Prolog

82 5 1
                                    

"Itu bukan urusanku," katanya dingin.

Membosankan. Jika bukan karena terkurung di perpustakaan ini, aku pasti sudah di rumah. Bukan bersama senior menyebalkan ini. Meskipun visualnya menarik, ralat, ya aku sadar dia tidak terlalu buruk dilihat dari luar. Namun, melihatnya lebih dalam lagi actually dia hanya pria cuek yang menggoda iman.

Akupun termangut sambil berjalan ke arah sudut ruangan dan terduduk dengan melepas lelah. Cemas karena mungkin aku tidak tahu ini jam berapa dan kapan pintu perpustakaan akan dibuka dari luar ruangan. Pintunya rusak dan bodohnya aku masuk karena mencari buku kamus fisika yang setebal dosa. (; ̄ェ ̄)

Jangankan satu jam lagi, bahkan tiga puluh menit ke depan aku akan benar-benar muak satu ruangan dengan pria kulkas ini. Ia bahkan hanya duduk dengan santainya sambil membaca salah satu novel berseri Charlotte.

Lagipula aku juga lupa tempat dimana terakhir aku menaruh ponsel ku. Sial. Aku lebih khawatir lagi dengan suara hujan di luar. Tunggu, suara hujan? Darimana masuknya jika bukan dari jendela.

Thank Godness, aku ada peluang bisa keluar dari tempat kutu buku ini.

Tanpa berpikir lebih panjang, aku langsung berdiri dan mencari sumber suara hujan tersebut. Dari semua jendela yang terkunci, agak sulit menemukan satu diantaranya yang bisa dibuka. Dan ya, memang hanya ada satu jendela, yang tidak begitu besar dan letaknya berjauhan dengan jangkauan tangan. Sial (2).

Sekali lagi aku melirik lelaki itu yang masih sibuk dengan dunia fiksinya. Peka dikit napa, ada cewek pendek disini yang perlu bantuan seseorang untuk menggapai jendela itu.

...

Fine, aku coba sendiri.
Nunggu dia peka itu lebih lama daripada jarak antara musim hujan sama kemarau.

Aku mendekati etalase tempat buku-buku setebal kamus bahasa dan mengambilnya satu per satu lalu menyusunnya jauh di bawah jendela itu. Menumpuknya dan menaikinya—mencoba meraih jendela tersebut.

"Turun," kata seseorang mengejutkanku.

Dug!!
Aku nyaris terjatuh dan sebuah tangan menahan punggungku. Tunggu, seperti familiar dengan wajah di hadapanku sekarang. Pria ini?? Pria kulkas tadi?

"Lepaskan!! Hhh," aku membenarkan posisi dan sedikit mendongak melihatnya.

Astaga tingginya...

"Singkirkan semua buku itu, lalu naik ke punggungku," ucapnya sambil menatap buku-buku yang ku tumpuk.

"Kenapa tidak kau sendiri saja yang keluar lewat jendela itu? Kau kan tinggi," bantahku.

Dia diam saja. Dinginnya menjalar ke wajahnya dan membuatku sedikit bergidik.

Tak lama kemudian semua buku sudah tersingkir dan aku bahkan tak sadar se cepat apa aku menyingkirkannya.

"Naik," perintahnya dalam keadaan berjongkok dan menyuruhku menaiki punggungnya.

"Hah? Nggak mau," aku menggeleng cepat.

"Mau keluar apa disini semalaman? Sudah jam lima sore."

Jam lima?? Seriously?!

Cukup canggung, tapi aku akhirnya melepas sepasang sepatuku dan menaiki punggungnya perlahan.

"Berat," gumamnya.

Aku ingin mengumpat rasanya. Barusan dia mengataiku atau apa.

Aku berhasil menggapai jendela dan menaikkan kakiku satu per satu lalu keluar dari ruang perpustakaan itu.

Hujan yang tidak begitu deras membasahi pakaianku dan dengan bertelanjang kaki aku berjalan ke arah tempat pos satpam berada lalu meminta kunci ruang perpustakaan.

Ia melihatku heran—mungkin karena belum pulang dan tidak memakai sepatu. Namun, tetap memberikan kuncinya tanpa bertanya.

Aku kembali ke depan pintu ruang perpustakaan dan menancapkan kunci tersebut lalu memutarnya dua kali hingga cklek!

Pintu terbuka. Dari sini, aku bisa melihat pria itu duduk di sudut meja sambil membaca novelnya lagi. Aku melangkah masuk dan mengambil sepatuku yang tertinggal kemudian menghampirinya.

"Nggak pulang?" tanyaku.

Ia terdiam sejenak dan menutup novelnya seketika.

"Aku pulang ataupun tidak, bukan urusanmu 'kan?" katanya sambil berlalu ke luar ruangan dan meninggalkanku seorang diri.

Aku tahu seharusnya aku tidak perlu menghampirinya.

***

"Aku pulang!" ucapku seakan menyambut rumah seperti biasanya setiap pulang dari kampus.

"Masak nasi sana, bentar lagi ayah pulang," suara adikku menggema di ruang tamu.

Dasar adik terlaknat emang. Kakaknya pulang basah kuyup dan dia hanya bermain tabletnya sambil tiduran di sofa tanpa melihatku sedikitpun.

"Bunda mana?" tanyaku.

"Pergi belanja tadi. Paling bentar lagi pulang."

"Ok, deh," aku beranjak ke kamar.

Kulepas pakaianku yang basah dan langsung pergi mandi. Entah kenapa basahnya berbau tanah. Membuatku jijik dengan diri sendiri.

Di tengah-tengah kucur air yang membilas rambutku, ponselku yang di samping wastafel berdering. Ritualku terusik dan membuatku mengeringkan tangan sejenak lalu meraih ponsel tersebut. Notifikasi telepon datang dari nomor tidak dikenal dan meragukan.

Aku mengangkatnya sembari mengeringkan rambut dengan handuk.

"Ya, halo?" sapaku duluan.

"Aku tunggu di depan rumahmu. Sampai nanti," jawab seseorang dari sana.

Kok suara laki?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 22, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Silent Love (Darren Chen MG18)Where stories live. Discover now