3. Throwback

8.1K 717 12
                                    

Bekerja di ahensi selama empat tahun ini aku jadi punya kesempatan belajar tentang pola pikir orang. Apa yang mereka sukai, apa yang sedang tren di masyarakat, gimana caranya supaya aku bisa mengambil perhatian dengan detail-detail sederhana. Ini pas banget buat aku, selain bersemangat menciptakan sesuatu, aku juga selalu penasaran bagaimana caranya mempengaruhi pikiran orang hanya melalui gambar maupun kata-kata.

Bekerja di digital agency, aku juga jadi mengerti gimana krusialnya media sosial. Nge-tweet dan update status nggak boleh cuma asal. Harus diukur juga berapa jumlah karakter maksimal, bahasa kayak apa yang paling baik digunakan, dan lain-lain. Yang nggak kalah penting, kerja disini membuka mata tentang dunia pemasaran. Menurutku orang-orang tuh bukannya nggak suka iklan. Hanya saja orang-orang nggak suka iklan yang jelek. Coba deh kalau iklan itu unik, lucu dan memorable banget pasti masyarakat dengan mudah mengingat iklan itu. Setiap kali mendengar jargon atau jinglenya, masyarakat langsung bisa menebak oh ini iklan produk A, B, C dan seterusnya.

Aku celingukan dari kaca meeting room untuk melihat apa meeting timnya Prisil sudah kelar atau belum. Aku ingin mencari tahu seberapa mabuk aku malam itu, sampai-sampai aku salah masuk unit apartemen orang.

Lima menit kemudian Prisil keluar ruangan dengan muka paling busuk. Aku yakin designnya pasti di buang ke tong sampah lagi oleh ketua Timnya.

"Sil..., ngopi yuk. Gue traktir deh."

Prisil memutar tubuhnya menghadap padaku. Matanya sembab khas orang nggak tidur tiga hari tiga malam.

"Gue nggak tidur dua hari dan elo nawarin gue kopi? Sesat banget sih lo," ucapnya ketus. Dia berjalan melaluiku menuju pantry.

"Lo gaya banget mau traktir gue ngopi, emang gaji lo masih sisa? Tanggal dua masih dua belas hari lagi, mending lo simpen buat biaya hidup deh," komentar Prisil setelah tahu aku masih mengikutinya.

"Ya deh iya. Ngopi-ngopi cantiknya awal bulan aja deh. Tapi gue mau nanya hal penting sama elo."

"Soal apa? Lo terlambat ngumpulin deadline lagi? Hati-hati aja gajian lo mundur dua hari."

"Dih, bukan kok."

"Trus apa? Rencana lo kalau keterima kerja sebagai pengisi kolom di majalah mau ngelempar surat resign lo di mukanya pak Anwar?"

"Astaga..., jangan kenceng-kenceng ngomongin soal itu, bego! Pak Anwar itu sinyalnya kuat banget kalau ada karyawannya yang punya niat mau resign."

"Ya terus apa dong?"

"Lo inget nggak, seberapa mabuk gue pas clubbing bareng lo waktu itu?"

Prisil sedang berpikir. Lima menit sepuluh menit, keningnya makin berkerut. Dia menjawab  lima belas menit kemudian. "Lo ngabisin lima gelas besar bir dan satu mocktail. Trus gue ingat lo bilang gini 'bir ini rasanya kok kayak madu ya? Bisa manis banget gini kalau diminum pas lagi stres'. Begituuu."

Aku langsung mendelik dan menepuk jidat. Kalau alkohol sebanyak itu masuk ke perutku wajar saja aku nggak ingat-ingat apa-apa malam itu. Gara-gara Jidan sih.

(---)

Hari yang lesu, presentasiku gagal maning. Klien menolak ide yang aku bawa ke hadapannya. Dia bilang ideku terlalu umum. Dia butuh sesuatu yang baru dan fresh from oven untuk iklan produk jaketnya. Padahal pemilihan tema, topik dan warna untuk iklannya klien sendiri yang menentukan. Pihak agency hanya memperhalus design kasar yang diberikan oleh klien. Namun mau bagaimana lagi, kalau kata pak Anwar klien itu raja, sedangkan agency adalah prajuritnya. Kalau klien minta revisi prajurit harus nurut, daripada kehilangan pekerjaan dan harus jadi pengangguran di ibu kota.

Love In The Apartment (Gundah)Where stories live. Discover now