Terbenam

337 77 7
                                    

"Kamu pernah lihat matahari terbit?"

"Matahari terbit? Apa itu?"

"Hm, aku pernah baca dari catatan lama milik kakekku. Di sana tertulis, itu adalah benda bulat besar di luar angkasa yang menerangi galaksi kita."

"Woah! Hebat! Aku baru tahu itu. Apa kita bisa melihatnya? Sudah berapa lama catatan itu disimpan?"

"Entahlah, aku tidak yakin. Yang kutahu ini sudah turun-temurun diwariskan."

"Begitu, ya?"

Pemuda itu tertunduk lesu. Jemari tangan kanannya perlahan meraih dinding tabung transparan yang melindungi dirinya. Begitu juga orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka.

"Sampai kapan kita hidup seperti ini, ya?" lawan bicaranya membuka suara. Remaja laki-laki berambut hitam panjang itu menerawang langit.

"Selama ketakutan dan kekhawatiran terus ada di kota ini, kurasa kita akan seperti ini," jawab remaja laki-laki lain dengan rambut cepak. Bola mata hitamnya yang cerah itu tak secerah harapan hidupnya. Meski senyum tercipta pada raut wajahnya, tetapi jauh dalam lubuk hatin

ya rasa ingin menghancurkan tabung transparan itu amatlah besar. "Kau tahu, Bokash?" remaja itu menoleh pada rekan di sampingnya yang juga memalingkan kepalanya.

"Apa?" Bokash memalingkan kepala.

"Sejujurnya, saat dulu kau bilang bahwa ingin sekali menghancurkan tabung ini, aku benar-benar merasa aku tidak sendiri," jawabnya sembari terkekeh kecil.

"Benarkah itu, Tilby?"

Tilby mengangguk, "Benar. Aku merasa ini aneh. Semua akses kita dibatasi. Bahkan buku-buku literatur pun dibakar," ia mendengus, "membaca catatan-catatan terdahulu sungguh membuatku iri."

Bokash mengangguk membenarkan. Meski semilir angin bisa mereka rasakan dari dalam tabung tersebut, tapi tetap saja rasanya ada yang membatasi mereka. Teknologi yang semakin canggih, peradaban yang sangat maju, dan orang-orang yang semakin sibuk bersaing dengan kehidupan.

"Tilby, aku pernah membaca sebuah catatan para pendahulu, di saat orang-orang berjumpa mereka akan saling berjabat tangan dan tersenyum menandakan persahabatan," jelas Bokash pada Tilby yang menautkan kedua alisnya. Benar-benar raut yang menyiratkan rasa bingung.

"Berjabat tangan? Apa itu, Bokash?" tanya Tilby.

Bokash terkekeh, "Entahlah, aku tidak yakin betul bagaimana yang dimaksud dengan berjbat tangan. Tapi itu seperti ini dalam khayalanki," Bokash berputar dan mengankat kedua tangannya ke depan sejajar dadanya. Kedua telapak tangannya ia tautkan,"begini. Ah, tidak. Seharusnya ini, jempol kiriku harusnya berada di atas," kemudian ia kembali melanjutkan. "Kau tahu Tilby, harusnya ini dilakukan menggunakan tangan yang sama oleh dua orang. Jika aku menggunakan tanga kananku, maka kau juga harus menggunkan tangan kananmu juga. Apa kau mengerti maksudnya?"

"Sepertinya aku paham. Itu benar-benar terlihat menyenangkan! Maksudku, kau tahu selama ini untuk tersenyum saja sulit. Apalagi di transportasi umum. Hah, semua orang saling membuang muka dan mengubah warna tabungnya hingga tidak transparan lagi. Rasanya sulit sekali untuk berteman!"

"Kau benar, aku benar-benar tidak mengerti kenapa masa depan yang diharapkan pendahulu kita begitu menyeramkan untuk dijalankan," Bokash mengeluh. Mereka kemudian berdiri dan berjalan mengitari taman kota. Bahkan pohon-pohon di taman ini pun juga diselubungi oleh benda transparan. Dibandingkan dengan pelindung, semua ini benar-benar seperti sebuah penjara bagi penghuninya.

Di tengah perjalanan, tampak sayup-sayup seorang nenek tua terjatuh di atas aspal jalan. Sementara semua kendaraan terus berlalu-lalang meski menghindari nenek itu. Namun tetap saja bunyi klakson masih beradu sepanjang orang lalu lalang. Sebuah sinyal meminta pertolongan terpancar dari tabung nenek itu. Sementara orang-orang sekitar tidak ada satu pun yang memilih untuk menerima sinyal itu. Mereka semua memilih untuk menolak sinyal panggilan itu. Nenek itu masih terus berusaha berdiri. Tilby dan Bokash berlari ke arahnya dengan sebelumnya mengubah mode tabungnya agar bisa berlari.

Sinyal yang diberikan nenek itu diterima oleh mereka berdua. Keduanya berusaha membopong nenek itu menjauh dari jalanan.

