Epilogue

8.4K 793 248
                                    

Before we start, can we take a look at that beautiful smile of our angel, Park Jimin, on his birthday?

.
.
.

Enam pemuda Kim akhirnya sampai di Amerika dengan perasaan yang tak dapat diartikan. Mereka masih hancur dan tak ada yang bisa menyembuhkannya. Bahkan selama perjalanan yang membutuhkan waktu sangat panjang, tak seucap kata pun keluar dari salah satu mereka, kecuali ketika diperlukan. Semuanya memakai baju hitam, dengan awan gelap yang menyelimuti mereka dengan kental.

"Selamat datang, tuan muda," sambut seorang pria paruh baya ketika melihat mereka sudah keluar dari pintu.

Seokjin yang sedikit terkejut segera menghampiri paman kepercayaannya itu. "Paman, sedang apa di sini? Bukankah—"

"Sebaiknya kita langsung menuju rumah sakit." Pria paruh baya itu tersenyum, seakan tidak sabar untuk mengabarkan keadaan yang sebenarnya. Kening Seokjin mengerut tipis, sedangkan adik-adiknya tak mengerti dengan apa yang terjadi. Bahkan mereka baru saja tahu jika Paman Kang tengah berada di Amerika.

.
.
.

"Dia bangun, Seokjin-ah. Jimin akhirnya bangun kemarin."

Mereka semua tampak tak percaya dengan apa yang dilihat mereka sekarang. Saudaranya, saudara yang telah mereka tangisi kepergiannya, ternyata masih bernapas di ruang kaca yang dipenuhi alat medis. Sebuah keajaiban yang akhirnya terjadi pada hidup orang yang paling mereka harapkan kesembuhannya.

Seokjin mendekati ruang kaca itu, menempelkan telapak tangannya di sana, seakan memanggil Jimin yang kembali tertidur setelah diperiksa dokter dan perawat beberapa saat lalu. Air matanya turun perlahan, sedangkan hatinya tak berhenti mengucap kata syukur. Kelima adiknya juga melakukan hal yang sama, berharap Jimin akan bangun saat ia menyadari kehadiran mereka. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan perasaan mereka kini. Mereka hanya merasa lega dengan apa yang akhirnya terjadi.

"Seokjin," panggil seseorang yang ternyata dokter yang menangani Jimin. Seokjin pun mengangguk dan mengikuti ke mana sang dokter melangkah. Ia masuk ke ruangan itu dengan pakaian steril. Kakinya melangkah tak sabar untuk segera menemui sang adik.

"Dia berhasil bertahan. Kami menyesal telah menyerah, tapi kurasa ia menunggumu dan saudara kalian yang lain," jelas sang dokter pada Seokjin yang kini tengah mengusap kepala sang adik, rindu.

"Jadi, apa dia dinyatakan sembuh?"

"Jimin masih harus dikarantina selama seratus hari di sini. Masa-masa itu akan sangat sulit karena ia tidak diperbolehkan keluar kamar. Imun tubuhnya tidak baik, sehingga kita semua harus sangat berhati-hati. Tapi tenang saja, seratus hari bukanlah apa-apa bagi Jimin yang telah melewati saat yang paling berat."

Seokjin mengangguk membenarkan. Ya, adiknya pasti bisa bertahan lagi. Mereka akan membuka lembaran baru. Ia mengecup dahi Jimin perlahan. Dirinya sangat senang, juga lega. Perasaannya terasa sangat ringan kini. Jiminnya sembuh, itulah yang terpenting.

Tiba-tiba saja ia ingat pada saudara-saudaranya yang masih setia menonton dari luar. Ia tersenyum pada wajah-wajah tegang itu, mencoba memberi arti bahwa semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Jimin akan kembali pada mereka secepatnya.

.
.
.

Sudah tiga bulan Jimin menempati kamar yang sudah seperti rumahnya itu. Semua barang yang ia perlukan dan ia inginkan tersedia di ruangan itu, demi kenyamanannya. Namun, tetap saja mata itu akan meredup ketika ia melihat ke luar jendela kamar yang tidak bisa ia tinggalkan itu. Tapi Jimin tidak menyerah. Walaupun beberapa kali harus kembali masuk ruang isolasi karena flu ringan yang menjadi fatal, Jimin tidak menyerah. Hari yang selalu ditunggunya selama ini akan datang tidak lebih dari seminggu lagi.

FamilyWhere stories live. Discover now