RWTS | 01

14K 1.5K 121
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Matahari terasa tepat di atas kepala ketika Park Jimin keluar dari gedung radio selepas menyelesaikan wawancaranya perihal film yang baru saja selesai dibintangi
nya dan langsung mendapatkan jumlah penonton yang fantastis kendati ini adalah debut pertamanya sebagai seorang aktor selama lima tahun dia berkarir di dunia hiburan sebagai seorang penyanyi.

Park Jimin, penyanyi muda  berbakat yang namanya sedang menanjak itu segera mengenakan kacamata hitamnya tak kala puluhan blitz dari para penggemar menyoroti wajahnya.  Jimin tersenyum ramah  seperti biasa,  melambaikan tangan beberapa kali pada mereka yang meneriaki namanya.  Menerima hadiah-hadiah yang disodorkan padanya,  lalu berjalan menuju mobil van hitam metalik yang terparkir tak jauh dari gedung. 

Jimin menaruh semua hadiah itu di kursi paling belakang,  sementara dia mendaratkan bokong di kursi tengah,  menghela napas pelan sembari melepaskan kacamata kemudian  melemparnya asal ke samping.  

Tangannya menyibak rambut hitam pekatnya seperti kebiasaanya, "Kita pulang."

Supir yang disediakan agency untuknya hanya mengangguk,  bos mudanya itu sepertinya sedang dalam kondisi mood yang buruk. Jadi, sang supir mulai menjalankan mobilnya membelah kerumunan penggemar yang masih meneriaki nama Park Jimin.

•••

"Jimin!"

"Jimin katakan pada mereka itu bukan salahku!"

"Jimin kenapa kau meninggalkan aku?!"

"Tuan!"

Jimin tersentak, napasnya terasa tercekat seperti sedetik tadi dia lupa cara bernapas ketika tertidur dan memimpikan hal paling buruk yang selalu melekat di sudut pikirannya.  Dilihatnya sang supir menatapnya dengan wajah cemas, Jimin mengusap wajahnya yang entah kenapa berkeringat,  padahal dia berada dalam kendaraan yang memiliki pendingin cukup baik.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Jimin mengangguk singkat,  lalu mengambil kacamatanya.  "Aku tidak kemana-mana lagi hari ini,  kau bisa langsung pulang." katanya lalu membuka pintu van.

"Tuan,  hadiah anda..." supir itu melirik pada hadiah-hadiah di kursi belakang.

"Ah,  tolong berikan hadiah-hadiah itu ke alamat yang biasa, ya,  terima kasih." Jimin mengulas senyum tipis lalu segera melintasi halaman rumahnya,  membuka pintu besar berwarna putih dan masuk ke dalam.

Rumah besar dengan dua lantai itu terlihat sepi,  cat dinding berwarna putih yang membosankan berpadu dengan barang-barang berwarna abu-abu tua.  Meja, sofa,  tirai. Abu-abu warna kesukaan Jimin,  dia bilang warna itu sama seperti hidupnya.  Tidak hitam,  tidak putih,  hanya abu-abu. 

Rewrite The Stars ✔Where stories live. Discover now