"Terima kasih anak muda, aku benar-benar tidak menyangka masih ada anak muda yang berjiwa seperti kalian di masa seperti ini," puji nenek berambut putih itu. Warna putih pada rambutnya itu benar-benar memberikan gambaran begitu banyaknya perjuangan yang telah ia lewati.

"Ah, tidak apa-apa, Nek. Lagipula kebetulan kami lewat sini," jawab Tilby.

"Harusnya wanita tua sepertiku memang lebih baik diabaikan. Apalagi rasanya aku tak menikmati masa tuaku sekarang. Belum lagi sebentar lagi aku akan dibuang oleh kota ini," ucap nenek tua itu pada Tilby dan Bokash.

"Kenapa nenek berkata seperti itu?"

"Kau tahu, kota ini penuh kepalsuan. Ketakutan yang ada hanyalah omong kosong belaka. Mereka ciptakan tabung pembatas ini hanya sebagai alat untuk memeras uang warga kota. Kita membeli penjara untuk diri kita sendiri," jelas nenek itu.

"Tapi, nek, bagaimana nenek bisa menyimpulkan seperti itu? Bukankah semua ini demi keamanan semua warga juga memudahkan komunikasi," ucap Bokash.

"Anak muda, aku ini wanita tua yang hampir satu abad berada di sini, sebelum orang aneh itu datang berkuasa dan membawa alat ini dengan iming-iming keamanan. Aku tahu betul bagaimana segarnya angin yang menerpa kulit, hujan yang tercium aroma setelahnya, dan teriknya matahari yang membakar kulit."

Tilby berbinar, "Nek! Apa kau tahu matahari terbenam?"

"Tentu saja aku tahu. Bahkan bisa melihatnya setiap hari."

"Jadi semua itu bukan khayalan ya."

"Tentu saja bukan. Itulah dunia sebenarnya."

"Tapi, nek, kenapa mereka semua membakar buku-buku literatur?"

"Kau tahu, itu adalah usaha mereka untuk membuat publik bodoh. Dengan begitu semua warga akan mudah termakan oleh apa yang para petinggi kota kita utarakan. Mereka akan menganggap semua yang dikatakan adalah benar."

"Apa-apaan itu!"

"Itulah yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak ingin publik lebih pintar mengkritisi kebijakan yang mereka ambil.Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah ketakutan yang hanya berisikan omong kosong."

Bokash menggeram kesal. Hasratnya untuk menghancurkan tabung transparan ini sungguh besar. Ia ingin segera menemukan kebenaran yang tersembunyi dari ini semua.

"Kalian tahu?" tanya nenek itu. Bokash dan Tilby menjawab dengan gelengan kepala. Seolah paham, nenek itu kembali melanjutkan pernyataannya. "Orang-orang tua sepertiku yang dibuang saat usia kami tak lagi dianggap produktif seperti sampah yang dibuang ke tempat sampah. Alasan sebenarnya bukanlah untuk mengurangi populasi warga yang ada. Melainkan mereka tidak ingin orang-orang seperti kami mempengaruhi para anak muda."

"Kenapa begitu, Nek?"

"Karena mereka khawatir, kebohongan yang selama ini mereka tutup-tutupi dibongkar. Kami juga pernah tinggal dimana tabung seperti ini tidak ada juga kota secanggih ini pernah ada. Dimana semua bagian alam memiliki makna masing-masing."

":Apa nenek tahu soal berjabat tangan?"

"Ya, itu merupakan cara yang sangat sederhana saat bertemu seseorang."

"Aku juga inginj berjabat tangan seperti orang-orang dulu saat nenek muda."

"Sebenarnya kau bisa melakukannya sekarang dan melihat matahari terbit dan terbenam seperti yang kalian khayalkan."

"Benarkah itu bisa, Nek?" balas Bokash dengan wajah berbinar.

"Tentu," balas nenek itu, "Caranya adalah—akh!" ringis nenek kesakitan. Sebuah sinyal darurat kembali muncul dari tabung nenek.

Bokash dan Tilby panik meminta pertolongan. Namun sinyal tabung nenek mulai melemah dan perlahan menghilang. Kelopak mata nenek tertutup. Sebuah notifikasi pesa muncul dari tabung nenek.

"Kami mengetahui semuanya. Meskipun hanya pemikiran untuk memberontak, siapapun kalian akan kami proses dan buang seperti sampah," ucap Tilby membaca pesan itu.

Tilby dan Bokash meninju permukaan tabung transparan mereka masing-masing. Bahwa benar adanya segala kemudahan ada pada mereka. Namun mereka masih terpenjara. Juga cara yang dimaksud nenek belum tersampaikan. Tabung nenek ditarik paksa dan tubuh renta nenek terjatuh kemudian menghilang dalam sekejap.

Melihat matahari terbenam takkan pernah bisa terwujud karena semakin hari nuraani di kota ini menipis, empati terhapus, dan detik-detik kehidupan mereka terpenjara dalam tabung. 

GenreFest 2018: DistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang