terangkat, praktis membuatku bertanya-tanya dalam hati. Ia yang sempat termangu lekas mengunci ponselnya kemudian beranjak menuju ruangannya dan membuatku menghela napas. Apa yang aku harapkan ternyata tak ia lakukan. Bukannya menghampiriku—atau apalah itu, ia malah pergi. Membuatku buru-buru menenggelamkan diri di balik layar komputer jinjing yang sedari tadi terbengkalai.

Lima menit kemudian, dua buah ketukan yang membentur mejaku terdengar. Aku mengangkat kepala dan mendapati Taehyung tengah menabrakkan pandangnya dengan netraku dalam jarak yang cukup dekat. Tak perlu waktu lama bagi rekan-rekanku untuk memperhatikan kami dan mengemamkan sesuatu yang terdengar sayup.

Aku megangkat sebelah alis, menunggu dirinya untuk membuka mulut.

Perlahan jemarinya meraih daguku dan mengangkatnya sedikit lebih tinggi. "Temani aku makan siang lagi ya, Nona manis," pintanya seraya mengacak gemas suraiku kemudian menggamit lengan dan mengajakku pergi. Aku tersenyum selekasnya menyadari kalau sikapnya yang tiba-tiba seperti ini ia lakukan sebagai tanggapan atas rungutanku tadi.

Nada-nada kecewa dari rekan kami kembali terdengar sayup kala kami berdua melintasi koridor. Namun aku membuang jauh-jauh hasrat untuk mengacuhkannya.

"Itu salahmu punya kekasih setampan aku," bisik Taehyung sebelum menautkan jemarinya lebih erat dengan milikku.

Aku terkekeh lalu mendaratkan pukulan ringan pada lengannya. Siapa sangka hal sepele seperti itu dapat mengubah kesannya yang tegas menjadi seorang Kim Taehyung yang sangat cheesy seperti ini.

Mungkin terdengar klise, namun diam-diam aku jatuh hati dengan cara ia menunjukkan pada dunia kalau dirinya itu milikku—bukan hanya aku ini miliknya.

PrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang