07. | aku dan chakra (yang mungkin tidak kukenali) [edited]

446 77 55
                                    


[ JEROEN ]


"CHAKRA NGGAK SELAMANYA bahagia, lho."

Aku menaikkan sebelah alisku. Emma terdengar sangat yakin waktu melontarkan kata-kata itu, mata bulatnya menatapku serius.

"Maksudnya?" Aku tahu kalau Emma sedang nggak setuju dengan pendapatku barusan, waktu aku bilang Chakra merupakan orang paling bahagia yang kukenal.

"Kamu nggak tahu kalau Chakra masih trauma sama kematian orang tuanya?" Aku menggeleng, karena selama ini Chakra nggak pernah benar-benar terlihat begitu kehilangan setelah kecelakaan yang waktu itu merenggut nyawa Om Budi dan Bulik Wulan. Trauma adalah hal yang membuatku nggak bisa tidur tiap malam karena takut sosoknya yang nggak bernyawa muncul di mimpiku, yang membuatku tiba-tiba terkena serangan panik di tengah-tengah UMPTN. Dulu Chakra memang mulai merokok untuk menyalurkan rasa stresnya setelah ia menjadi anak yatim piatu, namun seingatku Chakra nggak pernah merasakan duka berkepanjangan. Sebelum meninggal, Chakra ceria dan penuh semangat (atau, dalam bahasa guru-guru BP: bandel). Jelas-jelas nggak menunjukkan tanda-tanda ingin bunuh diri kayak yang disugestikan hasil forensik kecelakannya.

"Chakra memang nggak pernah ngomong secara blak-blakan kalau dia pengen nabrakin dirinya sendiri ke mobil orang," lanjut Emma sambil mencocol kentang goreng ke sundae-nya seolah-olah itu saus sambal. Dalam hati, aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Emma nggak jijik melakukannya. "Tapi sebenernya dia sering nyalahin dirinya sendiri gara-gara kematian orang tuanya itu. Aku sendiri nggak ngerti kenapa. Mungkin Chakra nggak pernah nunjukkin sisi dirinya yang ini ke kamu, tapi aku udah berkali-kali melihat dia 'jatuh'."

Saat itulah, aku teringat akan sesuatu. Jatuh. Layang-layang putus suatu saat pasti akan terjatuh. "Layang-layang putus," ujarku tahu-tahu. Emma mengernyit karena ia nggak tahu apa maksud perkataanku. Dan aku bisa maklum.

Karena aku sendiri masih nggak sepenuhnya mengerti.

Layang-layang putus suatu saat pasti akan terjatuh.

Seharusnya aku sudah tahu.

Aku pertama kali bertemu Chakra sepuluh tahun lalu, saat Natal keluarga besar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku pertama kali bertemu Chakra sepuluh tahun lalu, saat Natal keluarga besar. Waktu itu umurku delapan tahun, begitu juga dengan Chakra. Saat itu Mbah Kakung punya ide untuk menjadikan Natal tahun itu momen reuni keluarga besar-besaran, sehingga seisi keluarga besarku—termasuk keluarga Chakra yang beragama Islam—berbondong-bondong ke Solo. Aku banyak ketemu paman, bibi, dan sepupu yang aku nggak pernah tahu aku punya seumur hidup, dan mereka semua membuatku merasa canggung dan agak takut. Maka sepanjang Natal keluarga aku cuma bisa mojok sambil membaca komik seharian. Di mata orang, aku adalah anak yang kalem, penurut, namun di sisi lain nggak terlalu menarik.

Lain halnya dengan Chakra. Chakra, nggak seperti aku, adalah seorang anak bertubuh gembul yang selalu ceria dan banyak tingkah. Anak itu sempat memecahkan vas bunga di ruang tamu rumah Mbah Kakung gara-gara keasyikan main bola plastik, namun karena ia imut, semua orang memaafkannya. Bahkan ketika orangtuanya sudah berkali-kali menawarkan ingin menggantikan vas tersebut.

Saat Chakra Masih di SiniWhere stories live. Discover now