Chapter 8

3.1K 608 148
                                    

Pagi ini Agatha bangun lebih siang. Karena membeli bahan yang cukup banyak, dua malam berturut-turut perutnya penuh dengan nasi goreng khas Mbok dengan ayam dan keju.

Ditambah tadi malam Agatha kebut mengerjakan revisi untuk naskahnya, entah keasikan sampai lupa waktu atau tidak ingin diomeli—lebih pas pilihan yang kedua, sih—Agatha baru bisa tidur jam dua malam. Dan begitu bangun, sekarang nyaris siang.

Memang kebo. Tapi apa mau dikata, memangnya siapa yang tidak suka tidur nyenyak?

Rutinitas Agatha sebenarnya tidak berbeda dari kebanyakan orang, hanya saja dia lebih terbiasa ke kamar mandi lebih dulu ketimbang memegang ponselnya. Namun belakangan, kamar mandi dan ponsel bertukar tempat. Agatha merasa dia perlu memeriksa ponselnya lebih dulu untuk memeriksa sesuatu. Pesan dari Arka. Satu senyum tersungging begitu melihat apa yang dia cari di layar ponsel.

Haha. Oke. Have
a nice dream Ta.

Pagi Ta.
Sudah bangun?

Sorry ganggu. Saya
dapat call subuh buat
operasi, jadi saya sms
kamu jam segini.

God. I spam a lot,
don’t I?

Agatha tidak bisa menahan senyumnya tiap kali membaca pesan dari Arka. Mengobrol dengan pria itu benar-benar menyenangkan, meski hanya sebatas berkirim pesan. Tak jarang Arka bahkan menelpon dan berkata, “Saya rada bosan. Baru kelar operasi jadi pesan makanan pake ojek online. Ada saran nggak apa yang enak?”

Mengingat itu membuat Agatha tersenyum. Semakin dikenali, justru dia mendapati rasa nyaman dan betah tiap kali berkomunikasi dengan Arka. Terakhir kali mereka bertemu untuk makan bersama lagi (seperti biasa, setiap Papa habis medical check up).

Haha. Santai aja, Ka.
Aku juga suka
spamming kan?
Anggap aja kita impas.

Masih asik dengan ponselnya, Agatha masih membaca pesan-pesan dari Arka. Tidak dipedulikannya rambut yang masih berantakan. Senyum di bibirnya terukir lebar hingga bunyi pintu kamar yang terbuka membuatnya sedikit terkejut. Ada Mama di depan pintu. Mama awalnya diam, namun dia tersenyum. “Pagi-pagi udah ngabarin Radit aja. Makan dulu ayo.”

Radit?

Sesaat Agatha berpikir, dan dari senyuman Mama, dia tahu apa yang Mama pikirkan. “Apa sih, Ma. Ini juga bukan...”

Oh, tidak. Dia tidak boleh bilang. Bagaimana bisa dia bilang ini bukan Radit sementara dia sudah tersenyum seperti orang kasmaran begitu? Sejak awal, kenapa dia bertingkah begini?

Agatha buru-buru berdiri, mengunci layar ponselnya selagi tersenyum kikuk. “Udah ah, Ma. Ayo makan,” katanyanya cepat. Agatha segera melangkah keluar dari kamar, mengantungi ponsel sebelum menuruni tangga.

“Kok buru-buru gitu, Ta? Telat?” tanya Papa yang baru saja masuk ke ruang makan. Agatha hanya menggeleng, memutar tubuh ke arah dapur untuk mencuci tangan.

Hanya satu nama yang dia butuhkan untuk mengingat bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Radit. Selagi air dari keran wastafel menyirami tangannya, Agatha merenung.

Kalau diingat-ingat, ini sudah hampir tiga bulan terhitung sejak dia meneriakkan berakhirnya hubungannya dan Radit. Di waktu yang sama juga dia sudah mengenal Arka. Dan di waktu yang sama juga, dia merasa pikirannya yang semula diisi dengan Radit kini berganti.

Arka membuatnya lupa bahwa hingga saat ini, orang masih berpikir bahwa dia masih berstatus sebagai pacar Radit. Ini sama sekali tidak baik.

Agatha mematikan keran begitu merasakan ponsel di dalam sakunya bergetar. Begitu merogoh saku, rupanya ada pesan dari Arka.

Love Sick (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang