23: Rasa Pahit Musim Panas

1.9K 454 36
                                    

|

❤🌞🍉

D u a p u l u h
T i g a

|


Menatap tanpa kata, pandangan Irene terpaku pada Vante yang tengah membereskan kopernya. Pria itu hendak pulang, tentu saja.

Vante sebenarnya tidak punya kewajiban berada di sini. Jadi kapanpun pria itu sudah muak, atau kapanpun pria itu ingin berhenti, Vante bisa saja pergi dan pulang sesuka hatinya.

Irene sendiri tidak mengerti mengapa Vante bisa bertahan selama ini dengan mengikuti aktivitasnya. Atas nama perasaan pun tampaknya kurang masuk akal. Mengingat apa saja yang sudah dilakukan Vante untuknya membuat Irene menggeleng pasrah dan kacau.

Serius. Dia bukannya membenci Vante. Jujur saja, ia sangat berterima kasih dengan kehadiran Vante.

Tapi satu pertanyaan di kepalanya;

Apakah Irene menyukai Vante?

Bersama Vante, ia melakukan banyak hal yang tak pernah dibayangkannya. Hal-hal kecil sederhana yang pertama baginya. Belum lagi macam-macam perasaan yang ditimbulkan Vante untuknya. Perasaan seperti wahana roller coaster yang mendebarkan.

Perasaan seperti itu apa namanya?

Irene tidak familier dengan itu semua.
Memangnya perasaan seperti ini apakah namanya suka? Sayang? Cinta?

Debaran dan senyuman Vante yang diberikan untuknya, apakah itu nyata?

Apakah ini bentuk keraguan?

Tidak. Jauh di dalam sana, Irene tahu. Ia telah mengakui bahwa ia jatuh hati pada pria ini.

Pada cara Vante memandang dunia. Pada pria yang membawanya ke dalam tempat nyaman dan aman. Pada orang yang menginspirasi kehidupannyaㅡmembuat dunia terasa lebih ringan, sehingga ia tidak perlu terombang-ambing dalam kesendirian lagi.

Tidak tahu sejak kapan. Tapi Irene tahu bahwa lubuk hatinya telah diam-diam menyukai Vante. Bahkan jauh sebelum Vante menanyakan soal Dean padanya.

"Bagaimana kalau Dean menyukaimu?"

Irene masih ingat pertanyaan itu. Irene ingat bagaimana tiap sekon keheningan dihadapinya dengan debaran konyol karena bayangan tautan kegembiraan Dean dengannya, perlahan menjadi Vante yang mengenggam telapak tangannya.

Saat itu Irene hanya bisa bergumam, "... tidak mungkin."

Yang memiliki dua arti.

Tidak mungkin Dean menyukai Irene. Dan... sial, tidak mungkin 'kan kalau Irene tiba-tiba suka pada Si Manusia berlagak presiden yang suka sekali menjawab seenak jidat, bukan?

Ia bukan wanita yang mudah menerima cinta. Karena ia tidak terbiasa dengan itu semua.

"Aku sayang padamu, Irene..."

Melihat Vante yang mendadak datang dengan sekarung cinta yang dalam, Irene jadi takut. Takut mengecewakan Vante dengan kondisi sebenarnya. Selain latar belakang keluarga yang membuatnya minder, ada lagi yang menjadi beban Irene. Ia masih harus fokus menafkahi Jennie.

Banyak hal di kehidupan yang lebih memiliki urgensi dibanding cinta, asal kalian tahu.

Dan lagi, di saat musim panas telah berakhir, ia harus ke Inggris demi melanjutkan mimpinya. Internship sebagai penyiar radio sekaligus melanjutkan studi (hasil tunjangan beasiswa) semester terakhirnya di London. Terdengar bagus, bukan?

Itu terdengar sangat bagus sampai membuat Irene berada di titik bimbang. Karena Victorius Vante berhasil membuatnya merasa mimpinya sedikit kalah bagus.

Vante terdengar jauh lebih bagus dari itu.

Vante membuat Irene jadi dilema dengan tujuan hidup dan mimpi yang telah ia susun sedemikian rupa. Mimpi yang membuat hidup. Mimpi yang diasah untuk mengenang impian ibunya. Dan... sebuah objektif dalam bentuk manifestasi diri.

Irene ingin pergi. Namun juga ingin tetap tinggal.

Untuk perjuangannya bertahun-tahun; menafkahi Jennie, seluruh kerja paruh waktu dan sekon yang dituangkan, untuk titel ambasador kampus yang disandangnya, untuk beasiswa yang diincarnya, atas nama layanan komunitas di Daegu yang menyita waktu liburan dan part-timenya, dan untuk segala langkah yang telah diambilnya...

Haruskah dilepas begitu saja?

Pilihan mana yang tidak akan disesalinya?

Tapi lebih dari itu, untuk detik ini, ia lebih menyesal pada fakta bahwa ia baru saja menyakiti hati orang yang berusaha menggandeng tangannya. Ia menyesal bahwa ia melampiaskan kepenatan kepalanya kepada orang tersebut.

Ia tahu bahwa pria itu tak pantas menerima perlakuan tadi. Sungguh. Irene merasa seperti bukan dirinya. Sangat tidak terkontrol dan sangat bukan Irene.

Kenapa Irene menjadi seberantakan ini? Mengapa jadi sekacau ini?

Bukankah aku sudah tahu apa yang aku inginkan dalam hidup?

Bukankah aku sudah menentukan apa yang kuimpikan dalam hidup?

Lantas, soal kehadiran Vante yang mendadak dalam kehidupan Irene, pantaskah Vante dibuat menunggu oleh Irene yang seperti ini?

Perlukah pria menawan seperti Vante harus bersusah untuk gadis egois seperti Irene?

"Aku pergi."

Terlihat menyesal, Vante berucap dengan koper hitam besar di tangan. "Aku minta maaf atas beban yang kuberikan. Juga karena telah berteriak padamu tadi."

"Aku ada meletakkan nasi kotak di meja," pria itu menunjuk nasi kotak dengan dagu.

"Jangan lupa dimakan. Seingatku, kau belum makan sejak kemarin malam..."

Pria itu berjalan ke daun pintu setelah selesai bersua. Namun mendadak berhenti, mengucapkan sesuatu yang menusuk ulu hati sebelum menutup pintu.

"Kata-kataku yang memberatkanmu itu, tolong dilupakan saja, ya."

Lantas meninggalkan sunyi bersama Irene yang termenung dalam kekosongannyaㅡtergambar lewat iris yang bergetar sendu.

Ingin minta maaf, sungguh. Saking inginnya, rasanya jadi ingin menangis saja. Sebab lidah Irene seperti terlalu beku untuk berkata-kata. Kerongkongan gadis itu seperti tercekit karena menahan air mata.

Ini rasa musim panas yang pahit. []

_______

Notes:
Dilema antara mimpi dan cinta.
Dua-duanya pilar hidup, sih.
Terkadang Tuhan tidak membiarkan kita memilih keduanya. Memang harus dipilih satu.

Jadi, apa pilihanmu?

Sesuatu yang kau impikan dan membuatmu hidup?

Atau, seseorang bak mimpi yang melengkapi hidupmu?

✔ Summer Flavor | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang