🏠kedatangannya

668 137 21
                                    

Waktu aku dekat dengan Daniel Kertajaya, Keenan mendadak sering datang ke rumah.

Kadang waktu aku barusan pulang dari makan malam dengan Daniel, tiba-tiba saja mobilnya sudah terparkir di halaman, dan saat aku masuk ke rumah, kulihat ia tertidur di atas sofa dengan Wylla dan Zoya memeluknya, seolah-olah ia masih jadi bagian dari rumah kami.

Aku memanggil Yena dan bertanya sejak kapan Keenan datang, Yena bilang, "Sudah sejak tadi sore, Bu." Ia tidak memberikan informasi lain.

Aku melihat Keenan yang tertidur di sofa di ruang TV, barusan mau membangunkannya. Tapi mendengarnya ngorok begitu aku tidak tega, jadi aku membiarkannya selama sesaat dan pergi membasuh diri.

Usai mandi aku mengerjakan beberapa tugas kantor. Selesai pukul satu, aku mengintip ke ruang TV dan kulihat Keenan masih lelap, anak-anak pun.

Pelan-pelan aku menggendong Wylla dan membawanya ke kamar, membaringkannya di tempat tidurnya, lalu Zoya, baru setelah itu aku membangunkan Keenan.

"Cuk," kataku sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. "Cuk, bangun, cuk."

Perlahan ia membuka matanya, dan saat melihatku ia langsung kaget. "Lhoh, San, kamu kok udah pulang?" tanyanya sambil mengusap air liur di sudut bibirnya.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. "Ini udah jam satu, kamu nggak pulang?"

"Hm?" Ia bangun dari tidurnya dan duduk di sofa, melihat ke arahku, "aku tidur di sini dulu ya, aku bakal balik pagi," katanya.

Aku mendengus dan mengangguk kecil, "Oke, terserah, tapi besok aku nggak bikin sarapan ekstra."

Ia tersenyum kecil, lalu kembali merebahkan diri di atas sofa.

¤•¤•¤•¤

Sepulang kantor hari itu aku pergi nonton bersama Daniel. Usai itu kami minum kopi di sebuah kafe di dekat bioskop. Kami berbicara soal banyak hal, kecuali pernikahan. Soalnya aku belum berani berbicara terlalu terbuka soal pernikahan, terutama soal perceraianku, tapi ia suka memburuku dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Keenan, sedikit mengganggu, jadi aku mengalihkan obrolan-obrolan pada hal yang lebih trivial, hal yang tidak membuatku merasa...tersudut.

"Sebenernya aku nggak nyangka bisa jalan sama kamu gini."

"Kenapa?" Ia bertanya sambil menatapku.

"Aku orangnya insecure dan kamu percaya diri banget."

"Kamu nggak perlu insecure kalo jalan sama aku, Sani, kamu perfect kok kayak gini"

"Sumpah?" Aku tertawa.

Dan ia mengangguk dengan ekspresi paling imut.

"Aku tetep insecure sih, apalagi kalau inget kencan pertama kita dan I kinda ruin everything."

"Selalu ada kesempatan buat memperbaiki kesalahan-kesalahan kan, San," katanya sambil memegang tanganku.

Jantungku berdegup kencang saat ia  mendekat padaku, ia menatap bibirku dan mengecupnya, membuatku membatu.

Aku melihatnya menarik bibirnya dan tersenyum padaku, harusnya aku merasa meletup-letup, tapi yang berlarian di kepalaku saat itu bukan masa depan bersama Daniel, tapi Zoya dan Wylla, dan apakah mereka bakal menyukai Daniel dan sebaliknya.

Aku belum sempat bilang pada anak-anak soal Daniel.

Aku merasa...salah.

¤•¤•¤•¤

Tempat berlariku pertama kali malam itu adalah kamar Zoya dan Wylla.

Entah kenapa aku merasa telah mengkhianati mereka, jadi aku ingin menghapus dosaku dengan menghabiskan waktu bersama mereka.

Saat aku membuka pintu kamar mereka, lagi-lagi aku menemukan Keenan tertidur bersama anak-anak di kasur Wylla. Ini sudah yang ketiga kalinya minggu ini. Bukankah seharusnya ia tidak datang sesering ini ke rumahku?

¤•¤•¤•¤

Keenan harusnya pergi sebelum aku bangun. Tapi pagi itu saat aku hendak turun untuk membangunkan Zoya dan Wylla, ia masih sibuk di dapur.

Aku menghentikan langkahku dan mengamati punggungnya. Menarik napas panjang dan membuangnya bersama masa lalu yang menyenangkan bersamanya yang tiba-tiba berkelebat di depan mataku.

"Pagi!" sapanya tanpa beban, lalu ia berbalik dan tersenyum sekilas padaku.

"Pagi," jawabku dingin.

Aku menuruni tangga terakhir dan bergerak ragu ke arah dapur. "Kamu kok masih disini?" Aku bertanya dengan sengit.

"Aku janji mau bikinin sarapan buat Zoya sama Wylla kemarin."

"Kamu nggak perlu terlalu manjain mereka tahu." kataku.

Ia tersenyum. "Mereka kan anak-anak aku, masa salah sih buat aku manjain mereka?"

Mataku terpaku pada sosoknya selama tiga detik penuh. Tidakkah ia mengerti bagaimana perasaan dan logikaku mengkontradiksi satu sama lain gara-gara ia mengatakan hal itu? Seperti... aku menyukai segala perhatian yang ia berikan pada anak-anak, tapi kemana perhatian itu dua tahun yang lalu? Kenapa sekarang? Kenapa ia mendadak menjadi seperti Keenan yang menjanjikanku sebuah pernikahan impian?

Aku menelan ludah, mendengus dan meninggalkannya.

Rasanya ada yang tidak pas, namun aku sudah terlalu abai buat memikirkannya. []

team keenan, team daniel, atau team sani?
vote dan komentar anda sungguh berarti.

[✔] MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang